"Ok! Aku akan cari pekerjaan sendiri. Ingat Mas, kamu nggak akan bisa tanpa aku! Kalau kamu lebih mementingkan keluargamu, untuk apa kamu nikahin aku? Hah?!" Cercaku pada Mas Dion.
Mas Dion tersentak saat mendengar ucapanku yang seperti itu. Dia mungkin saja tak menyangka kalau aku akan berkata seperti ini. Memang selama ini aku hanya diam saja, saat suamiku memperlakukanku dengan semaunya. Seolah aku hanya patung dan dianggap manusia yang tak berguna.
Sekarang, aku sudah tak mau diam lagi atas semua kelakuan keluarganya. Aku ingin mereka juga merasakan semua penderitaanku pada saat dulu.
"Mulai berani ya, kamu sama aku? Sudah mulai kurang aj*r kamu sama aku, Ras?" Balas Mas Dion tak mau kalah. Matanya melotot ke arahku, hampir saja keluar dari tempatnya. Mas Dion benar-benar sudah tak punya rasa kasih sayang lagi denganku. Jadi, untuk apa aku pertahankan rumah tangga ini? Rumah tangga bagai taman kanak-kanak.
"Terserah apa katamu saja, Mas. Aku capek, aku lelah sama masalah-masalah yang setiap hari datang dan menghampiri rumah tangga kita. Ibumu yang selalu saja meminta uang, kakakmu juga sama, begitu juga adikmu. Mereka hanya memikirkan uang, uang, dan uang saja. Tanpa mau tahu sedikitpun tentang perasaanku," lirihku kini. Menumpahkan semua rasa sesak di dada yang sudah lama kupendam. Air mata ini mengalir deras, menatap matanya yang masih memandang tajam ke arahku.
Sejenak Mas Dion terdiam. Dadanya kembang kempis, mungkin sedang menahan amarah yang hampir meluap.
Segera kuhapus air mata ini. Lalu pergi keluar dari kamar. Menghirup udara sejenak di halaman belakang. Sambil meresapi semua badai ujian yang datang menghampiri keluarga kecil kami.
Memang, kata orang kalau pernikahan itu ujiannya jika tidak dari luar, maka bisa jadi dari orang dalam. Yaitu keluarga sendiri. Semoga suatu saat semuanya bisa berubah.
(Belanja keperluan untuk di puncak nanti. Chek....) lagi dan lagi kulihat status alay dari Kak Sinta. Gayanya udah sok selebritis saja. Padahal utang melilit. Dasar BPJS!
Karena rasa kesal yang sudah tak tertahankan, langsung saja kubalas story Kak Sinta barusan.
[Cie... yang mau belanja. Banyak duit nih? Tapi kira-kira duit sendiri, apa boleh minjam ya?] Tak menunggu waktu lama, pesan sudah dibaca oleh target. Yaitu kakak ipar yang sombong, tapi kere.
[Apa maksud kamu, Ras?] Aku mencebikkan bibir karena balasan pesannya yang sok benar.
[Pikir aja sendiri.] Segera kutaruh ponsel. Karena tak mau lagi meladeni si manusia bpjs itu.
[Kamu nggak usah sok ikut campur, Ras! Toh, kamu saja nggak bisa kan mencari uang? Hanya mengandalkan uang dari suamimu saja!] Balas Kak Sinta lagi. Seolah tau dengan apa yang sedang kupikirkan saat ini.
Aku hanya tersenyum getir. Melihat semua kenyataaan saat ini.
...****************...
Pagi harinya, Mas Dion sedang bersiap-siap untuk berangkat bekerja. Dia sama sekali tak menyapaku hari ini. Dan semua itu tak jadi masalah lagi bagiku. Seperti sudah terbiasa kini dengan sikapnya.
Kini Mas Dion sudah pergi berangkat bekerja. Dan niatku hari ini ingin menjual cincin kawin ke pasar. Hanya harta ini satu-satunya yang kini kumiliki. Tapi, setelah ini aku akan memiliki uang yang banyak dan membangun berbagai usaha. Agar aku tak selalu direndahkan oleh suamiku, maupun keluarganya.
