Sederet nomor yang tak dikenal, memenuhi layar ponselnya. Angka-angka itu begitu banyak dan panjang, tak sebagaimana lazimnya. Hal itulah, yang membuat tangan gadis itu terasa berat untuk menerima telepon yang telah merampas tidurnya yang lena. Padahal, hampir semenit sudah dering ponsel itu meminta perhatian dari yang punya.
"Kenapa gak diangkat?" tanya Davina, yang cukup lama menyaksikan reaksi temannya atas telepon tengah malam tersebut.
"Nomor gak dikenal, banyak juga," sahutnya dengan tatap mata ragu, hal itu memantik rasa penasaran Davina untuk melihat pada layar ponsel yang sama.
"Meidina, ini Kayak kode dari luar negeri," kata Davina.
"Luar negeri? Siapa ya, yang menelponku dari luar negeri, jam segini lagi." Gadis berparas ayu itu melongok pada jam dinding, jarumnya mengarah pada angka 3 dini hari. Waktunya tahajjud.
"Untuk tahu, angkat saja!" usul Davina.
Meski dengan rasa ragu yang menggelayut di kalbu, akhirnya jemarinya bergerak juga untuk mengangkat telepon itu.
"Assalamualaikum, Madina Shafa." Suara penelepon dari seberang, suara seorang laki-laki yang ketika mendengarnya saja, Madina langsung meraba dada, karena detak jantung yang tiba-tiba lebih dahsyat dari biasanya.
"Waalaikumsalam," sahutnya dengan suara pelan dan hampir tercekat di tenggorokan.
"Maaf, saya mengganggu kamu, Madina."
"Ee." Gadis itu masih tetap dengan mode tercekatnya.
"Ini saya, Rayyan Ali Fattan."
Semakin dia menjelaskan siapa dirinya, denyut jantung Madina Shafa, semakin tak bisa dikondisikan saja. Sebenarnya, dari suaranya saja, gadis itu sudah bisa menduga, kalau dia adalah putra Kyai Muhajir, pengasuh pesantren Darul ulum. Tempat di mana Madina Shafa dan Kanza Davina membaktikan ilmunya sebagai tenaga pengajar Madrasah Diniyah di sana. Pesantren Darul Ulum ini pula, yang membuka jalan bagi Davina dan Madina untuk menempuh pendidikan Kulliyatul Muallimin di pesantren Al-Hasyimi, tempat mereka belajar sekarang.
Gadis itu masih rasa tak percaya jika putra mahkota Darul Ulum yang tampan dan pendiam itu meneleponnya.
"I-iya, Ra." Gugup suara Madina menjawabnya. Ra, adalah singkatan dari Lora. Lora adalah sebutan untuk putra Kyai di Darul Ulum. Karena Rayyan Ali Fattan adalah putra Kyai pengasuh pesantren Darul-Ulum, maka dia dipanggil Lora.
Kata tanya dengan menyebut sebutan singkat itu, membuat Davina yang hendak keluar dari wisma, masih menghentikan langkah dan menatap ke arah sahabatnya tersebut. Tatap matanya memancarkan tanya yang tak terucap dengan kata. Tapi, Madina Shafa hanya fokus pada si penelepon saja.
"Bagaimana kabarmu?" tanya Ra Fattan, dan itu cukup mengurai kegugupan yang dirasakan oleh Madina.
"Baik, Ra."
"Betah di Alhasyimi?"
"Iya, Alhamdulillah."
"Masih lama pelajarannya?" Nada tanya datar seperti itu memang yang menjadi salah satu ciri khas seorang Rayyan Ali Fattan. Datar dan berwibawa.
"Sekitar empat bulan lagi, Jennengan sudah kembali ke Darul Ulum, Ra?" tanya Madina pelan.
"Tidak. Saya masih di Al-Azhar."
"Oh." Dan semakin heranlah perasaan Madina, mana kala tahu kalau putra Kyai Muhajir itu meneleponnya dari Kairo. Jauh sekali. Gerangan ada apa, pemuda yang sudah selama dua tahun ini berada di sana, tiba-tiba meneleponnya di saat menjelang waktu shubuh begini.
"Doakan saya, Madina. Mungkin hanya doa kamu yang bisa membuat saya merasa tenang." Suara Fattan terdengar berat saat berkata demikian.
"Jennengan kenapa, Ra?" Madina jadi bertanya dengan raut wajah yang panik.
"Belakangan ini, Saya sering teringat sama kamu . Dan itu membuat saya kurang bisa fokus. Padahal saya sedang mengerjakan tesis sekarang."
"Oh" Madina hanya bisa menghempaskan napasnya tertahan. Sungguh ia belum sepenuhnya paham apa maksud dari ucapan Rayyan Ali Fattan.
