4. Menurut...

Pukul dua belas siang Rania turun ke bawah dan melenggang menuju dapur. Kebetulan ada Lila yang tengah menyiapkan bahan makanan yang akan dia masak untuk makan siang hari ini.

"Siang Lila, mau masak apa? Aku bantu ya?" sapa Rania menawarkan bantuan. Dia merasa tidak enak hati kalau hanya sekedar numpang tinggal di rumah itu.

"Siang Nona, tidak usah repot-repot. Aku bisa sendiri, Nona di kamar saja jagain Tuan Matteo." sahut Lila.

"Mas Teo lagi tidur, aku suntuk di kamar terus. Aku di sini saja bantuin kamu, boleh ya?" bujuk Rania, dia mengukir senyum ke arah Lila.

"Ya sudah, tapi kalau dimarahi Nyonya aku tidak ikut-ikutan ya. Nyonya Merry itu pemarah dan-"

"Apa yang kalian bicarakan?"

Baru saja namanya disebut, eh yang punya badan langsung muncul. Untung saja Lila bicara sambil berbisik, jika tidak bisa gempar seisi dapur dibuatnya.

"Maaf Nyonya, kami sedang membahas masakan yang akan dimasak siang ini." sahut Lila. Dia membungkukkan punggung memberi hormat pada wanita super judes itu.

"Bagus. Sekalian ajarkan wanita itu, biar dia tau cara memasak. Jangan hanya ongkang-ongkang kaki saja bisanya!" sindir Merry tersenyum sinis.

Rania hanya diam mendengar ucapan Merry, tersinggung pun tidak ada gunanya. Lagian setelah Matteo sembuh drama ini akan berakhir, jadi tidak perlu diambil hati.

"Saya ada urusan ke luar kota selama sepuluh hari, bisa saja lebih. Selama saya pergi, jaga putra saya dengan baik! Lebih bagus lagi jika Matteo sudah bisa berjalan saat saya kembali, jadi kamu tidak perlu berlama-lama di rumah ini." tegas Merry dengan tatapan tajam menunjukkan ketidaksukaannya terhadap Rania.

"Baik Ma, aku akan berusaha semampuku." angguk Rania.

"Baguslah kalau kamu mengerti. Oh ya, jangan kecentilan di depan putraku! Matteo sudah memiliki tunangan, jadi jangan pernah berpikir untuk menjadi istri sungguhan untuknya. Itu tidak akan pernah terjadi," tegas Merry memberi peringatan.

"Iya Ma, aku mengerti." angguk Rania lagi.

Merry berbalik dan melangkah menuju pintu utama, lalu masuk ke dalam mobil yang sudah disiapkan oleh Pak Anton.

"Jalan!" titah Merry dengan pongahnya, dia melipat kaki dan bersandar sambil memainkan iPhone miliknya.

Sesaat setelah Merry memberi perintah, mobil itu melaju dan menghilang meninggalkan gerbang.

"Jangan diambil hati ya Non! Nyonya Merry memang begitu orangnya," ucap Lila.

"Tidak apa-apa, lagian aku di sini cuma sementara kok. Setelah Mas Teo sembuh, aku akan pergi sesuai perjanjian kami." Rania tersenyum kecut, lalu mulai memasak bahan yang sudah mereka siapkan tadi.

Setelah satu jam berkutat di dapur, Rania menghela nafas lega. Di meja makan sudah terhidang sop iga, ayam crispy dan sambal. Segera Rania menyiapkan nampan dan mengisi piring dengan makanan, lalu membawanya ke kamar.

Saat kaki Rania menginjak lantai kamar, dia mendapati Matteo yang sudah membuka mata.

"Mas sudah bangun? Maaf ya, aku tadi di dapur menyiapkan makan siang."

Setelah menutup pintu, Rania berjalan menuju meja sofa dan menaruh nampan yang dia bawa, lalu menghampiri Matteo dan duduk di sisi ranjang.

"Kenapa Mas? Kok mukanya jadi keringatan begini? AC nya kurang dingin ya?" tanya Rania menerka-nerka, lalu mengambil tisu yang ada di atas nakas dan menyeka wajah Matteo sampai kering.

"Aku haus," gumam Matteo dengan suara sedikit bergetar.

"Oke, tunggu sebentar ya Mas!" Rania berlari kecil menuju meja sofa dan mengambil gelas yang dia bawa tadi, lalu membawanya ke hadapan Matteo.

"Pelan-pelan ya Mas!" Rania membantu Matteo memegang gelas, lalu Matteo meneguknya terburu-buru. Tenggorokannya terasa sangat kering sehabis mengalami mimpi buruk tadi.

"Uhuk..." Matteo tersedak dan terbatuk, Rania menepuk-nepuk punggungnya dengan pelan.

