Aku akan tetap bertahan sampai raga ini tak lagi memiliki kekuatan. Aku mencintainya dan bukti nyata yang bisa aku tunjukkan adalah dengan bersikap sewajarnya dan apa-adanya. Tak peduli dia tidak pernah menganggapku istimewa, aku akan terus melaksanakan tugas dan kewajibanku sebagai istri dan makmum dalam rumah tangga kami.
***
“Mas, sarapan dulu, yuk!”
Egidia masuk ke dalam kamar saat suaminya sudah merapikan penampilan usai mandi. Lagi-lagi, dia mengagumi tubuh tegap dengan aroma maskulin yang membuai indra penglihatan dan penciumannya.
“Bukannya tidak ada bahan yang bisa dimasak? Kita baru akan berbelanja hari ini.”
Genio memasukkan dompet ke saku belakang lalu membawa ponselnya dalam genggaman tangan kanan. Kemudian dia keluar dari kamar mengikuti sang istri yang berjalan lebih dulu menuju ruang makan.
“Masih ada beras di tempat penyimpanan, juga telur di dalam kulkas. Aku memasak nasi goreng menggunakan bumbu instan yang aku lihat di rak atas. Apakah Mas Gen kadang-kadang juga suka memasak sendiri?” tanya Egidia, merujuk pada beberapa bumbu olahan instan yang ditemukan.
Mendadak Genio gugup untuk menjawab. Tentu saja dirinya tidak pernah memasak sendiri. Yang dia bisa hanya memasak air, nasi dan mi instan. Akan tetapi, dia tahu siapa yang suka memasak di sana dengan menggunakan bumbu instan. Jika ada sisa stoknya, maka akan disimpan di rak untuk dipakai lagi di hari yang lain.
“Ti-Tidak. Mungkin Mama ... iya, mungkin Mama yang menyimpannya di sana.”
Ada keraguan di dalam jawaban yang diucapkan Genio dengan rasa was-was. Egidia bisa merasakannya, tapi dia memilih diam dan berpura-pura tidak tahu dengan tidak bertanya lebih lanjut. Dia menepis pikiran buruk yang hinggap di pikiran dan mempersilakan sang suami duduk. Wanita itu memintanya untuk menyantap hasil masakan yang sudah dibagi menjadi dua piring.
Genio melupakan kegugupannya begitu merasakan lezatnya nasi goreng buatan Egidia. Rasanya sangat nikmat dan berbeda dari yang lain, padahal hanya dibuat dengan bahan seadanya. Seenak apa lagi jika dimasak dengan bumbu dan rempah alami? Pasti akan membuatnya ketagihan.
“Terima kasih. Ini sangat enak, Egi. Sungguh!”
Dengan lahap lelaki itu menyantap satu piring nasi goreng hasil karya sang istri. Sejenak Egidia melupakan hal yang lain dan merasa tersanjung dengan pujian tulus dari suaminya. Dari sikap yang ditunjukkan, wanita itu bisa membedakan pernyataan Genio yang jujur atau berpura-pura.
“Alhamdulillah! Jika Mas Gen senang, aku akan sering-sering membuatkan sarapan seperti ini. Tentu saja dengan banyak variasi yang lain, supaya tidak membosankan.”
Genio tersenyum dan mengangguk. Setidaknya, dia masih bisa membuat wanita itu bahagia meski tidak bisa memberikan cinta yang seharusnya menjadi milik sang istri.
Egidia mulai ikut menikmati sarapannya dengan hati yang gembira. Dia berjanji dalam hati, akan selalu menjadi pasangan yang bisa melayani segala yang dibutuhkan dan diinginkan oleh suaminya. Semua dilakukan demi cinta yang telah sepenuhnya berlabuh pada dermaga hati Genio, yang sayangnya tidak bisa membalas perasaannya.
Dua puluh menit kemudian, meja makan sudah kembali bersih dan semua peralatan makan pun sudah kembali tersimpan di rak. Waktu baru menunjukkan pukul delapan pagi, tapi Genio sudah meminta Egidia bersiap-siap untuk pergi. Dia ingin mengajak istrinya berkeliling kota, setelah mereka berbelanja kebutuhan rumah tangga terlebih dahulu.
Tidak butuh waktu lama, sang istri sudah keluar kamar dengan penampilan yang berbeda. Mengenakan gamis dengan warna dan model yang manis, berikut penutup kepala yang menjadi paduan sempurnanya. Pakaian itu merupakan salah satu seserahan pernikahan yang dia berikan untuk Egidia.
Riasan yang disapukan tipis di wajah menawan itu, sempat membuat Genio merasa takjub dan terkesima karenanya. Harus diakui, wanita pilihan orang tuanya adalah paket komplit yang sangat istimewa. Cantik luar dalam dan berlatar belakang pendidikan seperti dirinya.
Tutur kata dan tingkah lakunya sangat santun dan salihah, membuat semua orang yang pernah bertemu dengannya menyimpan kesan istimewa tentang dirinya. Namun, entah mengapa semua kebaikan dan nilai lebih yang dimiliki Egidia tidak berhasil membuka hati lelaki itu dan membuatnya berpaling dari wanita yang telah lebih dulu memikatnya.
Dia begitu anggun!
“Aku sudah siap, Mas!” Suara lembut sang istri membuyarkan lamunan Genio.
