Madina Shafa. Kanza Davina, Nabila Alia dan Zaskia Arifa, mereka adalah bintang kelas Kulliyatul Muallimin atau KM. Keluarga besar pesantren Al-Hasyimi pasti mayoritas mengenal nama-nama ini, karena prestasi akademik yang sudah mereka torehkan selama ini.
Nabila Alia yang cantik dan pintar, yang karena kepintarannya ia telah diangkat menjadi asisten dosen di Sekolah Tinggi Agama Islam Al-Hasyimi (STAIA) Padahal santri yang masuk di KM, adalah lulusan Stanawiyah diniyah pesantren, dan umumnya mereka tidak punya bekal pendidikan formal yang cukup.
Kulliyatul Muallimin sendiri atau yang biasa disebut KM, adalah jenjang pendidikan untuk mencetak para tenaga pendidik sekolah Diniyyah pesantren, dari mulai Madrasah Ibtidaiyyah sampai Madrasah Aliyyah. Dan syarat mutlak untuk bisa mengikuti pendidikan di KM harus lulusan Madrasah Stanawiyyah Diniyyah pesantren.
Begitu pun Kanza Davina, sosok yang selalu berpenampilan menarik, manis dan cerdas, dengan pengetahuan yang tak kalah dari anak kuliahan pada umumnya.
Sedangkan Madina Shafa, gadis berparas ayu berpenampilan lembut itu, ia adalah ketua badan Executive santri Kulliyatul Muallimin. Pasti karena dia adalah seorang dengan pengetahuan yang cukup berbobot, sehingga didaulat sebagai ketua BES KM.
Dan Zaskia Arifa, selain putri kyai anggota majlis masyayikh Al-Hasyimi, ia juga sangat cantik. Sikapnya selalu ramah dan berhati-hati dalam setiap berkata dan bertindak. Gadis yang usinya lebih muda dari ketiga rekannya itu memang sudah terdidik santun dan ramah sejak kecil.
Hal itulah pasti yang terbersit dalam pikiran setiap orang ketika menyebut nama 4 bintang kelas KM tersebut. Dan kebetulan ke empatnya memang sangat punya kedekatan antara satu sama lain. Hanya bedanya, Zaskia dan Nabila memang merupakan santri Al-Hasyimi. Sedangkan Madina dan Davina, bukan. Mereka berasal dari pesantren Darul Ulum, yang terletak di wilayah luar kota dari lokasi kota Al-Hasyimi berada.
"Davina!"
"Ya." Davina menyambut sahabatnya itu dengan senyum sumringah.
"Rapat BES dilaksanakan nanti malam saja ya," usul Madina setelah duduk nyaman di samping Davina.
"Aku baru aja mau usul gitu, Din," ujar Davina sambil ketawa renyah.
"Alhamdulillah. Berarti semua bisa ya."
"Iya. Nabila dan Ning Zaskia gimana?"
Baru saja Madina hendak menjawab, tiba-tiba ponsel yang berada dalam genggaman itu mengeluarkan suara khasnya ketika ada telepon dari seseorang.
Gadis itu segera melihat pada LCD hp nya.
Raut wajahnya pun menampilkan keterkejutan.
"Kenapa?" tanya Davina heran.
"Ini seperti nomor beberapa hari yang lalu," kata Madina pelan.
"Ra Fattan?" Davina langsung paham apa maksud dari sahabatnya itu.
Madina mengangguk pelan. Beberapa hari yang lalu, saat Ra Fattan meneleponnya menjelang subuh, nomor tersebut masihlah tersimpan dalam memori Madina Shafa.
"Angkatlah, siapa tau itu benar beliau."
Madina mengikuti saran itu, ia segera mengangkat telepon tersebut. Dan ternyata memang benar, suara lembut berwibawa milik putra Kyai Muhajir itu menguar di pendengaran, mengucap kata salam.
"Madina Shafa, saya mau ucapkan terima kasih," katanya lembut, setelah kata salamnya bersambut.
"Jennengan berhasil, Ra?" Madina langsung mengerti kalau pemuda tampan itu mungkin telah menyelesaikan tesisnya.
"Iya," jawabnya singkat.
"Alhamdulillah." Madina langsung berucap syukur dengan wajah berbinar cerah.
"Saya harap kamu juga berhasil menuntaskan pelajaranmu di Al-Hasyimi, dan segera kembali ke Darul-Ulum," balas Ra Fattan.
"Amiin."
"Madina, apa kamu masih ingat, pada apa yang saya ucapkan dulu , saat kamu dan Davina akan berangkat ke Al-Hasyimi?"
Madina tak segera menjawab, karena pikirannya segera berkelana menuju pada peristiwa hampir dua tahun yang lalu tepatnya satu tahun 8 bulan yang lampau.
Menjelang keberangkatan Kanza Davina dan Madina Shafa ke Al-Hasyimi--setelah mereka sama-sama lulus tes ujian masuk kelas Extra Kulliyatul muallimin--saat itu hampir bersamaan dengan akan kembalinya Rayyan Ali Fattan ke Al-Azhar, setelah pulang sekitar setengah bulan lamanya untuk sebuah kepentingan.
Siang itu Davina dan Madina tampak duduk-duduk sebentar di teras mushalla bersama beberapa rekan pengajar yang lain.
Rayyan Ali Fattan turun dari undakan yang menghubungkan kediaman kyai dengan bangunan Mts dan asrama santri. Ia melintas tak jauh di samping mereka, dengan berjalan lurus, dan hanya menoleh sekejap dan menatap tanpa Ekspresi, seperti atribut yang memang telah melekat pada dirinya selama ini. Cuek, diam dan membatasi komunikasi terutama pada lawan jenisnya selama ini, sekalipun dalam tanda kutip masih kerabat sendiri seperti Kanza Davina.
Pemuda tampan itu melangkah ke kantor Mts yang hanya berupa bangunan satu ruang dengan ukuran tak sebegitu besar. Darul Ulum memang sebuah pesantren yang statusnya mulai berkembang. Beda jauh dengan Al-Hasyimi, yang merupakan pesantren modern dengan ribuan santri yang statusnya sudah maju.
Hanya sekitar sepuluh menit pemuda tampan itu keluar lagi dari kantor dengan membawa beberapa kertas folio, dan terus berjalan lurus hendak kembali ke kediaman. Namun, tiba-tiba saja Rizal--salah satu pengajar Mts--memanggilnya. "Tunggu, Ra Fattan!"
Pemuda tampan itu menghentikan langkah, dan posisinya berdiri sekarang, tepat berada di samping Davina dan Madina duduk, namun dalam jarak sekian meter. Rizal berlari menghampiri, keduanya lalu terlibat perbincangan kecil sejenak. Hingga kemudian, saat kepentingannya dengan Ra Fattan sudah usai, Rizal menoleh ke arah Davina dan Madina. "Hai Non, kapan berangkat?"
"Setelah dhuhur," sahut Davina dan Madina hampir bersamaan, yang lalu membuat kedua gadis itu jadi sama-sama tertawa berderai.
"Baik-baik di Al-Hasyimi ya, dan jangan lupakan aku," kata Rizal sambil senyum. Ia memang sudah terbiasa bercanda dengan kedua gadis tersebut yang kini juga menampilkan senyum.
Rizal pun kembali ke kantor. Sementara Ra Fattan yang masih diam di posisi awal, sepeninggal Rizal ia melangkah menghampiri Madina dan Davina serta dua orang rekannya yang lain itu. Membuat ke empat gadis itu serempak berdiri untuk menghormati kehadiran putra kyai Muhajir itu.
Dalam jarak sekitar 2 meter dari mereka semua, rayyan Ali Fattan menghentikan langkah. "Berapa lama masa pendidikannya di Kulliyatul Muallimin Al-Hasyimi?" Pertanyaan itu jelas ditujukan pada Madina dan Davina, meski ia tak menyebut subjeknya dengan jelas.
"Ee, kurang lebih dua tahun," jawab Davina seraya sedikit menoleh pada Madina Shafa yang terlihat mengangguk mengiyakan jawabannya.
"Oo cukup lama juga," kata pemuda tampan itu. "Semoga berhasil," imbuhnya lagi.
"Amiin." Madina dan Davina menjawab bersamaan.
"Pulang lagi ke Darul-Ulum ya," ujar Rayyan Ali Fattan kemudian. Tak jelas ucapan itu ditujukan pada siapa. Tapi Madina menganggap bahwa ucapan itu ditujukan kepadanya dan juga Davina.
Tapi, Davina punya penilaian lain, ia menilai kalau ucapan itu hanya ditujukan pada Madina saja. Karena saat berkata demikian, Ra Fattan hanya menatap pada gadis ayu tersebut. Sebuah tatapan yang lembut, meski hanya sesaat bertaut.
Hanya Rayyan Ali Fattan saja yang bisa memberikan jawaban pasti, ucapan itu ditujukan pada siapa. Dan kini setelah hampir dua tahun ia teringat sendiri pada ucapannya itu. Pasti karena ucapan tersebut tak hanya sekedar kata, tapi punya arti besar di dalamnya.
"Saya masih ingat, Ra," jawab Madina di telepon, setelah ingatannya perihal kejadian itu terkumpul.
"Apa?" Ra Fattan pasti ingin lebih memastikan.
"Jennengan bilang ke saya dan Davina untuk pulang lagi ke Darul-Ulum."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Drew 1
part ini selow.. ga bikin kebat kebit.. pdhl biasanya sllu bikin geregetan 🤭
pelan² q baca ya kk sayang
2022-12-25
0
Yeni Eka
mbak Najwa di cerita ini yg mana nih,? Madina, Devina atau yang mana?
2022-12-20
0
Ayuwidia
𝚙𝚎𝚛𝚜𝚒𝚜 𝚜𝚙𝚝 𝚘𝚝𝚑𝚘𝚛𝚗𝚢𝚊
2022-12-08
1