Aku termenung di atas meja. Kepalaku kusandarkan di muka meja, dan mataku agak sedikit terlelap. Aku sangat mengantuk pada hari itu.
Dan aku hitung lagi, rupanya Aluna sudah tidak masuk sekolah selama sepuluh hari. Tentu saja aku jadi sangat cemas. Apa lagi, dia bukan seseorang yang bermain ponsel seperti anak-anak lainnya. Bagaimana aku bisa tahu apa kabarnya?
Tiba-tiba..
Brukk!!
Aku terkejut dan membelalakkan mataku, tatkala seseorang berusaha duduk di sebelahku. Aku pikir itu Aluna, tapi ternyata, malah orang lain.
"Aluna?"
"Aku bukan Aluna, aku Caca.."
Keadaan kelas masih agak sepi, karena ini masih termasuk jam istirahat.
"Caca? Kamu kenapa duduk di sini? Di mana Aluna?"
"Kenapa dia tidak pernah masuk?"
Aku menghujaninya dengan beragam pertanyaan tentang Aluna begitu dia datang.
"Kemarin dia pulang ke kotanya, ayahnya meninggal dunia karena jatuh dari lantai sepuluh di proyek pembangunan."
Deg!?
Jantungku hampir terasa berhenti tatkala Caca mengatakan apa yang sesungguhnya terjadi pada Aluna. Aku buru-buru menyerbunya dengan keterkejutan yang aku rasakan.
"Apa? Jadi ayah Aluna meninggal dunia? Lalu dia dimana sekarang?"
"Gio, apa kamu pikir Aluna berasal dari keluarga yang berkecukupan? Tentu saja dia harus keluar dari sekolah ini, bagaimana dia bisa sekolah di sini tanpa biaya?"
Aku memalingkan muka, seraya menggerutu di dalam hati, menyesal sudah terlambat mengetahui semuanya.
"Kenapa kamu tidak bilang padaku?"
"Aku mau bilang, tapi dia yang melarang aku mengatakan semuanya padamu."
"Kau tahu di mana dia tinggal?"
"Tidak!"
"Aku tahu kalau kamu dekat dengan Aluna.."
"Dia baru dua hari masuk ke sekolah kita, mana aku tahu dia tinggal di mana.."
"Lalu nomor ponselnya?"
Caca menatapku dengan tatapan yang sangat aneh. Mungkin dia berpikir untuk apa aku mencari gadis itu, bahkan ingin sekali mengetahui tempat dia tinggal.
"Jangan buat dia berharap Gio.."
"Aku tidak seperti James, atau Harves, atau Julian dan Chris. Aku punya caraku sendiri untuk jalan hidupku."
Dia memberiku sebuah nomor yang sudah jelas itu bukanlah nomor ponsel Aluna. Katanya si, nomor ponsel tetangga dekat Aluna, yang siap memberi kabar atau pun mendapat kabar apapun.
Aku mencoba menghubungi nomor itu berkali-kali.
Dan yang ketiga kalinya, di angkat oleh seorang wanita.
"Hallo."
"Hallo, ini dari siapa?"
"Saya teman kelas Aluna, saya ingin bicara sesuatu pada anda.."
...****************...
Suara deru mesin kereta api mengantarku ke sebuah pedesaan kecil yang letaknya di sisi sungai, tempat Aluna tinggal. Jarak yang di tempuh kalau naik kereta seperti ini, hampir dua jam lamanya. Ternyata Aluna mampu menempuh jarak sedemikian jauhnya hanya untuk pendidikan di sekolah kami. Aku agak sedih..
Aku menggeret kakiku, menyeberangi sungai dengan jembatan yang sangat kecil, untuk sampai di desa yang wanita itu bilang.
Kebetulan hari itu adalah hari natal, dan semua sekolah di liburkan sekitar dua Minggu lamanya. Aku memutuskan untuk mencari keberadaan Aluna sebisaku, berharap bisa membantu kebutuhan gadis itu. Iya, sebagai seorang sahabat.
Aku menapaki jembatan bambu hingga di ujung, akhirnya ada seseorang yang terlihat berdiri di ujung jembatan.
"Mas Gio, ya?" ( tanyanya sambil tersenyum ke arahku ).
"Iya, apa ini kak Wanda?"
"Iya, benar, mas."
Dia mengajak aku berjalan menyusuri jalanan yang tidak bisa di lalui oleh motor mewah seperti punyaku. Huhhh. Aku merasa kalah dengan pemandangan desa ini, yang ternyata masih banyak orang menggunakan motornya di jalan yang.. ampun dah!!