Untuk menutupi kegugupannya, dia segera melangkah ke arah luar diikuti Egidia yang mengunci pintu. Mobil sudah siap di luar garasi yang telah ditutup kembali. Mereka masuk dan duduk bersebelahan di bagian depan untuk pertama kalinya.
Sejenak kendaraan tersebut berhenti bahu jalan dan lelaki itu keluar untuk merapatkan pagar dan menggemboknya. Kemudian dia masuk lagi dan melajukan mobil dengan hati-hati. Pandangannya mulai fokus pada jalanan yang dilewati tanpa menoleh atau memperhatikan wanita yang duduk dengan hati berdebar di sampingnya.
Tujuan pertama Genio adalah kantor tempatnya bekerja selama ini, karena jalurnya yang searah menuju pusat kota. Dia merasa perlu memberi tahu sang istri supaya Egidia mengerti tentang kesibukan dan tanggung jawab yang diembannya di sana.
Tiga puluh menit kemudian, mobil berhenti tepat di luar pagar yang mengelilingi sebuah bangunan tinggi berlantai empat. Egidia membaca deretan balok huruf berukuran besar yang menempel di bagian teratas gedung. Dia pun paham jika di sanalah tempat sang suami mencari nafkah selama ini.
“Ini adalah kantorku. Seperti yang sudah aku ceritakan padamu, aku bekerja lima hari dalam seminggu dan satu bulan sekali akan ada jadwal piket di akhir pekan.”
Sambil terus memperhatikan suasana di dalam halaman gedung yang sudah tampak kesibukannya tersebut, Egidia mengangguk dan menatap suaminya sekilas. Dia melemparkan senyuman yang membuat Genio segera mengalihkan pandangannya ke arah luar.
Wanita itu merasa senang karena sang suami menunjukkan keterbukaan dan memberi tahu apa-apa yang perlu diketahui olehnya. Dia merasa dihargai walau pada kenyataan tetap tidak dicintai.
Saat Genio sedang menjelaskan beberapa hal terkait kebiasaannya selama berada di kantor, sebuah mobil berhenti tepat di depan mereka. Seorang lelaki sebaya mereka keluar dari pintu kemudi lalu berjalan ke belakang dan mengetuk pelan kaca mobil di sampingnya.
Genio menurunkan kaca dan tersenyum sembari menyapa lelaki yang sudah menundukkan badan supaya posisi kepala mereka sejajar. Keduanya saling menanyakan kabar karena dia memang mengajukan cuti panjang selama sepuluh hari.
Tatapan sang teman mulai beralih ke dalam mobil, tepatnya ke arah Egidia yang masih memperhatikan suasana sekitar. Sebelum pertanyaan terucap, Genio sudah mendahului berbicara.
“Med, perkenalkan ini istriku. Namanya Egi, Egidia.”
Usai mengucapkannya, lelaki itu menoleh ke kiri dan mengulangi kalimatnya dengan maksud yang sama.
“Egi, dia adalah Andromeda, teman kantorku dan kebetulan kami satu ruangan. Panggilannya Meda.”
Segera Egidia mengatupkan kedua tangan di depan dada disertai anggukan kepala sebagai isyarat perkenalan dan tanda hormat. Lelaki bernama Meda tersebut membalas dengan hal yang sama, tapi wajahnya masih menampakkan keterkejutan.
“Gen, serius dia adalah istrimu?”
Anggukan kepala diberikan Genio untuk membenarkan pertanyaan temannya. Sikapnya terlihat sangat wajar di mata Egidia, seolah mereka adalah pasangan pengantin baru yang menikah dengan sukarela dan bahagia.
“Jadi alasan kamu cuti lama adalah karena ini?”
Raut tak percaya masih ditunjukkan oleh Meda. Selain itu, lelaki tersebut juga tampak sedang memikirkan sesuatu dan akhirnya dilontarkan kepada teman kerjanya tersebut.
“Aku benar-benar tidak menyangkanya! Aku pikir selama ini kamu dan Monita ....”
Ucapan Meda terhenti sendiri oleh kesadarannya. Dia menutup mulut dengan tangan kanan seolah mencegah supaya tidak lagi kelepasan bicara. Namun, Egidia yang masih menoleh ke arah kanan bisa melihat perubahan mimik muka Meda yang sangat kentara di matanya. Pun dengan wajah Genio yang seketika terlihat tegang meski masih menampakkan senyuman.
“Maaf, aku tidak bermaksud apa-apa!”
Meda memberikan isyarat dengan jari telunjuk dan jari tengah yang melambangkan perdamaian atau permohonan maaf di samping wajah. Setelah itu, lelaki tersebut memilih untuk segera berpamitan dan kembali ke mobil yang membawanya masuk ke halaman gedung.
Sekali lagi, sebelum ada pertanyaan yang ditujukan kepadanya, Genio sudah mendahului bicara dengan memaku tatapannya ke arah sang istri yang masih tetap tersenyum dan berpura-pura tenang.
“Maafkan aku, Egi. Sebenarnya, Monita adalah ....”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Nara
Lagi" Monita😌😌😌
Berdoa aja lah Egi,,waktu akhirnya berpihak padamu, meski gx di cintai
layani sebaik mungkin suamimu Genio, semoga aja cinta itu hadir sebelum terlambat
2022-12-19
1
YuLie YoeLieta
Egi begitu tegar di hadapan orang lain padahal hati nya begitu rapuh mengetahui sang suami masih berhubungan dengan kekasih nya
2022-12-14
1
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
Semangat up lagi ka Aisha❤❤
2022-12-04
1