3

Tiwi terus menangis di bawah kungkungan tubuh David yang kekar itu. Tetesan peluh kenikmatan itu dengan sendirinya jtuh di beberapa bagian tubuh Tiwi. Bukan tubuh mereka saja yang sudah bersatu tapi keringat dan seluruh ciran dari dalam tubuh pun menyatu dan bersatu padu.

David menatap lekat ke arah Tiwi. Baru kali ini ia merasa iba kepada seorang wanita. Tidak hanya itu noda merah yang jelas terlihat di sprei pun menujukkan jika Tiwi bukanlah gadis sembarangan. Walaupun ia berprofesi sebagai DJ, ia masih bisa menjaga kehormatan dan harga dirinya. Tapi, malam ini David telah merenggutnya dengan paksa, karena sikap sombong, arogan dan semua hal bisa di bayar dengan uang.

"Kalau belum puas. Cepat puaskan birahimu, dan setelah itu biarkan aku pergi dari kamar ini," ucap Tiwi terus meracau.

Hatinya begitu pedih. Ia menjaga kehormatannya hanya untuk suaminya kelak. Tapi semuanya terasa sia -sia.

David terdiam, perlahan tubuhnya turun dari tubuh mungil Tiwi dan merebahkan diri tepat di samping Tiwi. Tangan David sengaja menggenggam tangan Tiwi yang masih merasa lemah dan tak bertenaga. Ia merasakan getaran aneh di dadanya. Tapi Tiwi hanya diam dan terus terisak.

"Maafkan aku. Aku khilaf, aku terlalu ber -nafsu," jawab David lirih.

Tubuhnya berubah meyamping dan menatap wajah Tiwi dari arah samping. Tubuh polos Tiwi yang terlentang seolah memang sedang pasrah pun sudah tak lagi di minati oleh David. Dengan pelan ia menarik selimut dari arah bawah dan menyelimuti Tiwi hingga tubuh mungil itu merasa hangat kembali. Perlahan David memeluk Tiwi dari arah samping.

Rasanya ingin menjaga gadis itu tidk hanya untuk malam ini, hari ini, dan saat ini saja.

"Kamu mau memaafkanku? Aku memang jahat telah berbuat kasar padamu. Aku memang jahat telah menodaimu. Aku minta maaf, Tiwi," ucap David lirih dengan nada memohon.

"Mudah ya? Bilang maaf, jika semua sudah terjadi. Mudah? Bilang maaf, jika semua sudah hancur lebur seperti kaca. Apa masih ada rasa untuk memaafkan kalau seperti itu?" tanya Tiwi lirih. Tubuhnya bergetar karena Tiwi terus saja menangis.

"Apa yang harus aku lakukan agar kamu memaafkan aku, Tiwi. Aku benar -benar menyesal. Kalau terjadi sesuatu padamu, aku mau bertanggung jawab atas perbuatanku," ucapan David begitu tulus dan apa adanya. Perkataan itu lolos begitu saja dari bibir David. David benar -benar menyesal atas perbuatannya kali ini.

Tiwi menoleh ke arah David. Senyum kecut dan di paksakan itu begitu terlihat sinis saat bertatapan dengan David.

"Kau mau memaafkan aku?" tanya David lirih. Tubuh David semakin di rapatkan ke arah tubuh Tiwi dan gadis itu terdiam. Kepala David di tenggelamkan ke arah ceruk leher yang telah membuatnya nyaman semalaman ini.

"Berubahlah. Meskipun kamu orang kaya, belajarlah untuk tetap rendah hati dan tidak memandang buruk terhadap orang lain," titah Tiwi pelan.

Tiwi bingung saat ini. Pelukan itu begitu membuatnya nyaman, tapi tak bisa di pungkiri, ia marah besar atas perlakuan David pada dirinya.

"Ijinkan aku pergi," ucap Tiwi lirih.

Tiwi bangkit berdiri dan menyapu pandangannya untuk mencari pakaiannya yang di buang begitu saja setelah di lepaskan oleh David.

Perlahan Tiwi turun dari ranjang itu. Betapa sakit rasaya di bagian intimnya dan terasa hingga di bawah perut. Tiwi mulai memakai bajunya satu per satu.

Ikatan rambut kepangnya di lepas dan seluruh rambutnya di kuncir menjadi satu ke atas membentuk kunciran ekor kuda.

Tiwi merapikan pakaian minimnya itu dan menutupi beberapa tanda merah sebagai bukti keganasan David semalam.

David ikut benagkit berdiri dengan tubuh polosnya. Ia memeluk Tiwi dari belakang. Rasany atidak ingin berpisah dengan gdis mungil itu.

"Aku akan berubah. Aku akan lebih baik lagi, dan tidak akan seperti ini," lirih David berjanji tepat di telinga Tiwi.

"Baik atau tidak dirimu itu untuk dirimu sendiri, bukan untuk orang lain, atau pun untuk keluargamu. Kalau kamu baik, orang akan segan padamu," ucap Tiwi yng kemudian menggeraikan kembali rambutnya karena di beberapa bagian lehernya terlihat noda merah.

"Aku minta nomor ponsel kamu? Berapa?" tanya david pelan dn mengambil ponselnya untuk mencatat nomor ponselnya.

Tatapan Tiwi tajm mengarah pada kedua mata David.

"Kau lupa? Atau memang bodoh?" ucap Tiwi ketus.

David mendongakkan kepalanya menatap lekat Tiwi yang berkacak pinggang. Baru kali ini ia melihat wanita yang baik namun galak tapi ia tidak tersulut untuk marah.

"Tadi malam ponsel ku di banting hingga pecah berkeping -kpeing karena sikap arogan kamu? Ingat?" tanya Tiwi mengingatkan.

'"Oh ya ... Aku lupa. Aku belikan yang baru lengkap dengan nomornya. Kita pergi sekarang," tawar David yang kemudian bergegas memakai pakaiannya untuk segera membelikan satu ponsel untuk Tiwi.

"Aku gak butuh!! Aku masih punya uang untuk membeli ponsel. Tidak perlu mengemis apalagi sampai menjual diri demi sebuah kebahagian dunia atau gengsi. Aku mau pulang," pinta Tiwi masih dengan suara pelan.

"Aku akan mengantarkanmu," jawab David yang masih terduduk di pinggiran ranjang.

"Gak. Mulai detik ini, aku tidak mau bertemu kamu lagi. Aku benci sama kamu!!" teriak Tiwi keras dan kembali menangis.

Kedua matanya memang telah basah sejak semalaman. Bahkan ia harus menanggung sikap arogan dan kesombongan David.

David berdiri, sikap arogannya kini lebih posesif. Ia memegang tangan erat pergelangan tangan Tiwi hingga membua gadis itu kesakitan.

"Dengar baik -baik!! Apa yang sudah menjadi milikku tak boleh ada yang menyentuh. Aku harap kamu bisa menjaga kepercayaanku!!" tegas David yang mulai posesif.

"Cuh ...." Tiwi meludah tepat di wajah David.

David terdiam. Tatapannya semakin tajam.

"Berani meludahiku? Apa hidupmu ingin aku hentikan saat ini?" tanya David mulai geram dan terbawa emosi.

Tangan mungil itu mulai di pelintir hingga berbunyi seperti patah tulang.

"Argh ...." teriak Tiwi keras karena kesakitan. Ia merasakan patah pad sendi -sendi dan engsel di tangannya.

"Wanita tidak tahu di untung!! Aku sudah berbaik hati padamu, menawarkan kebaikan, dan aku mulai luluh padamu. Tapi kau sama sekali tak menghargai aku. Dan itu membuatku marah besar," ucap David dengan suara yang memang jelas sedang murka.

Krek ...

Satu tangan yang lain pun di pelintir hingga menimbulkan bunyi yang sama.

"Argh ...." teriak Tiwi kembali tanpa ada rasa iba dan ampun dari David.

Itulah sisi buruk David, jika ia merasa di sakiti, tak di hargai, di kecewakan, maka ia akan berontak dan menyelamatkan harga dirinya.

Air mata Tiwi jatuh kembali membasahi pipinya yang putih mulus. Kedua tanganya seolah tak bisa di gerakkan kembali.

"Ijinkan aku pergi. AKu ingin pulang. Rasanya seluruh tubuhku sakit sekali. tapi lebih sakit semua perlakuan kamu kepada aku. Suatu hai kamu akan menyesal," ucap Tiwi pelan.

Tiwi lunglai berjalan ke arah pintu kamar. Ia hanya berharap pintu itu terbuka tepat pada waktunya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!