Dia Yang Tidak Dipedulikan

Mengingat kejadian semalam, Riana yang baru saja bangun dari tidurnya menutup matanya sejenak, seakan tidak ingin melihat dunia yang begitu kejam ini kepada dirinya.

Ini terlalu kejam bagi seorang gadis kecil berusia 7 tahun, dimana yang sebaya dengannya akan merasakan kebahagiaan masa kanak-kanak yang menyenangkan, dimana senyuman itu terukir tanpa banyak beban pikiran.

Riana membuka matanya, ketika pintu kamarnya terbuka dengan keras, tapi itu tidak membuat dirinya kaget, dia sudah terbiasa dengan itu, membuatnya mati rasa untuk peduli hal kecil seperti ini.

"Bangun kamu! Kamu sudah besar, kenapa masih bersikap seperti anak kecil, tunggu apalagi? cepat mandi dan sekolah!" suara itu yang selalu berteriak kepadanya setiap pagi.

Suara itu dulu memanjakan dirinya tanpa alasan, suara itu yang melahirkan dirinya, dan suara itu dulu juga mendukung setiap tindakan yang ingin dia lakukan, tapi sekarang hanyalah teriakan tanpa perasaan yang terdengar membuat Riana tidak berharap lagi untuk bahagia seperti dulu.

Mengikuti perintah ibunya, Riana mulai bersiap-siap sendiri, padahal dia seorang gadis kecil berumur 7 tahun, tapi untungnya Riana sudah terbiasa dengan itu.

Kata sudah biasa membuat hati Riana mati rasa, sebab ia tidak mengharapkan lagi untuk bahagia, karena ia sudah tahu kejadian selanjutnya akan seperti apa.

"Andai ibu tahu, aku masih kecil juga, aku belum dewasa, tapi pada akhirnya aku yang disalahkan karena terlalu menginginkan kebahagiaan ya?" batin Riana dengan senyum pahitnya.

Dulu dia pernah bersikap manja kepada kedua orangtuanya setelah adiknya lahir, tapi yang ia dapatkan adalah bentakan tidak terkira, dan setelah itu dunianya hancur, hatinya sudah mati rasa sejak saat itu.

Melihat dirinya sudah siap untuk berangkat ke sekolah, Riana keluar dari kamar, gadis kecil itu melihat gambaran sebuah keluarga bahagia ditempat makan, dimana kakak perempuannya tertawa bersama adik bungsunya, dan kedua orangtuanya juga tersenyum bahagia.

Mereka bahagia tanpa dirinya, dan abangnya membuat gadis kecil itu tersenyum kecut, ntah ada apa dengan orangtuanya menelantarkan kedua anaknya seperti ini.

Riana dengan berat hati harus merusak senyum mereka, sebab tiba di meja makan tidak ada yang bersuara hanya rasa dingin dan ketidakpedulian yang ada.

"Ayah, Ibu, kakak, dan adik, aku berangkat sekolah dulu."

"Yaudah, belajar yang bener jangan nakal di sekolah!" itu adalah ancaman ibunya kepada dirinya, selain ibunya tidak ada yang bersuara seakan enggan berkomunikasi dengan dirinya.

"Riana akan mengingat itu."

Gadis kecil itu berbalik pergi meninggalkan rumah tanpa melihat ke belakang, seakan takut melihat ke belakang, dia menghancurkan sebuah keluarga bahagia yang berbincang manis setelah dirinya pergi.

Sekolahnya tidak terlalu jauh, tapi bagi gadis kecil itu, dia membutuhkan 20 menit untuk sampai ke sana, tapi Riana jelas tidak berniat untuk buru-buru, bahwa hari masih sangat pagi, bila sampai di sekolah, pasti masih sepi.

Riana mendengar sebuah moge berisik di belakangnya, suaranya terdengar familiar membuat gadis kecil itu berhenti untuk melihat sebuah moge yang berhenti disampingnya.

"Sini naik, kenapa gak nunggu abang buat nganterin?" Mark bertanya dengan malas, melihat gadis kecil itu sangat kecil dimatanya, tapi ketika mengingat rasa kesepian dari belakang dirinya, membuat Mark merasa tertekan.

Dia baru berusia 7 tahun, kenapa rasa kesepian begitu kuat memancar, seharusnya dia tidak perlu mengalami hal seperti ini di usianya, ia harusnya tersenyum bahagia tanpa banyak beban pikiran.

