Tragedi

Jam di dinding sudah menunjukkan hampir pukul 12 malam. Sebenarnya aku sudah sangat mengantuk, tapi emtah kenapa mata ini tak juga mau dipejamkan.

Tiba-tiba terdengar suara deruman motor dari luar. Segera aku beranjak dari tempat tidur dan melihat ke arah luar dari balik jendela. Ternyata Mas Dion yang datang.

Untuk apa dia pulang kemari lagi? Masih butuh dia dengan tempat ini? Oh iya, aku lupa kalau rumah ini juga hasil dari kerja kerasnya. Lagi dan lagi aku hanya bisa tersenyum getir, memikirkan semua kebodohan ini. Bodoh kalau selama ini aku hanya menjadi seorang istri yang penurut dan tak banyak maunya. lelaki itu sebenarnya suka dengan yang namanya tantangan.

Ceklek! Kini Mas Dion sudah masuk kedalam kamar. Sengaja memang aku tak menyusulnya ke depan saat dia baru datang. Malas sekali rasanya untuk berpura-pura baik dengannya. Padahal

tingkahnya saja sudah membuatku merasa tak punya harga diri sama sekali.

"Belum tidur kamu, Ras?" Tegurnya.

"Belum." Jawabku singkat.

"Ini koper siapa? Mau kemana kamu?" Selidiknya. Setelah manik matanya melihat koper yang sudah siap di ujung tembok sana.

"Aku mau pulang kampung sama Della. Toh, aku disini juga nggak dianggap sama sekali kan sama kamu. Aku tak lebih hanya seperti babu di mata kamu. Tak lebih dari itu!" Sindirku sinis.

"Apa maksudmu, Ras? Kenapa kamu semakin kesini, semakib berani denganku?"

"Karena kamu tak bisa menghargaiku lagi, Mas. Oh iya, satu pesan dariku, kalau kamu memang mau bersenang-senang dengan keluargamu, silahkan! Asal, kamu ajak juga anakmu si Della. Jangan orang lain kamu bahagiakan, tapi anak dan istrimu sendiri kamu lupakan! Suami macam apa kamu, Mas!" Tandasku Lagi. Tak sabar ingin meluapkan semua rasa kesal yang sudah membuncah di hati.

"Mereka keluargaku, Ras! Bukan orang lain. Kenapa kamu selalu saja membenci semua keluargaku? Pantas saja ibu dan kakak dan juga adikku, merasa tak suka padamu. Karena sifatmu yang seperti itu?" Aku mencebikkan bibir.

Tersenyum getir. Entah apa lagi yang harus kukatakan pada Mas Dion.

Kalau memang dia lebih senang dan bahagia bersama keluarganya, kenapa dia harus menikah denganku? Dan memiliki anak? Kenapa dia tak melajang saja, agar dia tetap bisa bebas bersama dengan keluarganya?

"Terserah kamu, Mas! Aku ngantuk!" Langsung saja aku menarik selimut untuk menutupi semua tubuhku. Seketika ada bulir bening yang jatuh menetes tak tertahankan. Menandakan seolah perwakilan dari hati yang teriris perih.

...****************...

Pagi-pagi sekali Mas Dion sudah bersiap untuk berangkat pergi bekerja. Dan aku juga akan segera berangkat bersama Dilla.

Dilla memang sengaja aku izinkan dari sekolahnya, agar dia bisa ikut ke kampung untuk sementara bersama denganku. Rencananya aku ingin menenangkan diri disana untuk sementara waktu, sambil mengurus penjualan lahan bapak yang akan dibeli oleh perusahaan sawit.

"Kamu yakin Ras, mau pergi hanya berdua dengan Dilla?" Tegurnya. Seolah menyepelekanku. Karena selama ini aku memang selalu pulang bersama Mas Dion.

Mas Dion dulu tak seperti sekarang ini, semua berubah. setelah Mas Rino menjadi pengangguran dan sekarang hanya bekerja semaunya. Semenjak itu juga rumah tanggaku diuji oleh keluarganya sendiri.

"Yakin." Jawabku singkat. Benar-benar tak ada hasrat lagi untuk berbicara panjang lebar dengan Mas Dion. Setelah merasakan semua perlakuannya padaku beberapa bulan belakangan ini.

"Terserah jika itu mau, kamu! Benar kata Ibu, jika kamu bukanlah istri yang pantas di pertahankan!" ucapnya dan keluar kamar.

Apa maksud Mas Dion. Ibu mertuaku berkata seperti itukah? Padahal putranya sendiri, adalah suami yang tak pantas di pertahankan. Pelit memberi nafkah.

Keluarganya selalu nomor satu, aku dan Della nomor sekian.

...****************...

Pukul 04.00 pagi. Aku sudah bangun untuk shalat subuh, setelah itu akan bersiap-siap untuk berangkat pergi ke kampung. Bersama dengan Della.

Ketika aku keluar kamu dan melewati ruang tengah. Aku melihat Mas Dion tidur di sofa.

Pantas semalam dia tidak pindah ke kamar. Rupanya dia ada di situ. Aku perhatikan sekarang juga suamiku jarang beribadah, dia sering meninggalkan shalat.

Subuh pun dia tidak mau bangun, terkadang aku bangunkan. Dan ia hanya menjawab nanti, nanti.

...****************...

Mas Dion masih tertidur. Aku tak memasak sarapan, dan memilih tak berpamitan padanya. Kini aku dan Della sudah berada di terminal, menunggu kedatangan bus yang akan membawa kami ke kampung halamanku.

