Saat ini Maira tengah menyiapkan pakaian yang akan dibawanya besok untuk kembali ke Jakarta. Masa cuti dokter Danar telah habis dan dia memutuskan untuk membawa Maira kembali ke Jakarta, dimana Maira juga harus melanjutkan kuliahnya.
Semalam Maira mengantarkan adiknya kepondok pesantren tempatnya melanjutkan sekolah. Tidak jauh dari kota itu, dia diantar oleh dokter Danar dan juga tuan Beni.
Sudah hampir dua minggu lebih sejak kepergian ayahnya Maira tinggal dirumah orang tua dokter Danar. Tidak banyak yang Maira lakukan, dia hanya menghabiskan waktunya didalam kamar. Keluar rumah hanya untuk makan dan berbincang dengan adiknya diteras rumah ataupun dibelakang rumah.
Dan tentu saja itu membuat ibu dokter Danar begitu tidak menyukai Maira. Jangankan membantu nya untuk menyiapkan makanan atau pekerjaan rumah tangga yang lain, hanya sekedar membuatkan segelas kopi untuk dokter Danar saja Maira tidak pernah melakukan nya.
Maira gadis yang keras kepala dan terbiasa mandiri, dia tidak pernah melakukan pekerjaan rumah tangga apapun selama hidupnya. Dan ketika dia berada dalam kondisi seperti ini, dia benar benar tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Mengurus suami seperti orang lain? Jangan harap batin Maira. Apalagi dengan pernikahan yang tidak diinginkannya ini dan juga kenyataan yang sebenarnya, dia merasa sudah dibodohi oleh dokter tampan itu.
Dirumah itu Maira tidak pernah ambil perduli dengan sikap ibu dokter Danar yang tidak menyukainya. Mereka bahkan bisa dibilang jarang berbicara. Seringkali jika dokter Danar pergi meninjau hotel bersama ayahnya, ibunya selalu berkata sesuatu yang menyakitkan hati. Namun Maira tidak ambil perduli, dia lebih sering membiarkan mertua nya mengomel sendiri dan memilih mengurung diri dikamar.
Ceklek
Maira yang sedang menyimpan pakaian nya kedalam koper langsung menoleh kearah pintu dimana dokter Danar masuk kedalam kamar mereka.
"Makan malam dulu, nanti dilanjutkan lagi" ucap dokter Danar. Dia hanya berdiri diambang pintu
"Saya tidak lapar" jawab Maira yang kembali merapikan pakaian nya.
"Ayah dan ibu sudah menunggu dimeja makan" kata dokter Danar lagi
"Saya tidak lapar" jawab Maira masih dengan jawaban yang sama. Apa dokter satu ini tidak bisa mendengar, suka sekali memaksa orang. Maira terus saja memasukan pakaian nya kedalam koper tanpa melihat dokter Danar yang menghela nafas dalam dalam dan menutup pintu kamar itu.
Dokter Danar berjalan mendekati Maira yang masih terus saja mengacuhkan nya. Setiap mengajak Maira makan malam bersama kedua orang tuanya pasti selalu ada drama yang terjadi.
Dokter Danar duduk disisi tempat tidur menghadap kearah Maira yang duduk dilantai dengan pakaian yang berserakan.
"Maira" panggil dokter Danar begitu lembut. Namun Maira tidak bergeming. Dia menatap istrinya itu beberapa saat
"Saya tahu kamu tidak menyukai saya. Saya tahu kamu tertekan dengan pernikahan ini dan saya tidak memaksa kamu menerima nya secepat ini" ucap dokter Danar. Pandangan matanya masih memandang Maira yang hanya diam
"Tapi untuk malam ini saja, bisakah kamu menjadi istri yang baik didepan orang tua saya. Hanya malam ini Maira" pinta dokter Danar
Maira langsung menghentikan kegiatannya. Dia menatap dokter Danar dengan pandangan tidak suka.
"Sudah berapa kali saya bilang bukan, saya tidak suka diatur. Jika dokter tidak suka, dokter bisa membiarkan saya pergi sendiri besok pagi" jawab Maira begitu tajam.
Maira benar benar tidak ingin bersandiwara didepan kedua orang tua dokter Danar, apalagi harus bersikap manis, itu bukan gayanya. Jika mertuanya tidak suka, dia dengan senang hati ditinggalkan oleh putra mereka ini.
