2. RUMAH KITA

Di sinilah kini aku berada. Di rumah yang disebutnya sebagai rumah kita, aku dan dia. Sayang, rumah ini hanya indah bentuknya saja, tapi tidak dengan isinya. Isi yang seharusnya membuat hatiku tenang dan merasa nyaman, karena ada cinta dan kasih sayang di dalamnya. Nyatanya, indah yang kuharapkan, tak pernah bisa kurasakan di sini.

***

Hari ketiga pernikahan, Egidia mengikuti Genio untuk kembali ke tempat tinggalnya selama ini. Setelah melalui perjalanan udara selama kurang lebih dua jam dengan satu kali transit, sampailah mereka di bandara kota tujuan. Sebuah taksi daring sudah dipesan sang suami untuk mengantarkan mereka ke rumahnya.

Bukan rumah yang selama ini ditinggali bersama kedua orang tua, melainkan rumah pribadi Genio yang dibeli dari hasil kerja sendiri. Letaknya masih satu kompleks dengan rumah mertua Egidia, karena meskipun sudah tinggal terpisah, setiap hari lelaki itu selalu diminta datang untuk sekadar sarapan bersama.

“Selamat datang di rumah kita. Maaf, jika rumah ini tidak terlalu luas dan kurang membuatmu puas.”

Entah apa maksud dari ucapan Genio, tapi Egidia merasa sang suami sedang menyindirnya. Mungkin dia menganggap istrinya menginginkan rumah yang lebih mewah dari miliknya. Padahal, Egidia sama sekali tidak mempermasalahkan di mana dirinya akan tinggal. Asalkan tetap bersama sang imam, itu sudah cukup baginya.

“Rumah ini indah, Mas. Terima kasih karena Mas Gen sudah berkenan untuk mengajakku tinggal di sini.”

Sambil memandu langkah Egidia menuju kamar, Genio menanggapi jawaban sang istri yang terkesan seolah dia belum menerima pernikahan mereka.

“Kamu adalah istriku. Sudah seharusnya kita tinggal bersama dan berbagi layaknya pasangan yang lain.”

Wanita itu mengangguk dan mengiyakan saja. Tidak ingin memperpanjang pembahasan tentang rumah tersebut. Dia memperhatikan lelaki bertubuh atletis yang sedang membuka pintu kamar yang terkunci, kemudian membuka lebar dan memintanya lebih dulu masuk.

“Ini kamarku dan sekarang menjadi kamar kita. Kamu bebas melakukan apa saja di sini sama halnya diriku. Jadi, nyamankan dirimu. Jika ada yang membuatmu tidak suka, kamu bisa mengatakannya dan kita akan mengubahnya dengan kesepakatan.”

Lagi-lagi, kata sepakat menjadi senjata andalan Genio untuk mencari jalan tengah dengan sang istri. Bukan benar-benar jalan tengah, sebab bagi Egidia semua kesepakatan mereka selalu berat sebelah.

Memang salah dia juga yang selalu menerima dan tidak pernah sekali pun membantah dan berdebat, bila ada hal yang membuatnya merasa diabaikan haknya. Namun, wanita itu tidak ingin mempermasalahkannya karena dirinya sendiri yang memilih untuk patuh dan mengalah.

Baginya, semua itu adalah bagian dari pengabdian seorang istri kepada suaminya, sekaligus pengorbanan dalam mendampingi sang imam untuk selalu mendapatkan rida dari Yang Maha Kuasa. Dia selalu percaya, tidak ada pengabdian dan pengorbanan yang sia-sia. Kelak, dia pasti akan menuai buah manis dari kesabaran dan kesetiaannya saat ini dan seterusnya nanti.

Usai mengedarkan pandangan ke seluruh penjuru kamar, tatapan Egidia tertuju pada sebuah tempat tidur yang posisinya berada di sudut dalam sebelah kiri, dengan salah satu sisi merapat pada dinding. Sementara di sudut yang berlawanan terdapat satu set meja dan kursi kerja berikut rak sederhana yang berisi buku-buku bisnis dan beberapa buku bacaan ringan.

“Mulai malam ini kita akan berbagi tempat tidur. Aku ingin kita menyamankan diri satu sama lain dan tidak lagi merasa canggung dan gugup bila sedang berduaan seperti ini. Lagi pula, kita memang akan tinggal berdua di sini. Jadi sudah sewajarnya kita harus sama-sama terbiasa dengan keadaan ini.”

Ada setitik harapan terbit di hati Egidia, saat mengetahui bahwa mereka tidak akan tidur terpisah lagi seperti sebelumnya. Dia lantas memanjatkan doa dalam hati, semoga hubungan mereka akan semakin dekat dan tanpa sekat lagi. Dekat yang sesungguhnya, sebagai suami-istri yang tidak hanya saling menyayangi, tapi juga saling mencintai.

Apakah harapanku terlalu tinggi? Atau justru berlebihan, mengingat awal pernikahan kami tanpa didasari rasa yang sama? Melihat sikap dia yang sedikit lebih baik saja, sudah membuat hatiku bungah berbunga-bunga.

Hari sudah menjelang malam, hingga Genio meminta Egidia untuk membongkar koper dan barang bawaan mereka esok hari saja. Lebih baik segera membersihkan diri dan beristirahat setelah makan malam nanti. Demikian ucapan lelaki itu kepada sang istri.

Egidia patuh dan membantu suaminya menyimpan koper mereka berjejer di samping lemari. Dia hanya mengeluarkan perlengkapan mandi dan pakaian ganti untuk malam ini. Sementara Genio mengambil keperluannya dari dalam lemari pakaian, sembari menunjukkan di mana pakaian sang istri bisa ditata nantinya.

