3. Senyum Di Atas Luka...

"Mas mau sarapan di kamar atau turun ke bawah?" tanya Rania setelah suaminya terlihat rapi dan tampan.

"Di kamar saja," jawab Matteo dingin.

"Baiklah, Mas tunggu di sini dulu ya. Aku ke bawah sebentar mengambilkan makanan," balas Rania, lalu meninggalkan kamar dan turun menuju meja makan.

Baru saja kaki Rania menginjak lantai ruang makan, tatapan sinis dari mata Merry sudah mengarah pada dirinya. Rania terlihat gugup tapi tetap memberanikan diri menyapa mertuanya.

"Pagi Ma, Rania izin mengambil makanan untuk Mas Teo ya Ma." ucap Rania sambil membungkukkan punggung.

"Lila, ambilkan makanan untuk Tuan Matteo! Aku tidak mau meja makanku tersentuh olehnya,"

Bukannya menyahut, Merry malah acuh tak acuh pada Rania. Dia bahkan meminta pelayan untuk mengambilkan makanan karena tak sudi meja makannya disentuh oleh Rania. Sampai di sini Rania mulai paham dan memilih diam sambil menunggu Lila selesai menyiapkan makanan.

"Ini Nona," Lila memberikan nampan yang sudah berisi makanan dan minuman ke tangan Rania.

"Terima kasih, kalau begitu aku permisi dulu." Setelah mengambil alih nampan itu, Rania segera berbalik dan meninggalkan ruang makan dengan perasaan sedikit lega.

Lama-lama berada di sana sepertinya tidak baik untuk jantung Rania, tatapan Merry seakan membawa penyakit untuk dirinya.

Sesampainya di kamar, Rania menutup pintu dan berjalan menuju meja sofa. Setelah meletakkan nampan itu di sana, Rania menghampiri Matteo dan mendorong kursi roda yang didudukinya.

"Mas mau disuapi apa makan sendiri?" tawar Rania setelah memposisikan kursi roda Matteo di dekat sofa.

"Suapi," jawab Matteo singkat dan sedingin salju.

Rania hanya tersenyum, lalu duduk di sisi sofa dan menarik kursi roda Matteo semakin dekat. Setelah itu Rania mengambil piring yang ada di atas nampan dan mulai menyendok makanan.

"Buka mulutnya!" pinta Rania sembari menyodorkan sendok berisi makanan ke mulut Matteo.

Sesuai permintaan Rania, Matteo pun membuka mulut dan mengunyah makanan dengan pelan. Sampai suapan terakhir, Rania tak henti tersenyum meskipun ada beban yang menjepit jantungnya.

"Lagi ya Mas, nanggung." ucap Rania.

"Cukup, aku sudah kenyang." tolak Matteo.

"Ya sudah, sekarang minum dulu ya Mas." Rania menaruh piring itu di atas nampan dan mengambil gelas berisi air putih, tak lupa pula Rania mengambilkan obat Matteo yang ada di atas nakas dan meletakkan lima biji pil di tangan Matteo.

Setelah Matteo menelan obat dan meminum air putih, Rania merapikan kembali nampan itu dan menyeka bibir Matteo dengan tisu.

"Aku ke bawah sebentar ya Mas, mau menaruh nampan ini dulu." ucap Rania.

"Nanti saja, bawa aku ke balkon dulu!" pinta Matteo.

"Iya," angguk Rania, lalu berdiri dan mendorong kursi roda Matteo ke balkon.

Setelah memposisikan kursi roda Matteo di bawah sinar matahari pagi, Rania berbalik dan meninggalkannya sendirian. Sebelum turun, Rania duduk sebentar di sofa. Tanpa pikir dia langsung melahap sisa makanan yang ada di piring.

"Hmm... Enak," lirik Rania dengan mata berkaca.

Akhirnya Rania menitikkan air mata saat tak seorang pun ada bersamanya. Dia memang berusaha tegar di hadapan semua orang, dia harus kuat dan tidak boleh lemah agar orang-orang tidak semena-mena padanya. Tapi di belakang, hati Rania benar-benar rapuh tanpa tau kemana harus mengadu.

Sejak lahir, Rania sudah kehilangan ayahnya tanpa sempat bertemu dengan dirinya. Dari penjelasan sang ibu, ayah Rania meninggal saat dia masih berada di dalam kandungan, beberapa minggu sebelum Rania lahir ke dunia akibat insiden kecelakaan yang terjadi di pabrik tempatnya bekerja. Tapi sampai detik ini Rania tidak pernah melihat kuburannya. Sedangkan ibu Rania meninggal satu tahun yang lalu saat gadis itu baru lulus dari SMA.

Harapan satu satunya Rania adalah Arbi. Tapi ternyata pria itulah yang menjerumuskannya ke dalam pernikahan semu ini. Pernikahan yang hanya dijadikan simbol agar Rania terikat untuk merawat Matteo hingga sembuh.