Dokter Danar terdiam. Maira tidak bisa dikerasi, dan lagi lagi dia hanya bisa menghela nafas nya. Mencoba untuk selalu sabar menghadapi sikap Maira.
"Maira, malam ini adalah malam terakhir kita dirumah ini. Jika kamu tidak mau kita bersikap sebagai suami dan istri yang sesungguhnya, tidak apa apa. Tapi setidaknya, kita harus bersikap sebagai seorang tamu yang menghargai tuan rumah bukan?" kata dokter Danar
Maira langsung tertawa sinis mendengar nya
"Seorang tamu, ya itu lebih enak didengar, hanya seorang tamu asing yang menumpang makan dan tidur" ketus Maira. Dia segera beranjak dari tempatnya dan berjalan keluar meninggalkan dokter Danar yang lagi lagi hanya bisa menghela nafas lelah dengan sifat Maira. Gadis muda yang telah mencuri perhatian dokter Danar sejak beberapa tahun yang lalu.
Dimeja makan, orang tua dokter Danar telah menunggu mereka sedari tadi. Tanpa berkata apapun Maira duduk dikursi nya dan disusul oleh dokter Danar.
"Kamu bukan ratu yang jika setiap makan harus selalu dipanggil dan dilayani Maira. Kamu sudah dewasa dan seharusnya kamu bisa berfikir dengan jernih" ucap ibu dokter Danar langsung. Dia begitu tidak suka melihat sikap Maira yang selalu seperti ini, entah mimpi apa dia anak kebanggaan nya bisa memiliki istri seperti Maira.
Maira hanya diam dan menatap makanan dihadapan nya dengan pandangan datar. Rasa nya dia sudah tidak sabar untuk pergi dari rumah ini. Semua nya penuh dengan peraturan. Dan Maira tidak suka itu. Kepala nya sudah penuh dengan beban hidup yang seperti tidak ada habisnya, dan tinggal disini lebih lama bisa membuat nya mati dengan cepat.
"Maaf bu, tadi Maira sedang dikamar mandi. Jadi agak lama menyusul kemari" ucap dokter Danar berusaha menengahi keadaan
"Tidak usah kamu bela terus istri kamu Danar. Ibu tahu tabiat Maira yang tidak akan pernah bisa menghormati kamu sebagai suami" kecam ibu membuat dokter Danar langsung terdiam. Dia tidak akan berani melawan ibunya
Tangan Maira saling menggenggam erat dibawah meja, dia ingin sekali membalas perkataan ibu mertua nya itu, tapi melihat tuan Beni, dia harus bisa meredam emosi nya. Siapa juga yang mau menjadi istri nya, dia hanya terpaksa waktu itu. Itupun karena kesalahpahaman otaknya yang berfikir jika ayahnya berhutang budi dan uang pada keluarga dokter Danar hanya karena keluarga nya yang selalu membantu Maira dan keluarga nya dulu.
"Ibu sudah, tidak baik dimeja makan bertengkar. Besok mereka akan kembali ke Jakarta, ini makan malam terakhir kita, dan belum tahu kapan kita bisa berkumpul seperti ini lagi" sahut tuan Beni pada istrinya.
Tuan Beni tahu jika dari awal istrinya itu memang tidak menyukai Maira menjadi istri dari anak semata wayang mereka. Tapi apa boleh buat, tuan Beni tidak bisa berbuat banyak karena itu pilihan putra nya sendiri.
Ibu dokter Danar hanya mendengus gerah. Dia langsung meraih piring untuk mengambilkan makanan suaminya. Meski kesal tapi dia tetap harus menjalankan kewajibannya, sekaligus agar menantunya ini tahu cara untuk melayani suami dengan baik.
Namun yang terjadi malah sebaliknya, Maira mengambil nasi hanya untuk dirinya sendiri tanpa menghiraukan dokter Danar disebelahnya. Dan tentu saja itu menjadi sesuatu yang selalu membuat ibu dokter Danar begitu kesal. Sudah dua minggu lebih dan selalu saja seperti itu. Rasa nya dia benar benar tidak rela jika anak semata wayangnya mendapatkan istri yang tidak tahu etika seperti Maira.
