Dia MantanKu

Rachel berharap bahwa pelaku akan ceroboh dengan meninggalkan bekas pengaman yang berisi cairan itu agar mempermudah dirinya dalam penyelidikan. Karena sepanjang penjelasan Agha tadi siang, pelaku sama sekali tak meninggalkan bukti fisik maupun non fisik, misalnya sidik jari.

Jadi, besok Rachel akan langsung ke TKP dan juga memeriksa CCTV yang belum sempat dilihat oleh petugas kepolisian. Untuk sekarang Rachel hanya ingin beristirahat karena hari sudah malam dan tubuhnya terasa sedikit pegal.

Begitu sampai di rumah, Rachel langsung masuk kamar bahkan tak menyapa kedua orang tuanya dulu. Rachel membersihkan tubuhnya dengan air hangat dan mengenakan piyama yang cukup tebal.

“Kak!” panggil Kalingga.

Kalingga adalah papi kesayangan Rachel, bahkan Kalingga juga lebih menyayangi Rachel dari pada anak keduanya— adik laki-laki Rachel yang namanya Arghian Bagaskara.

“Iya, Pi, kenapa?” Rachel menghampiri Kalingga yang sedang menonton televisi bersama sang istri alias mami Rachel yang namanya Frida Kartika.

“Kamu udah makan?” tanya Kalingga.

“Udah kok, Pi. Tadi bareng sama Agha,” jawab Rachel. Dan ya, Rachel tak bohong bahwa sebelum pulang, ia makan malam dulu dengan Agha di tempat biasa mereka makan.

“Kok sama Agha terus sih, Kak?” kini mami Frida yang bertanya.

“Lho, emang kenapa, Mi? Kan aku emang udah biasa makan bareng Agha.”

“Ya sekali-kali makan bareng pacar, Kak. Jangan sama Agha terus, atau minimal jadian lah sama Agha. Kan kalian sering bareng tuh.” Frida menampilkan senyum yang cukup menyebalkan dimata Rachel.

“Ih, Mami. Kan aku lagi fokus kerja, banyak kasus yang harus aku pegang. Mana sempet mikirin soal pacar apalagi nikah,” sungut Rachel.

Frida tertawa, mungkin senang karena telah meledek sang anak. Padahal Rachel sudah berulang-kali bilang begitu, tapi seolah Frida sengaja karena memang ingin cepat-cepat melihat anaknya menikah.

“Eh, Kak, tau nggak—”

“Nggak tau, Mi,” potong Rachel tiba-tiba dan Frida langsung memukul lengan Rachel dengan pelan.

“Makanya dengerin dulu orang ngomong. Jangan langsung di potong.” Rachel tertawa tentu saja, seolah ia berhasil balas dendam karena Frida telah meledeknya tadi.

“Iya iya, Mi. Emang ada apa?”

“Mami tadi lihat berita katanya Cleona meninggal yah? Kakak udah tau belum?”

Rachel langsung menoleh pada sang Mami. secepat itu ternyata beritanya sudah menyebar bahkan sampai di televisi walaupun belum pasti penyebabnya apa. Dan siapa pelakunya.

“Udah kok, Mi. Soalnya Kakak yang nanganin kasusnya Cleona,” ucap Rachel, yang sekarang sedang makan cemilan yang ada di atas meja.

“Lho? Kok bisa?”

Mengalir lah cerita dari awal sampai akhir yang Rachel tahu untuk memenuhi rasa penasaran sang mami. Bahkan tentang bekas ****** yang ditinggalkan oleh si pelaku.

“Tapi jangan di sebarin, Mi. Jangan punya mulut 'ember', kalau Mami sebarin bisa nambah ruwet jalan aku buat selesain kasusnya.”

“Ya enggak lah, kan Mami cuma nanya. Lagian Pelakunya juga sama kayak menyelam sambil minum air. Misalnya ya, kalau ada dendam bisa dapat untung zina. Zina kan enak, ya, Pi?” Tiba-tiba Frida menoleh pada Kalingga.

“Ya mana Papi tau,” Kalingga angkat bahu acuh.

***

Pagi harinya, Rachel sudah di jemput Agha di depan rumahnya. Kali ini Rachel tak akan bawa mobil, karena ketika akan pergi ke TKP, Rachel akan ikut dengan mobil polisi yang tentu saja terlihat seperti mobil biasa supaya tak ada yang tahu apa tujuan mereka datang ke gedung itu.

Sementara ketika pemakaman Cleo sudah selesai, Rachel akan pulang di antar oleh Agha. Biarlah pindah-pindah mobil asal ia tak merasa lelah (senyum devil).