Sebenarnya tanpa menikah pun Rania akan tetap bersedia merawat Matteo, tapi Merry sama sekali tidak percaya hingga akhirnya terjadilah kesepakatan diantara mereka berdua.

Rania menyapu jejak air mata di pipinya dan segera menghabiskan makanan sisa Matteo sampai tandas, lalu meneguk minuman sisa Matteo juga sampai habis. Setelah itu Rania berdiri dan meninggalkan kamar sembari membawa nampan piring kotor itu ke dapur.

Tanpa Rania sadari, ternyata Matteo melihat semua itu dan bergeming di kursi roda yang dia duduki. Matteo tak habis pikir, kenapa Rania malah memakan makanan sisa padahal di rumah itu tidak pernah kekurangan makanan, malah seringkali berlebih dan terbuang sia-sia.

Di bawah sana, Rania segera mencuci nampan dan piring kotor yang dia bawa. Setelah menaruhnya di rak, Rania kembali ke kamar untuk melanjutkan tugasnya merawat Matteo.

"Ceklek!"

Matteo segera melajukan kursi roda saat menyadari ada yang membuka pintu dari luar dan kembali ke posisinya.

"Mas, aku mandi sebentar ya. Mas tidak apa-apa kan aku tinggal?" seru Rania dari pintu balkon.

"Iya, mandilah!" jawab Matteo dingin.

Karena sudah mendapatkan izin, Rania langsung mengambil pakaiannya yang ada di dalam koper. Rania sengaja tidak memasukkannya ke dalam lemari karena merasa tidak pantas berbagi lemari mahal itu dengan Matteo.

Lalu Rania memasuki kamar mandi dan segera membersihkan diri.

Seperempat jam kemudian, Rania keluar dan merapikan pakaiannya di depan cermin. Setelah menyisir rambut, Rania langsung menyusul Matteo ke balkon.

"Sudah ya Mas berjemurnya, matahari mulai terik." ucap Rania, lalu mendorong kursi roda Matteo ke dalam kamar.

Setelah merapatkan kursi roda Matteo ke sisi ranjang, Rania kemudian memindahkannya ke kasur. Berat memang tapi Rania harus kuat seperti baja, dia tidak boleh lemah dan menyerah. Jika Matteo sembuh, maka semua tanggung jawabnya akan berakhir saat itu juga.

"Kamu tidak sarapan?" tanya Matteo dingin.

"Sudah tadi," jawab Rania santai.

"Kapan?" Matteo mengerutkan kening.

"Tadi di bawah." jawab Rania berbohong. "Tidak usah dipikirkan, sekarang Mas istirahat dulu ya biar cepat sembuh." imbuh Rania, lalu menarik selimut dan menutupi kaki Matteo.

"Apa kamu terpaksa menjadi istriku dan merawat ku?" Matteo lagi-lagi mengerutkan kening.

"Tidak sama sekali. Mana mungkin aku mau dipaksa? Aku bukan wanita pengecut, aku ikhlas melakukan ini. Mas tidak usah mikir aneh-aneh, fokus saja sama kesembuhan Mas. Aku yakin sebentar lagi Mas bisa jalan seperti semula, pokoknya Mas harus semangat untuk sembuh, tidak boleh pesimis!"

Rania tersenyum dan memperagakan kepalan tangannya yang menekan otot lengan. Persis seperti Agung Hercules saat memperlihatkan otot lengannya.

"Kamu juga tidurlah di sini!" ucap Matteo.

"Tidak usah, aku di sofa saja. Aku tidak ingin mengganggu tidur Mas. Soalnya aku tidak bisa tenang kalau tidur, aku bisa saja menendang Mas sampai jatuh, hehe..." Rania tertawa kecil hingga memperlihatkan barisan giginya yang sangat rapi. Dada Matteo tiba-tiba berdenyut menyaksikan keindahan yang ada di depan matanya itu.

"Ya sudah, selamat tidur. Semoga mimpi indah,"

Rania kemudian mendorong kursi roda kosong itu dan menaruhnya di sudut kamar, lalu duduk di sofa sambil menatap lama ke arah ranjang. Tatapannya terlihat kosong dan penuh misteri. Matteo yang melihatnya tidak bisa menerka-nerka, sulit ditebak dan diungkapkan dengan kata-kata.

Bersambung...

Terpopuler

Comments

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

sungguh berat beban yang ditanggung oleh Rania ...

2024-11-08

0

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

kau tidak tahu kah Matteo, ibu sungguh jahat sekali...kasian Rania 😭

2024-11-08

0

Yunerty Blessa

Yunerty Blessa

kasian nya Rania makan makanan sisa dari Matteo 😭

2024-11-08

0

lihat semua
Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!