Dan setelah perdebatan kecil tadi, akhirnya mereka makan dalam diam. Maira makan dengan tidak berselera. Dia hanya makan untuk mengisi lambungnya yang terasa perih. Bahkan dia terkadang hanya makan saat malam hari saja. Nafsu makan nya sama sekali tidak ada, apalagi harus selalu mendengar ocehan dari ibu mertuanya ini.
"Ibu, jika Danar sudah tidak ada disini besok, ibu tidak boleh lagi makan makanan yang terlalu berlemak seperti ini ya" kata dokter Danar disela sela makan mereka
"Ini ayah yang minta nak" sahut tuan Beni
"Tapi ibu makan juga" kata dokter Danar melihat ibunya yang memakan rendang daging sapi dipiring nya
"Sayang enggak dimakan, ibu juga kepengen sesekali" sahut ibu. Seperti nya dia sudah melupakan kekesalan nya barusan
Dokter Danar tersenyum dan menganggukkan kepala memandang ibunya
"Enggak apa apa, tapi setelah itu ibu harus minum obat. Jangan sampai lupa" kata dokter Danar lagi
"Ibu kamu kalau enggak diingatkan memang selalu lupa nak" sahut tuan Beni dengan senyum usilnya, membuat Ibu langsung meliriknya dengan kesal
"Bosan ibu minum obat" jawab nya
"Jangan begitu dong bu, inikan demi kebaikan ibu. Ibu harus sehat biar kita bisa kumpul terus seperti ini" kata dokter Danar
"Ibu akan terus sehat jika kamu dan ayah tidak membuat ibu kesal setiap hari" jawab ibu. Dokter Danar langsung tertawa kecil mendengar nya, apalagi melihat tuan Beni yang tersedak makanan nya
"Tuh kan, maka nya jangan suka godain ibu. Keselek" ucap ibu sembari memberi minum pada tua Beni
"Siapa yang gogain sih bu. Ibu aja kesel nya setiap hari. Kadang ayah sama Danar mau negur nya takut" jawab tuan Beni, dan lagi lagi dokter Danar tertawa melihat itu. Kedua orang tua nya selalu terlihat manis setiap waktu meski selalu saja ada yang diperdebatkan ,namun mereka tidak pernah melupakan apa yang membuat rumah tangga mereka selalu terlihat harmonis. Bahkan diumur nya yang sudah setua ini.
Ting
Suara denting sendok yang terhentak kepiring membuat mereka langsung menoleh keara Maira. Beberapa detik mereka hampir melupakan kehadiran Maira disana.
"Saya sudah selesai" ucap Maira tiba tiba. Dia langsung beranjak dari duduk nya dan berlari meninggalkan meja makan itu. Ibu hanya acuh saja dan kembali melanjutkan makan nya
"Maira" panggil dokter Danar. Dia ingin beranjak dari tempat nya untuk mengejar Maira yang entah kenapa sekilas dapat dia lihat jika mata Maira berkaca kaca.
"Biarkan saja Danar" ucap ibu, membuat langkah kaki dokter Danar terhenti
"Tapi bu"
"Habiskan makanan kamu, jangan terlalu dimanjakan, dia bukan anak kecil lagi" kata Ibu tanpa mau menatap wajah dokter Danar yang terlihat bimbang.
Dokter Danar menatap tuan Beni yang menggelengkan kepala nya agar dokter Danar jangan pergi dari meja makan ini
Dan akhirnya dokter Danar kembali untuk duduk dan melanjutkan makannya. Dia tidak mungkin melawan perkataan orang tuanya karena bagaimanapun surga nya ada pada ibunya. Hal yang selalu dia pegang teguh sejak dulu. Tapi, Maira adalah tanggung jawabnya sekarang. Ya, dia jadi bingung karena ini.
....
Didalam kamar, Maira terlihat meringkuk disudut ruangan. Dia duduk dengan kepala yang tertunduk dan menyembunyikan wajah nya diantara kedua lengan yang mengapit lutut. Tubuh nya bergetar karena dia benar benar menangis kembali saat ini.
