"Jennengan mengatakan pada saya dan Davina, untuk pulang lagi ke Darul-Ulum," jawab Madina Shafa.
Dan apa kata Ra Fattan dengan itu semua. "Bukan untuk kalian berdua. Tapi, hanya kepadamu saja, Madina."
"Eh ... mak-maksudnya, Ra?"
"Saya berharap, tak ada seorang pun di Al-Hasyimi yang bisa bertahta dalam hatimu, Madina. Hingga kamu pulang lagi ke Darul Ulum. Dan saya berdoa, hanya saya yang akan menempatinya."
"Oh." Madina langsung tercekat, terdiam tanpa kata. Untuk beberapa jenak, hanya hening yang menguasai dirinya. Fattan pun seperti sengaja membiarkan semuanya. Sengaja memberi waktu untuk gadis itu mencerna setiap kata dalam kalimat yang telah diucapkannya.
Ada air mengambang di pelupuk mata gadis ayu itu, kemudian secara pelan dan pasti, titik bening pun menggelinding dan jatuh. Davina hanya mampu melihat semua itu dengan perasaan yang berkecamuk tanya. Dan pada akhirnya seutas senyum terbit di bibir Davina. Mana kala ia mendapat kepahaman atas apa yang terjadi pada sahabatnya.
"Bagaimana, apa harapan saya ini kamu ijinkan, Madina?" Demikian tanya Ra Fattan, diucap dengan bahasa yang santun dan dengan suara yang lembut. Hati mana yang tak akan terpaut dan hanyut.
"Bismillah, saya ijinkan, Ra," sahut Madina dengan suara bergetar, dan air mata yang kian berderai. Bagaimana tidak, sudah lama rasa indah ini tersimpan di hati. membingkai rasa kagum pada sang putra mahkota Darul Ulum itu. Tanpa ada satu pun kata yang terlisan, karena perbedaan garis nasab yang seakan menjadi penghalang nan tinggi menjulang.
Kini, setelah semua apa yang ia rasa itu hanya dipendam dalam diam, pemuda itu sendiri yang mengajukan perizinan. Untuk bisa bertahta dalam hatinya yang terdalam. Apa Madina masih perlu berpikir panjang untuk mengiyakan?
"Ikhlaskah, Madina?" tanya Ra Fattan demi untuk semakin mengukuhkan.
"InsyaAllah, Ikhlas, Ra. Karena Allah."
"Alhamdulillah, subhanallaah." Terdengar Fattan melafadzkan pujian pada Sang Maha Rahman. Pun dalam diri Madina, yang juga melambungkan nama kebesaran Tuhan dalam jiwanya yang terdalam.
Saat sambungan telepon itu telah ditutup oleh Fattan, karena akan melakukan kegiatan yang sudah menanti. Madina menatap Davina dengan air mata jatuh.
"Ra Fattan, Vina ..."
"Iya, aku paham. Selamat ya." Davina segera memeluk sahabatnya itu, merasakan getar bahagia yang kini menyelimuti perasaan Madina.
"Dugaanku tidak salah bukan? Kalau Ra Fattan itu menyukaimu. Kau yang tidak percaya," ujar Davina usai mengurai pelukan keduanya.
"Aku hanya takut salah."
"Dan ternyata tidak salah "kan?"
"Dari mana kau bisa menyimpulkan begitu, Davina?"
Davina hanya tersenyum. Dan ia pun teringat kembali segala apa yang menjadi faktor penilaian itu. Gadis manis itu jadi teringat pada saat yang sudah berlalu.. Masa hampir dua tahun yang lalu. Tepatnya satu tahun delapan bulan yang telah terlewat.
Davina sebenarnya masih punya hubungan kekerabatan dengan Ra Fattan, dari jalur ummi mereka masing-masing. Dan ayah Davina adalah teman sepondok dulu dengan Kyai Muhajir saat masih sama-sama di pesantren. Jadilah Davina cukup akrab dengan keluarga Kyai pengasuh pesantren Darul Ulum tersebut, termasuk Rayyan Ali Fattan si putra sulung.
Dulu mereka cukup akrab, cukup sering bertegur sapa, sampai Ra Fattan nyantri di Alhasyimi, dan lulus S1 di STAI Al- Hasyimi, saat itulah pemuda tampan itu mulai membatasi komunikasi. Tak hanya pada Davina, tapi juga terhadap kerabatnya yang lain. Saat itu ia ikut berkiprah di dunia pendidikan Darul Ulum, sembari menunggu jadwal keberangkatannya ke Al-Azhar untuk lanjut study S2.
