Pengakuannya membuatku tak ingin lagi berharap akan cintanya. Dia sudah mengakui bahwa hatinya telah tertambat pada wanita lain yang selama ini selalu bersamanya. Lalu, aku bisa apa? Melarangnya pun bukan hakku, karena kami sudah bersepakat jika setelah kejujurannya itu, aku dan dia tidak akan membicarakan tentang wanita atau lelaki lain di dalam rumah tangga kami.
***
Menjelang tengah malam, Genio baru pulang. Suara pagar yang digeser dan pintu garasi yang dibuka, membangunkan Egidia yang tertidur di kursi ruang tamu. Dia menunggu sang suami, yang katanya pergi satu jam tapi ternyata lebih dari tiga jam.
Dengan segera dia membuka pintu depan dan menyusul Genio yang baru saja kembali dari menutup dan mengunci pagar. Wajah lelaki itu masih tampak segar, tidak seperti dirinya yang sudah mengenakan baju tidur meski masih memakai kerudung rumahan.
Tanpa mengatakan apa-apa, wanita itu tersenyum lalu mengambil tangan kanan suaminya untuk dicium. Lagi-lagi, Genio tertegun dan merasa bersalah dalam hati. Ada sesuatu yang masih mengganjal di dalam sana dan ingin secepatnya disampaikan kepada wanita yang sudah menjadi miliknya dan tanggung jawabnya tersebut.
“Ayo, masuk, Mas! Udaranya sangat dingin di sini.”
Egidia sengaja tidak ingin membahas kepulangan suaminya yang terlambat. Dia tidak mau merusak suasana dengan menanyakan sesuatu yang akan membuat dirinya kecewa sendiri pada akhirnya. Lebih baik seperti ini, bersikap sewajarnya seolah tidak terjadi apa-apa.
Genio mengunci pintu setelah keduanya masuk. Dia berjalan ke arah kamar, sementara sang istri menuju ke dapur.
“Aku akan membuatkan minuman untukmu, Mas. Tunggulah di kamar, aku sudah menyiapkan baju tidurmu di atas kasur.”
Egidia langsung meninggalkan suaminya yang masih terdiam di tempat. Sebenarnya, lelaki itu ingin mencegah apa yang akan dilakukan istrinya, tapi tidak sampai hati mengecewakan. Bagaimanapun juga, dia harus menghargai pelayanan yang diberikan walau hatinya mengelak dan tidak nyaman karenanya.
Akhirnya, dia kembali melanjutkan langkah menuju kamar untuk membersihkan diri dan berganti pakaian. Sepuluh menit di kamar mandi, dia keluar dan sudah disambut dengan aroma kopi yang dibawa Egidia ke dalam kamar.
“Ini, Mas. Diminum dulu supaya tubuhmu terasa hangat, baru setelahnya silakan beristirahat.”
Tutur kata sang istri yang selalu santun dan penuh senyuman, membuat Genio kian memendam rasa bersalah yang tak bisa lagi ditahan. Dia harus mengatakan semuanya sekarang, sebelum semuanya berlarut-larut dan nantinya akan lebih menyakiti hati Egidia.
Diterima minuman panas itu lalu duduk untuk menyesapnya pelan-pelan. Dia memperhatikan sang istri yang sudah melepas kerudungnya lalu bersiap untuk melanjutkan tidurnya.
“Egi, apakah kita bisa bicara sebentar?” Lelaki itu tidak bisa menunda lagi.
Egidia yang sebenarnya sudah menunggu momen itu, menghentikan gerakannya yang sudah naik ke tempat tidur dan bergeser ke sisi dalam, karena Genio pasti akan memilih tidur di bagian tepi. Dia menoleh sembari memegang selimut yang masih terlipat di pangkuan.
“Mas Gen tidak capek? Bukannya baru menyelesaikan pekerjaan yang mendesak?”
Pertanyaan itu membuat jantung Genio berdegup sangat kencang hingga dirinya menahan napas untuk sesaat. Rasa bersalah lagi-lagi membuatnya gugup dan bertingkah serba salah.
“Oh, eh ... itu sudah selesai. Jangan dibahas lagi!”
“Aku ingin mengatakan sesuatu tentang ... tentang hubungan kita.”
Kali ini, jantung Egidia yang berdetak lebih cepat. Dia takut sekaligus penasaran, apa yang akan disampaikan oleh suaminya. Apakah tentang perasaan di antara mereka? Atau tentang wanita bernama Monita yang baru saja bertemu dengan Genio?
Wanita itu hanya mengangguk dan menyiapkan diri untuk mendengarkan saja. Terlihat Genio juga gugup, lalu mengubah posisi kursinya menghadap ke arah Egidia.
“Kita sudah pernah membicarakan ini sebelumnya, tapi mungkin belum sampai kepada hal yang paling penting, yaitu perasaan masing-masing.”
Egidia terus menyimak dengan hati yang kian gelisah. Perasaan tidak enak dan biasanya tidak pernah salah. Ada sesuatu yang tidak baik akan terjadi, setidaknya untuk dirinya dan mungkin tidak untuk suaminya.
“Pernikahan ini kita jalani karena permintaan orang tua. Aku dan kamu sama-sama ingin berbakti dengan patuh pada keputusan mereka. Bukan begitu?”
Wanita yang sudah menunduk itu mengangguk. Hanya bermaksud untuk mengiyakan saja, bukan membenarkan. Karena yang sebenarnya, selain alasan yang dikemukakan Genio, dia pun menghendaki pernikahan tersebut karena memang mencintai lelaki itu.