Untuk menyingkat waktu, lelaki itu pamit untuk membersihkan diri di kamar mandi luar dan meminta Egidia segera melakukan hal yang sama. Tanpa membuang waktu, wanita itu pun bergerak menuju ruangan yang ditunjuk oleh Genio, setelah melepas lilitan pasmina dan meletakkan di meja rias yang sepertinya masih sangat baru dan belum dipakai sama sekali.

Sengaja mempercepat mandinya, lima menit kemudian Egidia sudah keluar dengan rambut yang masih diikat ke atas. Dia bermaksud untuk membuat minuman di dapur dan membuat makanan jika masih ada bahan-bahan di kulkas.

Namun, saat melanjutkan langkah ke arah meja rias untuk merapikan rambut, pandangannya beralih ke meja kerja Genio yang dilewati. Ponsel lelaki itu menyala terang dan bergetar tanpa nada dering. Sepertinya memang sengaja dimatikan karena sejak mereka menikah, Egidia belum pernah mendengar ponsel itu berbunyi nyaring meskipun pemiliknya terlihat sibuk berbalas pesan atau sesekali menerima panggilan telepon.

Tanpa bermaksud penasaran atau sengaja mengintip, terlihat olehnya pesan beruntun yang masuk dan terbaca dari pemberitahuan di bagian atas layar. Jantungnya berdegup kencang hingga napasnya tertahan seketika, tatkala membaca awal kalimat yang masih tampak jelas di sana, dengan nama pengirim seorang wanita. Monita.

“Hai, Gen! Kamu sudah pulang? "

"Apakah aku boleh datang ke ...."

"Ada hal penting yang harus kita ...."

Bunga-bunga yang sebelumnya sempat bermekaran di dalam hatinya mendadak layu dan berguguran begitu saja. Tubuhnya bahkan turut melemas dan tiada daya lagi. Padahal, hanya penggalan pesan yang belum pasti maksud dari keseluruhan isinya. Namun, sudah sukses membuatnya patah hati saat melihat emoji wajah dengan bibir mengerucut ke depan yang biasa diartikan sebagai simbol ciuman jarak jauh.

Siapa dia? Apakah dia adalah wanita yang dicintai selama ini? Jika benar demikian, mengapa dia tidak berjuang untuk memilikinya dan memilih untuk tetap mengikuti perjodohan kami?

Saat hatinya masih terasa tak karuan, tiba-tiba pintu terbuka bersamaan dengan masuknya sang suami yang sudah selesai mandi dengan penampilan paling disukai oleh Egidia. Segar dan beraroma wangi maskulin.

Wanita itu berusaha tetap tenang dan kembali melangkah. Genio memperhatikan dengan tatapan yang tertuju pada bagian leher, yang baru kali ini terlihat jelas dan menggoda hasratnya. Sayang, beberapa detik kemudian Egidia sudah melepaskan ikatan rambutnya sehingga mahkota hitam sepanjang bahu itu langsung menutupi bagian jenjang nan indah yang membuat suaminya sempat kesusahan untuk menelan ludah.

Mengapa aku berhasrat hanya dengan melihatnya seperti itu? Apakah aku ...? Ah, tidak! Ini hanya reaksi normal seorang pria jika menemukan pemandangan yang memancing gairah hingga tiba-tiba bergejolak.

Lelaki itu menunduk lalu memejamkan mata untuk mengendalikan perasaan dan menenangkan diri, sebelum menggerakkan kaki menuju meja kerja. Tujuannya tentu saja untuk memeriksa gawai yang layarnya sudah kembali berwarna gelap.

Diam-diam, Egidia memperhatikan pergerakan Genio dari cermin riasnya. Termasuk raut wajah yang berubah penuh senyuman setelah mengutak-atik ponsel di tangannya. Sudah pasti dia sedang membuka pesan yang baru saja masuk, dari wanita yang selama ini dicintai dengan teramat sangat.

Karena hatinya terasa semakin sakit hingga matanya mulai berkaca-kaca, wanita itu segera merapikan rambut lalu berdiri dan berpamitan tanpa melihat ke arah suaminya.

“Aku ke dapur dulu, Mas.”

Tanpa menunggu balasan dari Genio, Egidia melangkah cepat dan berhenti di balik pintu yang ditutup tapi tak rapat. Ternyata, lelaki itu memang hanya mengangguk karena perhatiannya lebih tertuju pada nama sang pengirim pesan.

Sempat menoleh ke arah pintu untuk memastikan istrinya sudah tidak ada di sekitar sana, Genio langsung melakukan panggilan ke nomor istimewa tersebut. Tanpa diketahui olehnya, ternyata Egidia masih berdiri tegang di balik pintu dengan mata yang memerah dan terasa pedih.

“Halo, Nit! Di mana kamu?”

“....”

“Mulai sekarang jangan datang ke rumahku lagi! Aku akan menemuimu di tempat lain.”

“....”

“Aku akan menjelaskan semuanya nanti. Tunggu dulu di sana, aku akan datang secepatnya.”

Terpopuler

Comments

tya_khan21

tya_khan21

kasian egi 🤧🤧
kenapa sih genio nerima perjodohan ini klo emang udah punya orang yg dicintai? dasar gak punya hati tuh suami..gak bisa apa y jaga perasaan istrinya sedikit aja 🙄🙄🙄

2022-12-15

1

🄷🄴🅂🅃🅈 ❤️

🄷🄴🅂🅃🅈 ❤️

sedikit nyesek nih cerita

2022-12-04

1

YuLie YoeLieta

YuLie YoeLieta

hati istri mana yang takkan terluka jika mengetahui sang suami masih menyimpan rasa pada perempuan lain,meski pernikahan itu terjadi karena sebuah perjodohan🥺🥺

2022-12-04

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!