“Cleo nggak jadi dimakamin hari ini.”

Lah?

“Eh, kok nggak jadi?”

“Dokter Ika bilang otopsi nya belum selesai, dan kemungkinan besok pagi. Jadi rencana kita berubah, hari ini kita fokus nyari bukti di TKP.”

Rachel hanya mengangguk, ia ikut saja, toh sudah dapat tumpangan gratis jadi tak usah protes.

“Oh iya, aku kapan bisa lihat rekaman CCTV-nya?” tanya Rachel.

Mobil mulai berhenti setelah tadi jalan dengan lancar, alasannya sudah pasti karena macet. Agha pun punya kesempatan untuk menoleh pada Rachel.

“Katanya CCTV dari rusak dan lagi di benerin. Semoga hari ini sudah bisa atau besok?”

“Dan soal yang dokter Ika bilang, kita akan coba cari di setiap sudut apartemen itu. Aku harap sih beneran pelakunya ceroboh dan ninggalin itu sebagai barang bukti kedua.”

Rachel pun berharap begitu, karena setibanya di tempat kejadian, mereka belum menemukan apapun. Di tempat sampah, toilet dan dimana pun yang kira-kira tempat yang cocok untuk menaruh benda seperti itu.

“Astaga ... ini pelakunya yang kelewat pinter apa kita yang kurang pinter sih? Masa satu jejak pun nggak dia tinggalin. Kayaknya ini kasus pertama aku yang bakal lama selesainya. Selain balon yang belum di pakai, nggak ada lagi gitu? Baju? Celana?” gerutu Rachel yang belum apa-apa sudah mulai kesal.

Agha menggeleng sembari tertawa. Memang, ia pun mengakui bahwa pelaku untuk kasus ini lebih pintar dari yang ia duga. Biasanya pelaku akan meninggalkan sebuah 'bukti' yang tak sengaja pelaku tinggalkan. Tapi untuk kasus ini tidak tidak. Bahkan sidik jari pun tidak ada.

“Mungkin pelakunya pakai sarung tangan sewaktu ngelecehin Cleo dan nyiksa Cleo.” Rachel menggeleng begitu sadar apa yang ia ucapkan.

“Oh ya, HP Cleo apa nggak ada? Harusnya dari sana kita bisa cari tau siapa aja yang pernah Cleo hubungi.”

Rachel sudah sangat berharap, namun nyatanya gelengan kepala dari Agha membuatnya ingin menjedukkan kepalanya sendiri.

“Begitu manajer Cleo dateng, HP itu memang udah nggak ada. Bersih banget.”

Para anggota polisi yang lain bilang mereka hanya menemukan pengaman yang belum di pakai dan itu tercecer di lantai. Itu berarti, Pelaku sempat memakai satu lalu setelah puas menyiksa Cleo, Pelaku itu membuangnya ketempat yang entah dimana tepatnya.

Hari semakin siang namun belum ada yang mereka temukan satu pun. Sepertinya, proses penyelidikan kali ini akan benar-benar memakan waktu yang lama. Mengingat bukti yang hanya berupa sisa alat pengaman itupun belum di pakai.

Akhirnya Agha mengajak Rachel untuk beristirahat dan makan siang di lantai bawah. Sementara tempat ini akan tetap ada yang menjaga. Dua orang polisi yang memakai pakaian biasa.

Di dalam lift, rupanya tak hanya ada mereka berdua. Namun ada satu orang lagi yang seketika membuat Rachel terpaku selama beberapa saat.

“Devan?”

Namun lidahnya terasa kelu hanya untuk mengatakan satu kata itu. Ketika netranya hanya terfokus pada sosok lelaki yang juga sedang menatap kearahnya dengan tatapan yang terlihat ... terkejut?

“Ra?”

Dan ... fokus itu buyar ketika Agha menyentuh bahunya. Membuat Rachel berjengit karena terkejut.

“Kenapa malah ngelamun? Ayo masuk, nanti lift nya keburu ketutup.” Agha menarik pergelangan tangan Rachel yang tiba-tiba terasa tremor dan berkeringat dingin.

“Kamu nggak papa?” tanya Agha khawatir.

“Ah, i-iya, aku nggak papa kok.”

Rachel berdiri dengan canggung karena di apit oleh Agha dan lelaki di sebelahnya.

Devan, cinta pertamanya dan belum ada penggantinya. Mantan kekasih yang dulu tiba-tiba menghilang bak dibawa arus sungai yang begitu derasnya bahkan sampai membuat Rachel banjir air mata. Oh, itu dulu, lima tahun yang lalu namun sekarang Rachel sudah move on. Hanya tinggal sakit hatinya saja yang mungkin tak bisa hilang.

