Devan melihat kepergian Rachel dengan perasaan campur aduk. Setelah cukup lama memandang Rachel yang mungkin sepanjang jalan menuju rumah terus mengomel, Devan akhirnya pergi dari sana.
Selama perjalanan, pikiran Devan terus di penuhi oleh Rachel. Mantan kekasihnya itu sudah banyak berubah ternyata. Sudah lima tahun ia tak melihat wajah cantik nan manis itu dan sekarang bertambah cantik sekaligus ... dewasa?
Iya, dewasa. Bahkan Devan tak menyangka kalau Rachel akan bekerja sebagai seorang detektif (?). Pekerjaan yang menurutnya sedikit berbahaya dan jarang pekerjaan itu dilakukan oleh seorang wanita.
Devan akhirnya sampai di apartemen. Bukan apartemen tempat Cleona tewas. Melainkan apartemen milik Devan yang berada tak jauh dari supermarket tadi saat Rachel belanja.
Devan tak bohong saat mengatakan apartemennya ada di sekitar sana. Karena ia memang tinggal di sana sejak lama. Dan apartemen di TKP itu hanya ia sewa selama beberapa hari.
Begitu masuk ke dalam, Devan langsung menuju dapur dan meminum air mineral yang ia ambil dari dalam kulkas. Baru beberapa kali tegukan, ponsel di saku jaketnya berdering dan membuatnya menghela napas kasar.
Apalagi ketika melihat siapa yang menelepon. “Kerjaan apa lagi yang bakal aku lakuin?” gumamnya dengan nada sinis.
Devan menekan tombol hijau. “Halo?”
[Bisa ketemu malam ini?]
Devan menarik satu sudut bibirnya, lalu “Itu bukan pertanyaan, tapi perintah kan?”
Terdengar gelak tawa dari si penelepon. Seolah perkataan Devan tadi itu lucu. Padahal tidak sama sekali. Devan sedikit kesal mendengarnya.
[Club XX, gue tunggu di sana sekarang.]
Tak memberikan Devan kesempatan untuk merespon, sambungan telepon di matikan. Devan mengembuskan napasnya kasar. Kali ini, pekerjaan kotor apa lagi yang akan ia lakukan?
***
Suara bising khas club malam menyambut Devan yang melangkah dengan sangat malas. Bau alkohol terasa menusuk hidungnya, membuat Devan mengibaskan tangannya di udara. Devan benci tempat ini, tapi hampir setiap hari ia kunjungi.
Setelah berkeliling, Devan akhirnya menemukan seseorang yang ingin menemuinya. Sedang duduk sendirian dengan ditemani sebotol wine.
“Carel,” panggil Devan.
Carel, yang merasa namanya dipanggil itu menoleh kemudian tersenyum miring. Setelahnya, ia mempersilakan Devan untuk duduk di kursi yang bersebrangan dengannya.
“Minum dulu.” Carel menyodorkan satu gelas kosong lalu ia isi dengan wine dari botol yang isinya tinggal setengah.
“Nggak! Terima kasih. Lo bilang aja apa yang harus gue lakuin,” tolak Devan.
Carel tersenyum miring lagi. Tak jadi memberi Devan alkohol karena selama ini Devan memang tak pernah menyentuh minuman itu. Tadi itu, ia hanya menggodanya. Siapa tahu Devan akan sedikit tergoda.
“Lo tahu pekerjaan lo selama ini ngapain aja,” ujar Carel lalu ia meminum wine yang tadi akan ia berikan pada Devan.
“Ngalihin perhatian polisi lagi?” tebak Devan.
Carel menjentikkan jarinya di depan wajah Devan. “Pinter.”
“Kenapa gue nggak ikut ngeliat prosesnya aja?” kali ini Devan mencoba menawar. Namun, Carel malah menggeleng.
“Lo juga tau, walaupun lo udah lama kerja sama kita, tapi Reizo belum bisa percaya sama lo sepenuhnya. Mengingat lo dulu ada hubungan sama pihak kepolisian? Gue pikir, lo cukup ngerti maksud dari kata-kata gue.”
Devan terdiam. Iya, Devan paham, bahkan sangat paham maksud dari perkataan Carel. Tapi, sampai kapan Devan membantu mereka mengalihkan perhatian polisi? Yang Devan inginkan adalah melihat langsung proses pengiriman barang itu lalu bertemu dengan bos besar mereka.
Sesulit itu membuat mereka percaya, sebab, yang Carel ketahui dulu Devan adalah salah satu anggota kepolisian yang sudah mengundurkan diri. Dan ingin bergabung dengan mereka dalam dunia hitam.
Devan juga paham akan kekhawatiran Carel karena bisa saja Devan berkhianat, melaporkan tindakan mereka ke polisi. Tapi, nyatanya selama satu tahun lebih menjadi anggota di dunia hitam ini, Devan tak melakukan apapun yang berbau penghianatan.
“Ada saatnya lo bisa ikut liat proses langsung pengirimannya, bahkan langsung ketemu sama bos besar. Dan, gue ingetin lagi, kalau sewaktu-waktu lo ada niatan berkhianat, lo tau konsekuensinya.”
Carel tersenyum smirk, senyum paling menyebalkan di mata Devan. Namun, apa yang Devan lakukan? Ia hanya mengangguk sebagai balasan senyuman itu.
“Gue cuma mau ngomongin ini. Untuk tanggalnya belum di tentuin kapan, tapi gue mau lo siap-siap karena gue bisa aja kabarin lo tiba-tiba, tanpa lo duga.”
“Udah, lo bisa seneng-seneng sekarang. Banyak tuh cewek-cewek yang ngeliatin lo dari tadi. Nungguin lo buat habisin malam panas bareng hahaha ... ” Carel tertawa dan Devan mengumpat dalam hatinya.
