Bab 3

"Aku mau jual cincin karena anakmu sebagai suamiku, tak mau memberikan aku uang. Karena keluarganya sangat membutuhkan uangnya, untuk bersenang-senang!" ujarku agar mereka tersentil.

Biar saja Ibu mertua merasa malu. Karena perasaanku rasanya sudah campur aduk, karena mengetahui fakta tentang suamiku.

Tak ada lagi rasa sayang Mas Dion untukku. Pernikahan macam apa ini, aku bertahan tak pernah di hargai.

Aku berlalu pergi meninggalkan Ibu dan Gita. Yang masih tercengang dengan perkataanku tadi. Membuat wajah mereka memerah menahan malu.

Ibu memakiku. Tapi aku tak mendengar dengan jelas apa yang ia katakan. Karena ku-percepat langkah ini, untuk segera pergi dari hadapan mereka.

Aku menghitung uang penjualan cincin. Setelah terpaksa menjualnya, dengan harga yang sama dengan toko emas tadi.

Karena aku butuh untuk pulang kampung, dan menemui Ibu dan Bapak.

"Assalamualaikum..!" terdengar suara Della yang sepertinya baru saja pulang sekolah.

"Walaikumsalam." sahutku.

Putriku itu berjalan menuju diriku yang masih di dalam kamar, pintu kamar terbuka.

Della mencium punggung tanganku dengan takzim.

"Ibu belikan kamu ayam goreng crispy, kesukaanmu. Makan sayang, setelah itu ganti baju,"

"Oke, Bu. Enak nih ada ayam,"

"Iya, Ibu lagi ada rejeki. Nanti Ibu daftarkan kamu untuk ikut rekreasi ya," ujarku.

"Tidak usah Bu, aku gak mau ibu susah cari uang untukku. Ayah pasti gak izinin," ucapnya.

Della walau usianya masih 9 tahun. Akan tetapi putriku ini selalu mengerti tentang keadaanku.

"Memangnya berapa hari lagi?"

"Tinggal 2 hari lagi Bu, semua temanku sudah mendaftar. Kelas lima dan enam. Tapi beberapa ada yang tidak ikut juga kok!"

"Ya sudah, kamu ganti baju sana. Kita makan bareng!" titahku dan di turuti oleh Della.

Aku menyimpan uang di dalam dompet dan menaruhnya di lemari, esok aku juga akan pergi ke kampung. Jadi tak mungkin juga menemani Della jika dia turut rekreasi.

Nanti saja setelah urusan di kampung selesai, akan aku ajak putriku untuk refreshing bersama Kakek dan Neneknya juga.

Aku mencuci piring di wastafel. Usai makan siang bersama Della.

"Bu, ada Vino," ucap Della membuatku menoleh.

"Ada apa, Nak?"

"Vino mau minta makanan, katanya dia laper!" ucap Della dan mengajak Vino untuk duduk di kursi meja makan yang ada di dapur.

"Kamu ambilkan ya Nak, untuk Vino. Itu kan masih ada ayam gorengnya!" ujarku sambil Mengelap piring yang sudah selesai di cuci.

Della mengambilkan piring, dan mengisi nasi juga ayam goreng crispy.

Aku ikut duduk dan bergabung bersama mereka, setelah selesai dengan pekerjaanku.

"Makasih ya Kak, Della," ucap Vino dan kemudian mulai menyuap makanan ke dalam mulutnya.

Dia sangat lahap sekali ketika menyuap makanan ke dalam, mulutnya. Seperti orang yang kelaparan.

"Kamu makannya pelan-pelan, ini minum dulu!" aku memberikan segelas minuman pada Vino.

Keponakanku yang berusia 6 tahun ini cukup sering datang ke rumah, untuk meminta makan. Karena Mbak Sinta sering tidak masak, dan dia lebih banyak menghabiskan waktunya di luar rumah, bersama teman-temannya.

"Mama kamu belum masak, kamu belum makan ya dari pagi?" tanyaku pada Vino.

"Belum Tante, Mama tadi pergi katanya mau senam," jawabnya.

Seperti biasa Mbak Sinta lebih mengedepankan gayanya. Sebenarnya tidak tak salah jika dia ingin pergi senam, ataupun mempunyai kegiatan bersama temannya.

Tapi harusnya dia mengutamakan juga keluarganya, meninggalkan anaknya di rumah tanpa ada makanan. Apakah Mbak Sinta tidak berpikir, jika anaknya akan kelaparan.

Sudah cukup sering dia begini, tidak hanya sekali.

Vino datang ke rumah, dan kedua orang tuanya juga mengetahui jika anaknya datang, untuk meminta makan.

Bahkan kadang mereka menyuruh Vino untuk membungkus makanan dari rumahku.

"Tante, itu ayamnya masih ada tiga potong lagi, untuk aku ya? Biar aku bawa pulang, karena Kak Fina dan juga Papa belum makan tadi! Papa bilang katanya suruh bawa makanan dari rumah Tante," ujar bocah kecil itu.

Benar kan dugaanku. Vino akan meminta membungkus makanan. Jika aku ada rezeki, aku tidak bisa pelit dan tega pada keponakanku sendiri.

"Iya, kamu bawa saja sekalian," jawabku.

"Nasinya juga ya Tante, Mama juga belum masak nasi! Kata Papa suruh bawa sekalian!"

Astaga Mbak Sinta belum masak nasi, keterlaluan.

"Tante bungkus kan dulu ya, nasinya!"

Setelah membungkus nasi itu, dan juga ayam yang tadi tersisa. Aku memberikannya pada Vino.

Bocah itu tampak riang, setelah aku berikan makanan dan kemudian ia pulang.

"Tante Sinta, males banget. Kasihan Vino sering kelaparan!" celetuk Della putriku.

Aku hanya tersenyum getir. Kasihan bocah itu, kurang perhatian karena Mamanya sibuk dengan dunia sendiri. Tapi jika pinjam uang, selalu anak yang jadi alasannya. Padahal uang itu di gunakan untuk gaya hidupnya yang hedonis.

"Rasti, Mas ingin bicara padamu!" ujar Mas Dion.

Dia baru saja pulang bekerja dan menemuiku, yang sedang menonton televisi dengan Della.

"Bicaralah, mas!" ucapku tanpa menatapnya. Karena mataku terfokus pada layar televisi.

"Aku ingin bicara di kamar, tidak enak jika didengarkan oleh anak kita!"

Aku bangkit dari duduk kemudian kami berjalan menuju kamar.

"Katakan, apa yang ingin kamu bicarakan!" ujarku dan tidak mau membuang waktu.

"Apa benar kamu habis jual cincin? Kenapa kamu pakai jual cincin segala, itu kan cincin yang dulu dibeli menggunakan uangku!" ujarnya langsung mencercaku.

Pasti Ibu mertua yang melaporkan nya. Karena kami tadi bertemu di toko emas.

"Kenapa Mas! Aku butuh uang dan cincin itu hartaku satu-satunya. Aku tidak punya pilihan lain, selain menjualnya!" jawabku dan mencoba mengontrol emosi. Dia mengungkit, karena dia yang mebelikan cincin itu dulu.

"Kalau kamu mau menjual, kamu harus minta izin dulu padaku. Bukan seenaknya kamu menjual begitu!" hardiknya.

"Sok menolak nafkah yang aku berikan, malah jual cincin!" bentaknya kembali.

"Baiklah, aku anggap itu hutangku padamu. Nanti aku akan bayar! Sesuai dengan harga yang dulu!" jawabku.

"Hah, sombong sekali. Kamu dapat uang dari mana!" cebiknya meremehkan diriku.

"Kamu tak perlu tahu dari mana, aku akan kembalikan!" Tegasku.

"Makanya kamu itu kerja, lihat wanita di kantorku mereka cantik dan mandiri. Berbeda denganmu, hanya bisa menengadah pada suami!" cercanya.

Mas Dion pergi mengambil handuk. Ia keluar kamar, dan menuju kamar mandi.

Aku tak boleh menangis lagi. Jika nanti uang itu sudah di tanganku. Akan kusumpal mulut sombongmu menggunakan uang Mas.

Ponsel Mas Dion yang ia letakkan tadi di atas kasur, di dekat tas kerjanya bergetar.

Aku meraih ponsel itu. Penasaran saja dan ingin melihat siapa yang mengirim pesan padanya.

"Sinta?" gumamku ketika melihat namanya tertera di jendela notifikasi.

Aku menggeser layar ke bawah.

[Terima kasih ya Dion, transferannya sudah masuk 2 juta.]

Apalagi ini, dia mentransfer uang pada kakak iparnya. Kenapa mereka dekat?

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!