Hampir 1 jam menunggu, bus yang kami tunggu akhirnya tiba.

"Ayo Bu, kita masuk!" ajak Della antusias.

Putriku sangat senang aku ajak pulang kampung. Karena kami berdua tidak pernah dia ajak jalan-jalan oleh Ayahnya. Mas Dion sering mengajak keluarganya untuk refreshing hampir setiap bulan sekali. Tapi tak pernah mengajak anak dan istrinya.

Kamu mendapatkan kursi di tengah. Della duduk di dekat jendela, sambil melihat pemandangan dari kaca mobil.

Ponselku berdering ketika sudah setengah jam perjalanan. Mas Dion yang menelpon.

Dengan ragu aku akhirnya menjawab panggilannya.

"Di mana kamu!" suaranya membentakku.

"Aku sudah bilang semalam, akan pulang kampung,"

"Kenapa kamu pergi begitu saja, di mana sarapanku? Kamu lupa dengan kewajiban seorang istri!" hardiknya dari sambungan telepon.

"Minta saja pada Kakak iparmu, sarapan. yang kamu nafkahi, bukan aku!"

"Rasti! Lancang sekali mulutmu itu!" ucapnya.

Aku yakin jika sekarang raut wajahnya sudah merah padam, menahan amarah.

"Minta saja pada Mbak Sinta!" ucapku kembali dan menyuruh dia minta sarapan pada Kakak ipar tersayangnya.

"Kamu istriku, nukan dia!"

"Jika memang aku istrimu. Kenapa dia yang selalu kamu transfer duit, atau aku harus mengirim pesan pada Mbak Sinta untuk membuatkan kamu sarapan?" detik kemudian panggilan telepon ku-akhiri.

Aku tidak mau lagi bicara dengan Mas Dion. Ketika menoleh, ternyata Della sedari tadi memperhatikan aku.

Pasti dia merasa sedih, melihat aku yang selalu bertengkar dengan ayahnya.

Aku menggapai bahu putriku, dan kemudian memeluknya.

"Kamu senang kita pulang kampung?"

"Senang banget Bu, aku mau ketemu sama nenek dan kakek!" jawabnya dan tersenyum.

Sore ini, aku tiba di kampung. Ibu dan Bapak sangat senang menyambut kami.

Ibu memasak makan favoritku. Yaitu Ayam bumbu dan juga Della menyukai itu.

Usia makan. Ibu dan Bapak mengajak Della untuk ke rumah saudaraku yang tak jauh dari sini, dan masih tetangga.

Kami belum membahas tentang penjualan lahan itu.Aku menyalakan ponsel, karena tadi aku aktifkan mode pesawat.

Aku melihat banyak sekali panggilan, dan juga pesan dari Mas Dion. Yang isinya pastilah hanya kecaman padaku. Dia hanya ingin memaki diriku, melalui pesan dan aku tidak tertarik untuk membacanya.

Esok hari..

"Besok kita akan bertemu dengan perwakilan perusahaan itu, orang yang akan membayarkan uang pembelian lahan. Kamu berikan saja nomor rekeningmu, karena dia katanya minta nomor rekening." ujar Bapak siang itu.

"Aku ada Pak rekening, tapi sudah lama tak di gunakan. Tak pernah menyimpan uang juga, besok kita ke Bank terlebih dahulu. Untuk mengecek rekeningku masih aktif atau tidak!" jawabku.

Rekening aku buat dua tahun yang lalu. Dan tak pernah di isi uang.

"Besok biar Bapak temani, Bapak mau menyusul memberi makan ayam dulu!" ujarnya dan beranjak dari kursi.

Sedangkan Della dan Ibu sepertinya sedang main, ke tempat saudaranya. Ibu katanya mau menghabiskan banyak waktu dengan cucunya, karena jarang bertemu.

Mas Dion berulang kali menelpon tetap aku abaikan. Aku justru lebih tertarik melihat story suamiku, mengundang penasaran.

Dia memposting foto dengan teman-teman kantornya, sedang makan bersama di sebuah tempat makan, dengan duduk lesehan dan berbentuk saung.

Menu makanan mereka terlihat enak. Tapi bukan itu yang menyita perhatianku. Mataku tertuju pada wanita yang duduk di samping Mas Dion. Jarak duduk mereka begitu dekat. Wanita itu menggunakan baju kemeja putih dan di padu dengan blazer hitam yang ketat membentuk bentuk tubuhnya yang sintal.

Ketika sedang memperhatikan foto itu, ada panggilan masuk dari Mbak Utari tetanggaku.

Ada apa dia menelpon?

"Halo" ucapnya dengan suara yang keras dan bahkan tidak mengucapkan salam, ketika baru saja aku terima panggilannya.

"Halo, Rasti! Kamu di mana?"

"Aku ada di kampung Mbak, ada apa?" tanyaku.

"Ya ampun Rasti, Mbak udah deg-degan. Mbak kira kamu ikut rekreasi ke puncak itu, ternyata kamu nggak ikut ya?"

"Enggak Mbak, ada apa memangnya?" tanyaku semakin penasaran, karena ia belum menjelaskan.

"Salah satu rombongan bus yang menuju puncak itu kecelakaan, katanya Sinta jadi korban!"

"Apa?" aku tersentak dengan kabar ini. Mbak Sinta kecelakaan.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!