"Ehem... Sudah aku bilang pelan-pelan, Mas tidak dengar sih." Rania tersenyum kecil menampakkan barisan giginya yang sangat rapi.

"Terima kasih," ucap Matteo setelah merasa sedikit tenang.

"Tidak usah berterima kasih," sahut Rania. "Oh ya, Mas mau makan sekarang atau nanti? Bagusnya sekarang sih biar langsung minum obat."

Dasar aneh, dia yang bertanya dia pula yang menjawab.

"Kamu bisa diam tidak? Dari tadi bicara terus, bikin pusing saja." bentak Matteo meninggikan suara.

Rania tiba-tiba terlonjak. "I-Iya, aku diam sekarang." Sesuai permintaan Matteo, Rania benar-benar diam tanpa bersuara. Dia kemudian menjauh dari Matteo dan duduk di ujung sofa sambil menatap makanan yang dia bawa tadi.

Sesaat suasana di kamar itu menjadi hening, baik Rania maupun Matteo tidak satupun dari mereka yang bersuara.

Satu menit sampai sepuluh menit keduanya hanya diam. Lima belas menit kemudian barulah Matteo membuka suara.

"Aku lapar, aku mau makan sekarang." pinta Matteo.

"Oke, tunggu sebentar!" jawab Rania singkat.

Rania bangkit dari duduknya dan membawa nampan itu ke hadapan Matteo, lalu menaruhnya di atas nakas.

"Ini," ucap Rania sambil menyodorkan piring ke tangan Matteo.

"Suapi!" titah Matteo.

"Baik," angguk Rania singkat.

Rania tidak berani bicara banyak, dia akan bicara seperlunya saja agar Matteo tidak membentaknya lagi.

Aneh memang. Meski tidak ada perasaan apa-apa, tapi hati Rania terasa ngilu saat pria itu membentaknya. Rania tidak tau apa yang salah dengan dirinya, tapi yang pasti Rania tau bahwa Matteo tidak menginginkan kehadirannya.

Setelah makanan di piring itu habis, Rania mengambilkan obat dan menaruhnya di tangan Matteo lalu menyodorkan segelas air putih.

Selepas Matteo menelan obat dan menenggak air putih, Rania mengambil alih gelas kosong itu lalu menaruhnya di atas nampan. "Permisi," Rania mengangkat nampan itu dan berjalan meninggalkan kamar.

Matteo mengerutkan kening, dia bingung melihat sikap Rania yang mendadak berubah sepersekian derajat. Apa tadi dia terlalu kasar? Tidak, Matteo merasa biasa-biasa saja. Perlakuannya pada perawat sebelumnya bahkan lebih kasar dari ini.

Setelah Rania kembali, suasana tiba-tiba menjadi canggung. Rania hanya diam di atas sofa meski sesekali tatapan mereka tak sengaja bertemu.

"Apa yang terjadi denganmu? Kenapa dari tadi diam saja?" tanya Matteo mengerutkan kening.

"Tidak apa-apa," jawab Rania singkat, wajahnya ditekuk memandangi jari-jari yang saling meremas satu sama lain.

"Pandang aku kalau aku sedang bicara!" titah Matteo.

"Ba-Baik," Rania mendongak dan menatap Matteo sesuai perintah, wajahnya terlihat datar tanpa ekspresi. "Kalau butuh sesuatu katakan saja!" imbuh Rania.

"Kakiku terasa kesemutan," ucap Matteo dingin.

"Benarkah?" Rania membulatkan mata, sepertinya ini pertanda baik untuknya. Itu artinya kaki Matteo sudah tidak mati rasa. Semakin besar kemungkinan Matteo bisa sembah, semakin baik pula untuk Rania.

"Mau aku bantu jalan tidak? Semakin banyak bergerak, maka akan semakin besar pula kesempatan kamu buat jalan." Wajah Rania berseri-seri mengatakan itu. Bahagia, jelas sekali. Jika Matteo sembuh, dia tidak perlu berlama-lama tinggal di rumah itu.

"Sepertinya kamu terlihat begitu bahagia," Matteo mengerutkan kening.

"Tentu saja aku bahagia. Jika kamu sembuh, itu artinya tugasku selesai sebagai seorang..." Rania menutup mulut dengan cepat. "Seorang perawat... Iya, perawat." imbuh Rania.

"Kamu yakin? Kenapa perasaanku mengatakan ada yang aneh dengan dirimu?" Matteo mencoba mencari kebenaran.

"Sudah, tidak usah dipikirkan. Yang penting kamu sembuh dulu, sisanya nanti saja kita pikirkan."

Dengan senyum penuh kebahagiaan, Rania bangkit dari duduknya dan duduk di sisi ranjang.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

sebab kau sudah membentak nya...

2024-11-08

0

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

sabar Rania....

2024-11-08

0

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

baguslah kalau kau pergi...

2024-11-08

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!