"Apa masih jauh kak?"
"Sedikit lagi sampai.."
Kami terus berjalan, sambil menikmati suasana desa terpencil yang agak mendung. Tahu lah, bagaimana saat hari Natal tiba.
"Saya tidak menyangka kalau Aluna akan punya teman setampan mas di kota, padahal dia baru bersekolah dua hari."
"Tampan? Apa di desa ini tidak ada yang lebih tampan dariku, kak?"
"Tentu saja tidak, mayoritas anak laki-laki di sini, selain mencangkul, sudah tidak ada harapan lagi, kami membanggakan Aluna saat dia bisa masuk ke sekolah elit di kota, karena memang kami semua hidup susah dan baru pertama kali ada anak di desa kami yang berhasil sekolah di kota.."
Jelas wanita itu panjang kali lebar. Aku hanya tersenyum saja saat mendengar penuturan wanita bernama Wanda itu.
"Sebenarnya kami sangat menyayangkan kalau Aluna harus keluar dari sekolah itu, tapi, ya.. mau bagaimana lagi, kita semua juga tidak bisa membantu dia."
Aku mengangguk mendengar bagian ini.
"Sedih sekali saat melihat gadis itu menangis kehilangan ayahnya, dan sekarang, dia juga harus kehilangan pendidikannya, nasib yang sangat malang."
"Sudah sampai.."
Dia mengajak aku untuk berhenti di depan rumah yang sangat menyedihkan. Rumah yang sama sekali tidak layak bagiku. Aku menyadari suatu hal yang sangat membuatku seakan tidak berguna.
Aku menghamburkan uang keluargaku, dan menggunakannya hanya untuk diriku sendiri, sedangkan di sini, di desa ini, rupanya masih banyak orang yang lebih membutuhkan uang.
Sayang sekali uangku yang sudah aku habiskan untuk bersenang-senang itu..
"Ayo masuk!!"
Kak Wanda membuat aku harus berhenti melamun. Aku mengikuti langkah kaki wanita itu dan memasuki sebuah rumah.
"Assalamu'alaikum.."
Ah??
Jadi mereka orang Islam?? Kenapa aku tidak tahu??
"Wa'alaikum salam.."
Gadis itu keluar dengan pakaian kumuhnya, dan berhenti kala melihat wajahku.
"Aluna, ada yang mencarimu.."
Dia menatap mataku dengan sangat nanar, antara bingung, pusing, dan juga marah. Tatapan itu membuat aku berpikir kalau dia seakan ingin membunuhku tanpa ampun.
"Kenapa kakak bawa dia kesini?"
"Maaf, Aluna, aku pikir kamu juga butuh teman curhat, jadi aku izinkan dia untuk datang.."
"Aluna, biarkan aku masuk, dan jelaskan semuanya padaku.."
Aku memohon dengan sangat supaya gadis itu mau mengizinkan aku untuk masuk ke dalam rumahnya.
"Kalau begitu, aku permisi, maaf, ya.."
"Terima kasih kak Wanda, sudah membantu aku sampai kesini.."
"Tidak masalah, hanya pertolongan kecil saja."
Wanita itu kemudian pergi meninggalkan kami di sana.
"Kau tidak mempersilahkan aku untuk masuk, Aluna?"
Gadis itu tidak menjawab pertanyaan dariku, hanya membuka pintu dengan lebar saja untuk memberiku ruang masuk.
"Duduklah, aku ambilkan teh hangat."
"Iya, baik.."
Aku menuruti keinginan Aluna untuk duduk di kursi kayu yang letaknya berada di ruang tamu. Sementara Aluna beranjak ke dalam untuk mengambil teh hangat.
Aku tahu, kan dia sudah bilang tadi di awal.
Aku menatapi kondisi rumah Aluna yang sepertinya, kalau itu rumahku, mungkin sudah aku hancurkan dan aku ratakan dengan tanah. Tapi ternyata, di atas kekayaan yang keluargaku miliki, rupanya masih terdapat rakyat kecil dan miskin seperti Aluna. Aku jadi malu pada diriku sendiri..
Tak!?
"Minumlah.."
"Iya.."
Aku mengambil teh hangat di atas meja, lalu meminumnya, sampai tinggal setengah. Cuaca dingin di sini, membuat aku merasa ingin sesuatu yang hangat.
Eits!!
Jangan salah paham, ya..
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 47 Episodes
Comments