Carel bangsa*.
Devan merasa jijik dengan kalimat terakhir yang keluar dari mulut Carel. Apalagi ketika Carel beranjak pergi dengan merangkul pinggang seorang wanita yang pakaiannya sangat minim. Bahkan, tanpa tahu malu mereka berciuman dengan sangat menjijikkan di mata Devan.
Tak ingin berlama-lama di tempat terkutuk itu, Devan segera pergi keluar. Bahkan ketika ada seorang wanita yang mengajaknya minum, Devan membentak wanita itu hingga hampir menjadi pusat perhatian.
Devan melajukan mobilnya bukan ke arah apartemen, melainkan ke rumah sang sahabat yang letaknya tak begitu jauh dari club itu. Sekarang rumah itu cukup ramai, Devan dengar, besok malam sahabatnya akan bertunangan dengan Mona, sahabat Rachel.
Setelah mendapatkan izin masuk ke dalam rumah, tanpa babibu lagi Devan menaiki tangga menuju kamar Daffa yang ada di lantai dua.
“Daffa!” panggil Devan sambil mengetuk pintu kamar.
Tak lama dari itu, pintu terbuka. Daffa nampak terkejut dengan kehadirannya yang tiba-tiba kemudian mempersilakan Devan masuk ke dalam kamarnya.
“Kok tumben?” tanya Daffa.
“Gue lagi pengen ngobrol,” jawab Devan.
“Oh ... ngobrolin apa? Mantan ya?” Daffa menebak sambil tersenyum meledek.
Devan melotot, “Kok lo tau?”
Daffa tergelak melihat reaksi Devan. Ia pun mengajak Devan duduk di atas kasur. Penampilan mereka sangat jauh berbeda. Devan dengan jaket dan celana jeans-nya dan Daffa dengan kaos oblong serta celana pendeknya.
Bukannya menjawab pertanyaan Devan, Daffa malah balik bertanya, “Dari mana lo?”
“Jawab dulu pertanyaan gue!”
“Lo dulu lah.” Daffa menahan senyumnya ketika mendapati Devan dengan raut masamnya yang terlihat sangat jelas.
“Lo—”
“Iya iya, gue jawab. Gitu aja udah sewot.”
“Ck—”
“Gue tau dari Mona. Mona cerita, katanya Rachel dari curhat sama dia soal lo yang tiba-tiba muncul di depan Rachel kaya hantu.”
Devan mengernyit, “Rachel bilang gue muncul kaya hantu?”
Daffa tergelak lagi. “Ya nggak lah Goblok! Gue yang bilang lo kaya hantu.”
Devan mendengus.
“Sekarang lo yang harus jawab pertanyaan gue. Dari mana lo? Kok penampilan lo serem banget.”
“Ck. Masa gue di suruh ngalihin perhatian polisi lagi?”
“Oh, dapet misi lagi?” Daffa mengangguk paham.
Paham akan masalah sahabatnya. Tapi ia tak bisa membantu apa-apa. Lagipula Devan sendiri yang memilih jalan itu.
“Padahal gue pengen banget ikut liat proses dan masuk ke markas pusat. Tapi mereka belum percaya sama gue.”
“Sabar, bro. Pelan-pelan aja. Lagian, kenapa nggak lo bongkar aja rencana mereka yang mau ngirim barang?”
Devan menggeleng dengan tegas. “Kalau gue bongkar, gue nggak bakalan bisa ketemu sama Reizo, apalagi bapaknya.”
“Apa nggak capek satu tahun lebih ngelakuin hal ini tapi nggak dapet apa-apa?” tanya Daffa yang kembali mendapat gelengan dari Devan.
“Nggak, dan gue bakalan bongkar semuanya dan siapa aja yang terlibat.”
Devan sudah bertekad, itu berarti tak ada yang bisa menghalangi. Kemudian Devan terpikirkan sesuatu yang sempat mengganjal di hatinya.
“Oh ya, soal Rachel—” belum sempat Devan menyelesaikan ucapannya, Daffa langsung memotong.
“Tunggu tunggu, gue mau nanya nih. Kan lo di sini udah hampir tiga tahun. Tapi kenapa baru ketemu sama Rachel sekarang? Maksudnya, kenapa nggak dari dulu gitu?” Daffa mengeluarkan uneg-unegnya.
Sementara Devan hanya mengangkat bahu, tanda ia juga tidak tahu. Tapi, apa yang Daffa bilang ada benarnya juga. Setelah lulus kuliah, Devan kembali ke tanah air. Namun, kenapa baru sekarang ia bertemu dengan Rachel? Padahal jarak mereka tak terlalu jauh.
Devan tak ada niat mencari? Tentu ada, tapi Devan takut. Takut Rachel akan kembali terluka karena kehadirannya yang tiba-tiba.
Namun, ketika melihat Rachel yang ternyata baik-baik saja saat bertemu dengannya. Devan berpikir bahwa di hati Rachel memang sudah tak ada namanya lagi. Atau lebih tepatnya, Rachel sudah move on.
Devan tidak ada niat untuk minta maaf? Tentu ada, bahkan ketika pertama kali bertemu, kata yang ingin Devan ucapkan pertama kali adalah 'maaf' namun lidahnya terasa kelu.
“Soal Rachel. Gue mau minta tolong ... ” ujar Devan.
“Apa?” tanya Daffa dengan penasaran.
“Tolong bilang ke Rachel supaya dia berhenti dari kasus itu. Gue ... gue nggak mau dia ada dalam bahaya. Pokoknya, gue minta tolong, supaya Rachel serahin kasus itu ke orang lain. Jangan dia yang nanganin.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 26 Episodes
Comments