“Sebelum aku jujur kepadamu, aku ingin bertanya tentang perasaanmu.”
“Apakah sebelum kita bertemu dan menyepakati pernikahan ini, kamu pernah menjalin hubungan dengan lelaki lain?”
Egidia menggeleng sebagai jawabannya dan itu adalah kejujurannya. Sekali pun hatinya belum pernah terikat dengan seorang lelaki.
“Apakah sebelumnya kamu pernah menyukai atau mencintai lelaki lain?”
Kembali dia menggeleng, kali ini lebih tegas. Genio bertanya tentang perasaannya sebelum mereka bertemu. Tentu saja dia bisa menjawab dengan cepat dan jujur. Akan lain ceritanya jika yang ditanyakan adalah perasaannya saat ini atau setelah mereka dipertemukan.
Sejenak suasana kembali hening. Genio menjeda pembicaraan dan menenangkan diri dengan meminum kopi yang mulai terasa hangat. Sejujurnya dia tidak sampai hati untuk mengakuinya di hadapan wanita yang sudah berhak menyandang status sebagai nyonya rumah.
Akan tetapi, jika membiarkan dirinya terus berpura-pura juga akan lebih berdosa. Selain itu, dia juga takut jika semakin lama ditahan keberaniannya justru akan semakin hilang, sehingga yang tersisa hanya sandiwara.
Meletakkan kembali cangkir yang sudah hampir habis isinya, lelaki itu mengatur napas sebaik mungkin sebelum akhirnya meyakinkan diri untuk mengatakan sebuah kejujuran.
“Sebenarnya ... aku ....”
“Sebenarnya selama ini aku menyimpan perasaan pada seorang wanita.”
“Maafkan aku, Egi. Aku mencintainya dan masih berharap bila suatu saat nanti dia bersedia untuk menerima cintaku ini.”
Egidia semakin menunduk demi menyembunyikan wajahnya yang sudah pasti sarat kekecewaan. Bukan hanya kecewa, melainkan juga sedih, marah, lemah dan pasrah tak berdaya. Dia tidak kuasa membendung tangisannya lagi.
“Aku minta maaf jika kejujuranku ini membuatmu merasa tidak dihargai dan diabaikan oleh suamimu sendiri.”
“Aku tidak mau terus-menerus berbohong, baik itu kepadamu maupun kepada hati kecilku sendiri. Aku memilih untuk berkata jujur karena aku merasa yakin dan percaya bila kamu bisa mengerti dan memahami keadaan ini.”
Jika aku tidak mencintaimu, mungkin akan mudah bagiku untuk mengerti dan memahamimu, Mas. Sayang, aku telanjur memiliki rasa indah nan suci ini terhadap dirimu. Sama sepertimu, aku juga tidak bisa mengingkari nuraniku meskipun aku memilih untuk diam dan tidak menyatakannya kepadamu.
Egidia berusaha untuk menenangkan diri dan meredakan tangisannya. Inginnya tetap terlihat kuat dan menerima dengan lapang dada, tapi nyatanya tak semudah dalam bayangan. Hatinya rapuh dan harapannya runtuh seketika.
Tak lama kemudian, setelah tangisannya hanya tersisa isak lirih, wanita itu memberanikan diri mengangkat wajah dan mengalihkan pandangan ke arah suaminya. Genio semakin merasa bersalah begitu melihat wajah Egidia yang masih basah meski tak lagi dialiri air mata.
“Apakah kamu tidak berniat untuk mencobanya, Mas? Maksudku, kita berdua sama-sama mencoba untuk saling membuka hati? Setidaknya, demi orang tua kita dan demi janji suci kita di hadapan Tuhan?”
Egidia bukan ingin mengiba atau meminta belas kasihan. Dia hanya berusaha untuk memberikan penawaran yang sekiranya masih bisa menjadi harapan untuk keduanya, terlebih untuk keluarga mereka.
Namun, dia harus menelan kecewa untuk kedua kalinya karena Genio seolah menolak dan kembali menegaskan keputusannya melalui gelengan kepala.
“Aku tidak tahu, tapi aku tidak bisa berhenti mencintainya. Hatiku telanjur dipenuhi oleh dirinya yang mungkin akan sulit untuk kugantikan dengan sosok lain, sekalipun itu adalah istriku sendiri.”
Egidia pasrah dan tidak lagi mengeluarkan sepatah kata. Cukup tahu dan mengerti jika dirinya tidak pernah diinginkan oleh suaminya. Dia semakin pasrah dan menyerah saat mendengar kalimat penutup dari Genio.
"Setelah ini, sebaiknya kita tidak lagi membicarakan tentang wanita dan lelaki lain dalam hubungan ini. Kita jalani saja pernikahan ini apa-adanya, meskipun hati kita tidak akan pernah menyatu dan mempunyai rasa yang sama.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Nara
Astaga Genio,,,meskipun itu kejujuran dari hatimu,,apa gx bisa tu sedikit aja menjaga perasaan istrinya????
meskipun kau menduga kalau Egidia belum memiliki perasaan terhadapmu,,seenggaknya sedikit aja hormati posisinya sebagai istrimu
2022-12-19
1
YuLie YoeLieta
hancur sudah hati Egi mendengar sang suami ternyata masih mengharapkan wanita lain
seandai nya saja Egi juga tidak mencintai Genio pasti takkan sesakit itu😢😢
2022-12-14
1
🍭ͪ ͩIr⍺ Mυɳҽҽყ☪️ՇɧeeՐՏ🍻𝐙⃝🦜
yaaa kejujuran yang menyesakkan...
2022-12-03
1