"Koh, ini kalau dijual laku berapa?" Tanyaku pada si pemilik toko mas.
"Palingan tiga juta aja, Bu. Cincin ini sudah agak pudar warnanya." Aku terdiam sejenak. Menghitung ongkos dan biaya lainnya untuk pulang ke kampungku.
Selama berumah tangga dengan Mas Dion, aku memang jarang sekali pulang ke kampungku. Mas Dion selalu saja beralasan jika aku meminta untuk menengok ibuku di kampung. Sangat berbanding terbalik dengan sikapnya dia ke keluarganya sendiri. Menyedihkan!
Terkadang aku juga harus menahan rasa kesal, saat Mas Rino meminjam uang terus-menerus pada suamiku, tanpa berniat untuk mengembalikannya.
"Kok murah sekali ya, Koh? Saya beli waktu itu harganya masih empat jutaan," jelasku.
"Iya kan tadi saya bilang, kalau emas punya ibu sudah mulai pudar warnanya. Jadi harganya segitu. Itu pun kalau ibu mau." Jelasnya lagi, dengan gaya bahasanya yang khas.
Karena hati yang masih ragu-ragu. Akhirnya kuurungkan sementara niatku untuk menjual cincin kawin ini. Dan bersiap untuk pulang ke rumah.
"Ini cakep nggak, Sin?" Saat aku ingin melangkahkan kaki untuk pulang, refleks kepala ini malah mencari pusat suara tadi. Mirip suara ibu mertuaku.
Benar saja, ibu mertuaku sedang berada disini juga, bersama dengan adik iparku.
Mereka berdua memang tak melihatku, karena posisiku saat ini berada di barisan paling pojok, sedangkan mereka ada di ujung sana. Dan toko mas ini juga cukup luas untuk para pengunjung, dan juga cukup ramai.
Kuperhatikan sejenak mereka berdua. Karena aku juga ingin tahu, mau apa mereka kemari? Apa mungkin ingin membeli emas?
"Iya Bu, ini bagus modelnya. Aku jadi pengen juga deh, Bu," sahut Gita, sambil memilih-milih gelang model terbaru.
"Kamu sabar ya? Bulan ini untuk ibu dulu. Nanti, bulan depan kita minta sama kakakmu, biar kamu dibeliin gelang yang kamu suka. Kan Dion udah naik jabatan, gajinya 15 juta, belum bonus. kita minta apa saja pasti di turutin!" Ujar ibu mertua. Gita pun langsung tersenyum sumringah sambil mengangguk.
Seketika ada rasa perih yang menjalar di hati ini. Sakit tapi tak berdarah.
Mas Dion naik jabatan dan merahasiakannya dariku. Kenapa terlalu banyak yang ia sembunyikan, dari istrinya sendiri.
Apakah dia begitu takut jika uang itu aku minta, dan di gunakan oleh anak istrinya, dia tak rela.
"Ibu beli emas?" tanyaku dan mendekati mereka seketika raut wajah Ibu syok dan Gita memasang raut wajah tak suka, ketika melihat kehadiranku di sini.
"Kamu ngapain ada di sini, mau beli perhiasan?" cecarnya menatapku sinis.
"Uang dari mana?" Tanya dia Kembali, yang bukannya menjawab pertanyaanku.
"Aku ingin jual cincin,bukan beli perhiasan. Boro-boro beli perhiasan, nafkah saja tidak diberi jadi aku jual cincin untuk biaya hidup."
"Jaga perkataanmu, sudah di beri nafkah kamu tolak! Kamu ingin mempermalukan suamimu, istri macam apa!" Ucap ibu dengan suara yang di tekan dan matanya menyorot tajam padaku.
"Nafkah 400 ribu, sedangkan gaji dia belasan juta sekarang? Uang gaji Mas Dian itu hanya untuk keluarganya, bukan untuk anak dan istri. Jadi ibu maklum saja jika aku sampai menjual cincin!" Ujarku dan meninggalkan tempat itu.
Biarlah mereka yang menikmati gajimu Mas. Jika aku punya usaha sendiri, aku bahkan tak butuh nafkah darimu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments