Kesibukan pagi hari

Pagi ini Dira dan Desi sedang di perjalanan menuju pasar menggunakan motor. Sedangkan Mega mempersiapkan segala kebutuhan lainnya di ruko bersama seorang anggota lainnya yang bekerja paruh waktu karena masih kuliah.

Dira mengendarai motor di pagi hari yang masih sunyi karena memang belum jamnya beraktifitas pada umumnya karena maish menunjukkan pukul 6 pagi.

Sesampainya di pasar kedua gadis itu mulai berbelanja semua kebutuhan di warung.

"Selamat pagi nona manis." Suara godaan seorang pemuda yang selalu mengganggu Dira jika berada di pasar.

"Mas Anton pagi-pagi udah ngangguin orang lain aja," sergah ibu penjual ayam langganan Dira.

"Ini namanya bukan godain bu, tapi lagi usaha," sangkal Anton si preman pasar.

"Usaha apa? Memaksa yang ada," cibir ibu penjual ayam itu.

"Ini Nak ayamnya, mau di titip dulu?" Lanjutnya setelah selesai membungkus ayam pesanan Dira.

"Iya bu, nanti pulang di ambil." Dira menyodorkan beberapa lembar uang pada ibu pedagang.

"Ya udah, biar ibu simpan dulu nanti mampir aja," kata ibu pedagang dan meminta suaminya untuk menyimpankan ayam milik Dira di bagian bawah meja lapak mereka yang ada boks kosongnya.

"Kalo gitu kami permisi dulu ya bu," pamit Dira di angguki ibu pegangan.

Dira dan Desi berjalan menuju pedagang lainnya di ikuti oleh Anton si preman pasar yang tidak pernah di tanggapi oleh Dira keberadaannya.

"Cuek banget sih neng. godain abang dong," ucap Anton seraya mensejajarkan langkahnya pada Dira.

"Aku bukan penggoda," sahut Dira yang membuat Anton tersenyum karena mendengar suara Dira yang baginya sangat menyejukkan hatinya.

"Nah gitu dong, kalo abang tampan lagi ngomong ya di tanggapin. Biar kita bisa semakin dekat dan lengket bak kertas dengan perangko yang harus menempel."

"Kita juga bisa menjalin sebuah hubungan yang sangat indah dan cerah. Seindah pagi ini dan secerah mentari di siang hari, seharum bunga bermekaran yang ..."

"Gila ya kamu An? kalo mulai gila jangan di sini."

Seorang pedagang menyela kalimat Anton tanpa rasa takut. Padahal Anton berwajah garang dan bertubuh kekar dengan beberapa tato di lengannya.

"Eh Pak, kalo ngomong jangan sembarangan ya. Nanti di marahi sama calon istri saya nih." Tunjuk Anton pada sebelahnya.

"Siapa calon istri kamu? angin? atau bayangan?" tanya bapak itu karena tidak melihat siapapun di samping Anton.

Dengan cepat Anton melihat sebelahnya yang memang tidak ada siapa-siapa selain orang-orang yang lewat.

"Loh, kemana nona manis tadi?" Herannya karena tidak mendapati Dira di sebelahnya.

Anton bergegas mencari Dira dengan melangkah kembali ke arah yang di laluinya tapi tidak menemukan yang di carinya.

Sedangkan Dira dan Desi sedang memilih sayuran yang di butuhkan di salah satu pedagang sayur.

Dira menarik Desi mengambil jalur lain dan berjalan menjauh dari Anton karena merasa sangat risih dengan Anton yang selalu mengganggunya.

"Itu orang makan apa ya kak? Setiap pagi suka banget muncul tiba-tiba. Udah gitu ngomong yang aneh-aneh sambil jalan gak lihat arah," kata Desi sembari memilah cabe.

"Biarin aja, mungkin dia salah minum obat," sahut Dira.

"Gak punya kerjaan banget tuh orang," ucap Desi.

Kedua gadis itu terus berkeliling pasar untuk membeli semua kebutuhan. Bahkan saat kembali bertemu dengan Anton pun mereka tidak memperdulikan dan terus berbelanja.

Selesai berbelanja mereka berjalan keluar dari pasar dengan seorang pria tukang becak yang biasa membantu mereka mengantarkan pulang belanjaan. Anton yang selalu ingin meraih belanjaan Dira untuk dia bawa selalu di tolak.

Dira tidak ingin pria terlibat dengan pria menyeramkan itu walau hanya sekedar mengangkatkan belanjaan.

Desi naik di becak bersama belanjaan mereka sedangkan Dira naik motor sendirian mengikuti di belakang becak yang sedang melaju menuju ruko.