Ra Fattan sebagai pribadi yang tak banyak kalam, diam menjadi pilihan bersikap yang sering ia kedepankan, lebih banyak menyimak dari pada mengajukan topik. Namun, saat memberikan gagasan, saran atau pun kritik membangun, bahasa yang digunakan begitu ramah dan santun. Tapi sangat mengena, dan menjangkau semua tingkat pemahaman. Karenanya pemuda itu tampil sebagai pribadi yang mudah disetujui. Hingga banyak yang merasa kehilangan, saat pemuda itu berangkat ke Mesir untuk memperdalam ilmu dan pengetahuan.
Sekitar 6 bulan berada di sana, Ra Fattan kembali ke tanah kelahirannya, karena sebuah kepentingan yang tak bisa ditunda. Saat itulah, Davina mulai merasa ada yang tak biasa pada diri putra sulung kyai Muhajir itu terhadap Madina Shafa. Beberapa kali Davina memergoki Ra Fatttan menatap gadis ayu itu lembut, bahkan tak jarang dengan disertai senyuman walaupun singkat, baik waktu gadis ayu itu tampil waktu rapat untuk mengemukakan pendapat, juga ketika ia berkomunikasi langsung dengan Ra Fattan terkait *** di Darul Ulum.
Jika saja ia tidak mengenal Ra Fattan sejak lama, maka kalau hanya menatap saja tak akan sampai membuatnya berkesimpulan kalau pemuda itu suka pada Madina.
Ra Fattan yang hampir selalu menundukkan pandangan, tiap berkomunikasi juga hampir tak pernah menatap pada lawan bicaranya, dalam tanda kutip perempuan. Kini malah dengan sengaja dan secara sadar ia memandang seorang perempuan, maka tak berlebihan jika Davina langsung mempertanyakan, ada apa dengan Ra Fattan.
Penilaiannya makin kuat, saat keberangkatan Madina dan Davina untuk belajar di KM Al-Hasyimi, pemuda itu mengatakan 'pulang lagi ke Darul-ulum ya' sedang jelas tatapannya hanya tertuju pada Madina saja. Maka bisa disimpulkan kalau ucapan itu hanya untuk gadis itu.
Lebih jelasnya saat beberapa jam kemudian, ketika kedua gadis itu bersiap masuk ke dalam mobil yang akan membawa mereka ke Al-Hasyimi. Mobil tersebut parkir di halaman depan kediaman Kyai Muhajir. Ra Fattan tidak ada, pemuda tampan itu tak menampakkan batang hidungnya. Hingga saat Davina telah masuk lebih dulu ke dalam mobil yang telah menunggu, ia melihat seraut wajah tampan di balik jendela kamar yang terbuka.
Kamar depan kediaman Kyai Muhajir itu diketahui sebagai peraduan si sulung putra mahkota Darul-Ulum tersebut. Terlihat wajah tampan itu mengarahkan tatapan ke satu arah sambil tersenyum. Dan Madina yang ada di arah itu sedang di ajak ngobrol oleh bu Nyai Wafroh--ibundanya Ra Fattan--sebelum naik ke dalam mobil.
Begitu detail Davina memerhatikan sikap Rayyan Ali Fattan, hingga ia tiba pada satu kesimpulan.
Namun, sekian waktu berlalu, tak ada lagi komunikasi yang terjalin, juga tak ada kabar yang terdengar. Mereka terpisah jarak yang sangat jauh. Antara Indonesia dan Mesir. Davina sudah hampir melupakan semua penilaian itu, hingga kemudian.
RA fattan menelepon Madina beberapa hari yang lalu menjelang shubuh. Ia meminta doa dan keikhlasan hati gadis ayu itu atas kegelisahan jiwa yang selalu membelenggu. Karena selalu teringat pada satu nama. Nama Madina Shafa, hingga merampas semua fokus, padahal ia sedang mengerjakan tesis.
Setelah hampir dua tahun berlalu, Ra Fattan sendiri yang mengungkap rasa itu, dan meminta restu pada yang empunya nama, untuk mengajukan rasa yang ada ke hadapan Yang Kuasa, agar rasa itu mendapat ridho, serta menjadi perantara jalan menuju syurga.
Sebagaimana, Madina. Davina juga ikut menangis. Tak menyangka jika dirinya akan menjadi saksi kisah yang menurutnya begitu manis. Tentang rasa terpendam yang akhirnya terungkapkan, antara Madina Shafa dan Rayyan Ali Fattan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
Drew 1
aq meweks ka
2022-12-25
0
Yeni Eka
indah sekali cara nembaknya, yg begini nih calon imam idaman
2022-12-20
0
Ayuwidia
𝚜𝚖𝚙𝚊𝚒 𝚍𝚒 𝚙𝚊𝚛𝚝 𝚒𝚗𝚒, 𝚔𝚎𝚗𝚊𝚙𝚊 𝚊𝚚 𝚋𝚊𝚌𝚊𝚗𝚢𝚊 𝚖𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚗𝚢𝚎𝚜𝚎𝚔 𝚢𝚊, 𝙺𝚊𝚔? 🥺
2022-12-08
1