Rachel melirik ke arah Devan yang diam saja setelah melihatnya. Apa Devan tak merasa bersalah sedikitpun? Mengingat bertahun-tahun Devan tak sekalipun menemuinya, Rachel merasa Devan memang tak pernah merasa bersalah.

Rachel mencengkram tali tasnya dengan kuat hingga buku-buku tangannya memutih. Jika saja lift tak berbunyi dan pintunya terbuka, maka Rachel sepertinya akan kesulitan bernapas karena sesak yang tiba-tiba datang.

Rachel melihat Devan pergi lebih dulu, menjauh dan semakin menjauh hingga tak terlihat. Bahkan Rachel tak mendengarkan setiap ocehan yang keluar dari mulut Agha.

“Rachel ... ” panggil Agha.

“Ah, iya, Gha? Kenapa?”

“Kamu lagi mikirin apa? Kok kayaknya nggak fokus gitu? Bahkan waktu aku ngomong pun kamu nggak ngerespon apa-apa.”

“Oh, iyakah? Maaf, aku emang kurang fokus siang ini. Mungkin karena laper ya?” Rachel terkekeh dengan hambar.

“Kalau gitu, kita makan yang banyak. Jangan terlalu banyak pikiran, takutnya kamu sakit,” dan Rachel merasa lebih baik setelahnya.

Mereka memesan makanan yang mungkin bisa mengenyangkan perut. Sambil menunggu pesanan tiba, Rachel bertanya pada Agha.

“Laki-laki yang tadi ... ”

Ingin menyebut nama Devan tapi tidak bisa, mau bertanya pun bingung karena takut Agha tak tahu siapa Devan. Tapi, ternyata Agha cukup tahu ...

“Namanya Devan, dia tinggal di gedung ini bahkan deket banget sama unit Cleo. Cuma berjarak beberapa langkah. Emangnya kenapa? Kamu kenal?”

“Enggak, tapi dulu pernah kenal. Dia ... mantanku,” ungkap Rachel dengan suara yang lirih dan kepala menunduk.

“Uhuk!” Agha melotot, “Beneran? Kok aku baru tau kalau ternyata kamu punya mantan? Putus kapan?”

Rachel mendelik sinis ketika sadar Agha mulai kepo. Rachel tak menjawab pertanyaan Agha, ia mengalihkan fokusnya pada ponsel di tangan, namun percayalah fokus utamanya itu ada pada Devan.

Baru ketemu sekilas saja sudah jadi beban pikiran buat Rachel. Sekarang harapannya hanya satu, semoga ia tak akan bertemu Devan lagi.

***

Rachel pulang setelah benar-benar tak menemukan apapun di sana. Bukan pulang ke rumah mami dan papi, tapi Rachel pulang ke rumah Mona yang jaraknya tak terlalu jauh dari lokasi tempat terjadinya pembunuhan itu.

Setelah Agha pergi karena harus mengantar Rachel dulu. Rachel langsung masuk ke rumah Mona yang memiliki dua lantai itu sambil mengucap salam. Rupanya, rumah Mona cukup ramai. Mungkin karena lusa Mona akan bertunangan?

“Tante ... Mona-nya ada?” tanya Rachel pada ibunya Mona yang sedang menonton televisi.

“Dikamar dianya, masuk aja, Ra.”

Rachel mengangguk sembari tersenyum. Setelah itu Rachel langsung pergi ke kamar Mona yang ada di lantai dua, tanpa mengetuk pintu Rachel langsung masuk karena pintunya tak di kunci. Rupanya, Mona sedang tertidur pulas sambil memeluk guling.

“Mon, gue juga numpang tidur, ya,” ucap Rachel pada Mona yang tentu saja tidak akan di dengar.

Rachel menaruh tasnya di atas meja kecil, lalu naik ke ranjang dan ikut memeluk guling yang sedang dipeluk oleh Mona. Meskipun kedua mata Rachel tertutup, namun pikirannya sedang berkelana.

Lima tahun sudah berlalu dan pertemuan tadi adalah pertemuan pertama mereka setelah Devan yang tiba-tiba menghilang. Dan kalian tahu apa yang Rachel sedang rasakan sekarang?

Sesak yang sangat sesak. Bahkan sampai membuat Rachel sedikit kesulitan bernapas. Bukankah ia sudah Move on? Tapi kenapa rasanya masih sesakit ini?

Rachel tak tahu kapan pastinya ia mengalihkan pikirannya yang dipenuhi oleh nama Devan. Karena tentu saja Rachel sudah tertidur setelahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!