Di lain tempat, nenek Ira sedang mengomel pada Gara yang menurutnya sangat menjengkelkan pagi itu.

"Kan udah Nenek bilang, kamu harus cuti. Cuti! cuti! cuti!" Geram nenek Ira.

"Tapi nanti bakalan ada rapat penting Nek, ada in..."

"Stop, Stop, Stop, Nenek gak mau tahu masalah itu. Kamu harus ikut Nenek pagi ini dan selama seminggu ini kamu harus cuti," tegas nenek Ira menyela ucapan Gara.

"Nenek ku sayang, rapat kali ini tuh penting. Demi masa depan perusahaan kita," rayu Gara pada neneknya.

"Gara cucuku tercinta, misi Nenek kali ini lebih penting untuk masa depan kamu, penerus keluarga kita," rayu nenek Ira balik tapi kedua bola matanya melotot garang.

"Ikut aja kali Mas, tega banget sih sama Nenek," ucap Gilang bersuara setelah sejak tadi melihat drama pagi antara nenek dan saudaranya.

"Kamu aja sana yang ikut Nenek, duduk di kursi roda udah kaya orang lumpuh aja," gerutu Gara.

"Tapi kan Nenek ngajak Mas Gara, lagian Gilang udah punya pacar dan Nenek suka sama pacar Gilang, gak kayak seseorang," ejek Gilang sembari menaik turunkan kedua alisnya pada Gara.

"Ck, adek kurang ajar," ucap Gara.

"Makanya kamu cari pacar itu yang bener, kenalin sama Nenek baik-baik," kata nenek Ira melihat Gara.

"Gara juga mau ngenalin Nenek sama Intan, tapi kan Intan nya belum sempat Nek. Masih banyak pekerjaan yang harus di selesaikannya." Gara berusaha membela sang pacar.

"Memangnya sudah berapa lama kamu sama dia?" Tanya nenek Ira.

"Enam bulan," sahut Gara.

"Dan selama itu dia gak pernah punya waktu untuk ketemu sama Nenek? Memangnya dia kerja apa sampe begitu sibuk hah? Sedangkan kamu yang pimpinan perusahaan besar aja masih punya waktu luang untuk santai."

Nenek Ira heran dengan alasan sang cucu akan ketidak bisaan pacar cucunya untuk bertemu dengannya.

"Dia artis Nek, model sekaligus pemain film di perusahaan kita," kata Gara dengan suara pelan merasa was-was pada sang nenek takut kena marah.

"Sejak kapan dia masuk perusahaan?" Tanya nenek Ira dengan wajah yang sudah berubah datar.

"Sejak dua minggu sebelum kenal Gara."

"Jangan bilang begitu tahu siapa kamu dia langsung minta di kasih pekerjaan. Iklan, majalah fasion atau minta di kasih satu drama dengan dalih belajar dan coba-coba."

Bahasa nenek yang sudah formal membuat Gara tidak berani mengangkat kepalanya karena apa yang di katakan neneknya kenyataan.

"Kalo itu, Gara gak tahu Nek," lirih Gara sangat pelan hingga neneknya tidak dengar.

"Apa?" Tanya nenek karena tidak bisa mendengar apa yang di katakan cucunya.

"Ikata Mas Gara gak tahu Nek." Gilang dengan santainya memberitahu neneknya. Bahkan pandangan tak bersahabat dari Gara pun ia abaikan.

Bukan apa-apa tapi Gilang memang tahu siapa pacar mas nya dan tidak setuju juga dengan si artis itu.

"Kamu bener-bener mau buat Nenek ketawa ya Ga?"

Gara mengangkat wajahnya menatap sang nenek. Begitupun juga dengan Gilang.

"Kok ketawa nek?" Tanya keduanya.

"Ketawa karena kebodohan kamu itu," geram nenek Ira menunjuk Gara yang beringsut di kursinya.

Nenek Ira bangkit dari kursinya dan menghembuskan napas panjang.

"Kalo kamu gak mau ikut hari ini gak masalah. Tapi jangan harap kamu bisa nolak siapapun calon yang Nenek pilih, paham!" Kembali nenek Ira melotot pada Gara yang hanya bisa mengangguk pasrah.

Nenek Ira melangkah pergi meninggalkan meja makan dan terpaksa ia harus menjalakan rencananya sendiri.

"Memang aku bisa nolak kalo Nyai Ratu udah bertitah," gumam Gara.

"Yang sabar Mas." Gilang terkekeh dan di balas pelototan dari Gara. Namun tidak di tanggapi oleh Gilang karena tahu itu bukan masalah serius.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!