"Doakan saya ya, dan iklashkan apa yang saya rasakan." Kenapa suara Ra fattan saat berkata demikian itu terdengar lebih lembut di pendengaran, apa karena ia berkata dengan sepenuh perasaan. Ah. Madina tak berani menebak-nebak, apalagi menyimpulkan. Ia memilih sibuk untuk memaknai perasaannya sendiri yang terasa bergetar karena mendengar ucapan demikian.
Dan pada akhirnya, setelah beberapa jenak terdiam, ia pun mengatakan, "Iya, Ra, saya doakan, dan saya iklashkan."
"Alhamdulillah, terima kasih, Madina, saya ..." sampai pada kalimat itu, tiba-tiba suara Ra Fattan menghilang, dan yang terdengar kemudian adalah nada tut..tut..tut...
Sepertinya sambungan terputus, atau memang sengaja diputus. Madina terdiam dengan rasa hati yang berkabut. Ia pandangi ponselnya yang memang sudah tak ada aktifitas sambungan di sana. Bahkan dengan beraninya ia mendial nomor tersebut. Namun, hanya kembali nada yang memekakkan telinga itu yang memenuhi ruang dengarnya.
"Ra Fattan yang meneleponmu?" tanya Davina yang sudah menjadi saksi atas semuanya.
"Iya," sahut Madina lesu.
"Beliau menelepon dari Kairo ya," tebak Davina. Karena saat ini, putra Kyai Muhajir itu memang sedang mengambil program pascasarjana di sebuah Universitas ternama, di Kairo.
Madina hanya mengangguk saja.
"Kenapa jadi lesu, Din? Beliau bilang apa?"
"Beliau hanya minta doaku, katanya beliau sedang mengerjakan tesis," sahut Madina.
"Iya," kata Davina, seakan dia memang sudah tahu perihal itu.
"Tapi ..." Madina tampak ragu untuk melanjutkan ucapannya.
"Kenapa?" Davina memerlihatkan senyum, dan itu membuat keraguan dalam diri Madina kabur. Tak layak, bahkan termasuk dosa jika harus meragukan sahabat yang sudah seperti saudara. Demikian ikatan yang ada antara Kanza Davina dan Madina Shafa.
"Beliau minta doa dan keikhlasanku, beliau sering gak fokus mengerjakan tesisnya, karena sering ingat padaku. Apa maksudnya ya, Vina?"
"Kamu benar gak ngerti, Din?" Davina menatap lekat pada Madina Shafa yang terlihat menggeleng pelan. Gelengang yang tak menunjukkan keyakinan. Dibilang dirinya tidak sepenuhnya mengerti maksud ucapan itu, rasanya bohong. Madina itu sangat cerdas dan peka. Di KM, atau singkatan dari kulliyatul Muallimin, dia adalah ketua BES, badan executive santri. Setara dengan BEM dalam tingkat perkuliahan.
Tapi, perlu diketahui, memahami tentang rasa, tak hanya diperlukan cerdas secara intelektual saja. Karena rasa, muaranya ada dalam hati. Dan tidak ada yang bisa memahami tentang hati, atau pun bahasa hati, kecuali dengan hati pula. Dan apa tentang hal ini, Madina juga belum memahami? Jawabannya sudah. Hanya saja, jika itu tentang hati, dia ingin lebih berhati-hati. Apalagi ini adalah tentang seseorang yang sudah bertahta dalam hati secara diam-diam selama ini. Seseorang yang dikenal selalu berhati-hati dalam setiap kata dan tindakan. Madina, jelas tidak ingin terburu-buru mengambil kesimpulan.
Lain halnya dengan Davina, ketika dia mengatakan pada Madina, apa yang menjadi ulasan dan alasannya, semua itu bukan hasil penilaian yang semena-mena, melainkan setelah melewati kajian sebelumnya. Kajian tak resmi, yang telah ia lakukan cukup lama.
"Madina, Ra Fattan itu selalu teringat padamu. Selalu memikirkanmu, sampai ia tak bisa fokus untuk mengerjakan tesisnya. Karena itulah ia minta doa dan keikhlasanmu atas apa yang ia rasakan." Demikian ucap Davina menjabarkan.
Madina terdiam. Ia bukan tak paham, tapi hanya tak ingin salah paham.
"Dan inti dari semuanya adalah, Ra Fattan itu menyukaimu," lanjut Davina kemudian.
Madina masih terdiam, ia hanya menatap sahabatnya itu untuk beberapa lama dan enggan beralih pandang. Sedangkan Davina malah segera keluar dari kamar mereka itu dan tak menambahkan keterangan. Karna ia pun tahu, kalau sahabatnya yang ayu itu bukan tak paham dengan apa yang ia katakan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 100 Episodes
Comments
𝐬𝐚𝐟𝐫𝐢𝐚𝐭𝐢
Sikap Medina buat ku penasaran ?
2023-01-02
0
Fia Maziyya
novel yg ditunggu akhirnya rilis
2022-12-06
2
🌻Yani Wi💕
like+fav.lanjut author.👍🏻
2022-12-06
2