Precious Relationship

Precious Relationship

kasus Baru

Langkahnya terayun dengan irama yang cepat, ketukan heels berpadu dengan lantai menimbulkan bunyi yang cukup keras. Rachel yang baru saja keluar dari mobilnya itupun langsung berjalan dengan tergesa-gesa, memasuki restoran tempat dimana sahabatnya sudah menunggu lama.

Iya, lama. Pasalnya, sudah dua puluh menit berlalu sejak janji temunya dengan Mona— sahabat yang sudah sangat sahabat itu dan Rachel baru menginjakkan kakinya di tempat janjinya setelah membuat Mona bosan menunggu.

“Hay ... ” sapa Rachel begitu tiba di sebuah meja yang sudah ditempati oleh Mona.

Mona berdecak dan memutar kedua bola matanya lalu menatap Rachel dengan sinis, “Hay doang?” tanyanya dengan tatapan yang masih terlihat kesal.

“Iya, sorry, ya. Habis kerjaan gue lumayan numpuk dan lo tau sendiri kalau jakarta itu tempatnya macet,” ucap Rachel yang merasa bersalah.

Setelah duduk di hadapan Mona, tatapan Rachel beralih pada segelas kopi di atas meja yang sudah habis setengah. “Lo nggak pesen makan duluan?”

Mona berdecak lagi, “Ya enggak lah, kan tujuan gue kesini mau makan bareng lo, masa gue pesen duluan sementara lo belum keliatan wujudnya?”

Rachel merasa bersalah lagi, “Ya udah, sekarang kita pesen makan. Gue juga udah laper banget ini,” kata Rachel lalu melambaikan tangan untuk memanggil waitress.

“Apalagi gue yang udah jamuran karena nungguin lo?” celetuk Mona.

“Iya, ya ampun, gue minta maaf. Sebagai gantinya gue traktir deh, terserah lo mau makan apa aja. Bebas!”

Tiba-tiba Mona tersenyum cerah, “Nah gitu, dong. Lo, gue maafin.”

Setelah memesan makanan, Rachel menatap Mona cukup serius. “Ini kenapa tiba-tiba lo ngajak gue makan bareng? Pasti bukan karena gabut kan?”

Mona menyesap kopinya terlebih dahulu sebelum menjawab pertanyaan Rachel. “Nggak lah! Gue ngajak lo makan bareng karena gue mau bilang sesuatu—” belum selesai Mona bicara, Rachel sudah memotongnya.

“Sesuatu apa?”

“Gue mau tunangan,” ungkap Mona membuat Rachel melotot.

“Wah ... Lo—” Rachel tak melanjutkan ucapannya, karena tentu Mona sudah memotongnya sama seperti Rachel memotong ucapan Mona.

“Sorry, ya, meskipun kita bestie-an tapi kalau soal nikah kita nggak akan bareng,” ucap Mona membuat Rachel mendelik.

“Maksud gue tuh, kenapa lo baru bilang pas lo mau tunangan? Kenapa baru sekarang?” tanya Rachel.

“Gue lupa, hehe ... ”

***

Pesanan sudah tersaji di atas meja, kini Rachel dan Mona tengah menikmati makan siang mereka. Oh ya, ngomong-ngomong topik yang tadi masih di bahas oleh mereka. tentang Mona yang akan bertunangan dengan Daffa, lelaki yang sudah menjadi teman mereka berdua sejak SMP.

“Jadi, kapan kalian resmi tunangannya?” tanya Rachel.

“Rencananya sih malam minggu besok, gue ke sini juga karena mau ngundang lo buat acara nanti. Lo ... bisa kan?”

Rachel nampak berpikir sejenak, “berarti empat hari lagi ya? Kalau gitu gue harus liat dulu kerjaan gue masih banyak atau nggak. Tapi, walaupun banyak gue pasti dan harus dateng ke acara lo.” Mona mengangguk paham.

Kenapa Rachel bilang harus melihat pekerjaannya dulu? Sebab pekerjaan Rachel memang membuatnya sangat sibuk. Sejak menjadi detektif satu tahun yang lalu, Mona dan Rachel jarang bertemu— bukan dalam arti bertemu yang hanya satu bulan sekali, tapi biasanya mereka akan bertemu hampir setiap hari dan sekarang— semenjak Rachel bekerja menjadi seorang detektif (?) dalam seminggu mereka hanya bisa bertemu selama dua atau tiga kali.