"Abang kan nanti sekolah juga, kalau telat gimana? nanti dihukum." Riana mengulurkan kedua tangannya manja, Mark dengan singgap menangkapnya, dan meletakkan gadis kecil itu duduk di depan.

"Yaelah, lagian ini masih pagi juga, masih ada waktu nanti abang gak terlambat kok."

Mark mulai menjalankan motornya santai, lagipula lokasinya tidak terlalu jauh, itu hanya butuh beberapa menit untuk sampai ke tujuan.

"Kamu gak sarapan lagi ya? pagi banget berangkatnya, nanti kalau di sekolah segera mencari sesuatu untuk dimakan ya, kamu dari kemarin gak makan loh." Mark menceramahi adiknya dengan santai, gadis kecilnya selalu seperti ini, dia jarang makan di rumah malah lebih sering makan di luar.

"Aku gak mau ganggu kebahagiaan kecil mereka."

Riana dulu pernah untuk makan bersama keluarganya, tapi yang ia dapatkan adalah kata-kata makian dari kakak perempuannya, ketidakpedulian kedua orangtuanya. setelah itu ia lebih sering untuk makan sendiri di kamar atau di luar rumah.

Mark mengusap kepala gadis kecilnya, setelah sampai, Mark membantu gadis kecilnya untuk turun, lalu Mark memberikan uang saku kepada gadis kecil itu dan diterima baik olehnya.

Riana tidak pernah meminta uang saku kepada orangtuanya lagi, bahkan jika ia merasa sangat ingin untuk menuntaskan rasa laparnya, ia masih tidak memintanya.

Mark yang mengetahui itu, memberikan uang saku kepada gadis kecilnya setiap hari, ia juga setiap hari selalu mengantar gadis kecil itu ke sekolah bahkan jika ia tidak dirumah, Mark selalu meluangkan waktunya untuk melakukan ini setiap hari.

"Jangan terlalu serius di sekolah, banyak-banyak berinteraksi sama teman." setelah mengatakan itu Mark pergi meninggalkan sebuah perasaan bahagia di hati Riana.

Setidaknya ada salah satu anggota keluarganya yang peduli dengannya, membuat ia tidak perlu lagi merasa bahwa dirinya benar-benar terbuang di keluarganya.

Riana meletakkan tasnya di kelas 1 SD, seharusnya dia masih berada di TK tapi karena terlalu awal masuk sekolah, membuat dirinya lebih awal untuk naik kelas.

Gadis kecil itu berjalan keluar kelas, menghirup udara segar halaman sekolah yang terlihat sepi, kecuali dirinya dan para karyawan sekolah benar-benar tidak ada kehidupan lain.

"Nak Riana sering banget berangkat pagi ya? gak sabar buat ke sekolah kah?" salah satu karyawan laki-laki, yang bernama Ujang itu berkata dengan heran, sambil menyapu halaman di depan kelas.

"Iya nih pak, Riana gak sabar buat sekolah." Riana tersenyum, seakan apa yang baru saja ia katakan adalah kenyataan. padahal sebenarnya itu kebohongan.

"Owalah, belajar yang rajin ya Nak Riana, biar bisa juara kelas." setelah mengatakan itu, Ujang pergi melanjutkan pekerjaannya, Riana hanya mengangguk dengan ringan.

Riana lalu pergi ke depan sekolah, ia melihat salah satu penjual yang sudah menjadi langganannya setiap hari, itu adalah pedagang kaki lima nasi kuning.

"Riana, seperti biasa? pesan nasi kuning?" tanya Bi Surti dengan sabar, gadis kecil didepannya sering memesan nasi kuning kepada dirinya setiap pagi, sejak saat itu mereka mulai mengenal dengan baik satu sama lain.

"Iya nih Bi, porsinya seperti biasa ya Bi."

"Baik, tunggu sebentar ya Riana, duduk dulu."

Beberapa saat Riana menunggu dengan sabar, setelah itu nasi kuningnya sudah siap, ia membayar dengan uang saku yang baru saja diberikan abangnya.

Riana tidak terbiasa makan di luar ruangan, jadi Riana selalu memakan nasi kuningnya di kelas, rasa sunyi di ruang kelas tidak membuatnya dirinya takut, karena dia sudah terbiasa dengan itu.

...----------------...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!