Tak lama, ponsel milik Rachel yang ada di dalam tas bergetar. Menandakan ada telepon dari seseorang. Rachel menghentikan makannya sejenak lalu mengambil ponselnya.

“Siapa?” tanya Mona.

“Agha ... ” jawab Rachel. Ia menebak bahwa ada pekerjaan yang harus di tangani jika yang menelepon adalah Agha.

Mona hanya mengangguk dan Rachel langsung menekan tombol hijau, kemudian suara Agha terdengar dari sana.

[Ada kasus baru]

Rachel diam sesaat sambil melihat Mona sekilas, “harus ke sana sekarang?”

[Iya, dan kalau emang kamu lagi ada urusan, boleh selesaikan dulu tapi jangan terlalu lama.]

“Oh, oke. Aku lagi makan, jadi mungkin agak telat sampai kantor.”

Setelah sambungan telepon mati, Mona langsung buka suara, “Kasus baru lagi?” tanyanya sedikit meledek.

Rachel hanya mengangguk dan menghela napas. “Gue nggak bisa lama-lama di sini,” ucapnya.

“It's okay, lagi pula gue cuma ngajak lo makan siang karena mau ngomong sesuatu ... yang nggak terlalu penting banget sih. Soalnya kalau masalah undangan gitu kan bisa lewat telepon.” Mona meringis setelahnya, baru sadar bahwa ia sedikit ... konyol?

“Kalau lo ngomong lewat telepon doang, malah gue yang sakit hati, Mon. And, thanks, lo udah ngajak gue makan disini. Kalau enggak, gue pasti cuma bisa delivery di kantor dan yang pasti ngebosenin banget.”

Mereka diam sebentar kemudian tertawa secara bersamaan.

Setelah menyelesaikan makan siangnya, Rachel bergegas kembali ke kantornya. Dan langsung menuju ruangan tempat dimana mereka biasanya mendiskusikan sesuatu tentang kasus penting yang akan di tangani dan tentunya tak akan bisa di dengar oleh orang lain.

“Maaf, telat. Tadi di jalan lumayan macet,” ucap Rachel begitu masuk ke dalam ruangan yang sudah ada Agha dan beberapa orang lainnya.

“Baik, semuanya sudah datang termasuk si cantik Rachel yang memang keseringan telat ... ”

Rachel meringis mendengar ucapan Agha. Ia pun duduk di kursi yang biasa ia tempati itu.

“Kali ini ada kasus apa?” tanya Rachel.

Agha menyodorkan beberapa lembar kertas yang berisi data diri dan beberapa hasil penyelidikan polisi ke hadapan Rachel.

“Namanya Cleona. Kamu pasti kenal kan?”

Rachel mengangguk ragu, siapa yang tidak kenal dengan Cleona? Seorang selebritis yang akhir-akhir ini sedang naik daun. Dan kini sudah meninggal? Bahkan Rachel yang akan menangani kasusnya yang entah apa.

“Iya, terus kok bisa meninggal? Kayaknya aku baru liat dia dua hari yang lalu ada di acara tv.”

“Dan dia meninggal sekitar kemarin malam dan baru ditemukan kemarin siang sewaktu manajernya nyari-nyari dia dari pagi.”

Rachel mengangguk mengerti. “Terus kenapa sampai dibawa ke kepolisian?”

“Karena kematiannya nggak wajar—” Rachel mengernyit, Agha melanjutkan, “Kata manajernya, begitu dia masuk apartemen, Cleo udah nggak bernyawa dan ada bekas luka tusukan di dada bagian kiri. Yang pasti kena jantungnya. Kedua, ada bekas tamparan di pipi sebelah kiri sampai sudut bibirnya berdarah ... ”

“Astaga ... ” Rachel bergidik mendengarnya.

“Ketiga, ada bekas cekikan di leher yang buat Cleo kesulitan bernapas. Dan Manajernya bilang dia lihat Cleo nggak pakai baju. Ada beberapa luka bekas tali atau sabuk? Yang buat badan Cleo lebam. Dan satu bukti yang ditemukan polisi tadi pagi adalah alat pengaman yang belum di pakai. Itu artinya, Cleona sempat di perkosa tapi pelakunya memakai pengaman jadi nggak meninggalkan bukti.” Agha menghentikan penjelasannya sambil menatap reaksi Rachel yang sudah pasti sedikit shock.

“Separah dan se-mengerikan itu?” Agha mengangguk.

Rachel mengambil kertas-kertas itu untuk ia baca kembali. Cleona, perempuan cantik yang setahu Rachel bersih dari skandal dan kini ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan. Rachel sampai merinding sendiri.

“Sekarang jenazahnya ada dimana?” Rachel mengangkat kepalanya dan Agha menoleh ke arah salah satu polisi yang ada di sana.

“Jenazah sedang di otopsi, dan besok baru akan keluar hasilnya,” jawab polisi itu meski Agha tak bertanya.

“Dan ... keluarganya?”

“Mereka langsung dikabari kemarin sore, mungkin hari ini sedang ada di rumah sakit.”

“Kita ke sana sekarang!” ucap Rachel langsung berdiri.

Agha dan yang lain mengangguk dan mengikuti Rachel yang sudah berjalan lebih dulu. Sepanjang perjalanan, Rachel terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang mendasari pembunuhan itu. Tapi apa? Rachel tahunya Cleo itu perempuan baik-baik, ah, tapi itu di depan layar.

Entah di belakang layar memang baik atau tidak, yang membuat Rachel melamun bahkan ketika sudah sampai ia tak akan tersadar bila Agha tak menepuk pundaknya.

“Mikirnya nanti, sekarang kita fokus dulu,” katanya.

Rachel tersenyum dan ia pun keluar dari dalam mobil. Polisi yang datang bersama mereka pun tidak menggunakan seragam. Hanya kaos dan ada yang memakai jaket agar tak terlalu mencolok.

Sesampainya di depan ruangan tempat Cleo sedang di lakukan pemeriksaan, ternyata ada orang tuanya yang sedang menangis sambil berpelukan.

Ah, Rachel menduga bahwa mereka sedang terpukul atas kepergian Cleo yang tiba-tiba ini. Bahkan dengan kondisi yang tak bisa di bilang baik.

“Apa aku bisa masuk?” tanya Rachel pada Agha.

“Selain yang tidak diperbolehkan,” Agha menarik sudut bibirnya.

Rachel pun membuka pintu, ada dokter ahli forensik di sana yang sedang menulis sesuatu yang entah apa isinya.

“Halo, Dokter,” sapa Rachel, di susul Agha di belakangnya.

Dokter wanita itu pun menoleh. “Oh, halo ... Rachel ya?”

“Iya, Dok.”

Rachel mendekati dokter itu, lalu matanya beralih pada tubuh Cleo yang ternyata ... se-mengenaskan itu dimatanya.

“Selain luka tusukan, cekik, lebam, apa ada luka lain?”

“Ehm ... ada. Bekas pelecehan di tubuh bawahnya yang bengkak dan merah,” jawab dokter yang Rachel tahu nama panggilannya adalah Ika.

“Hasilnya keluar besok, dan kalau Mbak Rachel mau lihat silakan. Saya nggak akan menghalangi pemeriksaan, tapi jenazah besok juga sudah harus dikebumikan.”

Rachel mengangguk paham, yang paling penting jenazah sudah di otopsi dan ia hanya tinggal menunggu hasilnya. Namun, ketika melihat Cleo, Rachel sedikit heran. Karena ini seperti bukan kasus pembunuhan biasa.

Kalau kasus pembunuhan biasa, mungkin hanya di tusuk saja. Tapi Cleo bahkan sampai di lecehkan lebih dulu dan bahkan sepertinya di siksa habis-habisan. Terlihat dari luka lebam yang tak hanya ada satu, bahkan cukup banyak. Dan juga, bekas cupan*?

Eh, Rachel tak salah lihat kan? Bahkan pelakunya juga sepertinya sangat menikmati tubuh indah milik Cleo sebelum membunuhnya hingga meninggalkan bekas cup*ng di beberapa bagian tubuh Cleo.

“Saya akan kembali besok untuk mengambil hasilnya, dan Agha juga akan melihat proses pemakaman jenazah Cleo sampai selesai.”

Begitu namanya di sebut, Agha menolehkan kepalanya. “Aku?”

“Iya, karena habis ngambil hasil aku harus langsung ke lokasi,” Rachel tersenyum geli ketika mendapati raut penolakan Agha.

“Oh ya, Dok. Apa pelaku tidak meninggalkan bukti selain bekas pukulan ini? Ehm ... misalnya saja bekas cairan sperm*?”

Dokter Ika menggeleng lemah. “Sayangnya tidak, hanya ada bekas kemerahan saja dan memangnya di tempat kejadian tidak ada bekas pengaman yang di buang?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!