Hatinya begitu perih melihat dokter Danar yang begitu dekat dengan kedua orang tuanya. Maira bisa merasakan jika kasih sayang didalam keluarga mereka memang tidak main main. Maira begitu iri melihat itu. Dia begitu ingin merasakan suasana yang penuh canda tawa dan kasih sayang didalam keluarga nya. Tapi kenyataan nya, terasa begitu menyakitkan. Maira sudah menjadi korban perceraian kedua orang tua nya saat dia masih bersekolah dijenjang SMA. Dia tidak pernah merasakan kasih sayang dari seorang ibu bahkan sejak dari dia kecil karena ibunya selalu sibuk bekerja.
Dan disaat dia dewasa, dia juga tidak begitu dekat dengan ayahnya karena harus bersekolah ditempat yang jauh.
Maira rindu, begitu rindu. Dia ingin sekali merasakan kehangatan dalam sebuah keluarga seperti dokter Danar. Ada ibu sebagai tempat nya berbagi keluh kesah, ada ayah yang menjadi tempatnya bersandar. Tapi sekarang, dia hanya sendiri, dia sendiri dan harus menanggung beban ini sendirian. Ya, dia hanya sendiri.
Maira menangis sesunggukan sangat lama, dan dokter Danar juga belum masuk kedalam kamar karena dia masih harus mendengarkan petuah dari orang tuanya seperti biasa jika dia ingin kembali ke Jakarta untuk bekerja, apalagi sekarang dia sudah membawa istri.
Maira mengusap air matanya dengan kasar, hatinya benar benar lelah saat ini. Entah sudah berapa banyak air mata yang dia tumpahkan hanya karena masalah yang dianggapnya sebagai beban hidup. Maira merasa jika dia adalah gadis yang paling tidak beruntung didunia saat ini.
Dia butuh teman cerita, tapi tidak ada yang bisa diajaknya bercerita. Bahkan dia sudah menonaktifkan ponsel nya sejak menikah dengan dokter Danar.
Maira beranjak menuju kamar mandi untuk membersihkan wajahnya. Dia masih harus membereskan barang barang nya untuk besok. Jika hanya menangis, tumpukan baju dan peralatan yang lain tidak akan selesai terkemas sendiri batinnya.
Saat duduk kembali dan membereskan pakaiannya, dokter Danar masuk kedalam kamar itu. Dan lagi lagi Maira hanya diam dan tidak ada menoleh kearahnya sedikitpun.
"Sudah shalat isya?" tanya dokter Danar. Hal yang selalu dia tanyakan pada Maira yang selalu menganggap remeh tentang kewajiban itu
"Datang bulan" jawab Maira singkat. Suara nya masih terdengar serak. Dan dokter Danar tahu jika Maira habis menangis, karena tadi sebenarnya dia mendengar Maira dari balik pintu, namun dia tidak ingin masuk, karena dia tahu Maira pasti tidak ingin untuk didekati.
"Oh yasudah" dokter Danar segera beranjak dan masuk kedalam kamar mandi meninggalkan Maira yang terus saja membereskan pakaian nya
Tidak lama, hanya beberapa menit, dokter Danar sudah keluar dengan wajah yang terlihat begitu segar. Tetesan air wudhu diwajahnya selalu bisa membuat wajah nya berkali lipat lebih tampan. Namun sayangnya Maira belum bisa melihat keindahan itu. Yang dia tahu dokter Danar memang tampan, lalu dia harus apa, batinnya.
Dokter Danar mengenakan sarung dan baju koko serta kopiah yang menyempurnakan penampilan nya. Dia menggelar sajadah dan mulai mendirikan shalat dengan begitu khusyuk.
Maira hanya melirik dokter Danar dari tempat nya. Dia hanya suka melihat dokter Danar saat shalat saja, entah kenapa, Maira juga tidak tahu
Selesai shalat, dokter Danar tidak langsung bangkit dari atas sajadahnya. Ada banyak ritual yang dia lakukan. Terkadang Maira bingung untuk apa dokter Danar melakukan itu semua. Shalat sunnah, membaca beberapa surah, berzikir, shalat lagi, mengaji, dan entah lah, Maira hanya tahu shalat wajib saja dan itupun terkadang dia selalu lalai dan melupakannya. Lima waktu seumur hidupnya baru dia lakukan saat sudah menjadi istri dokter Danar, dan itu juga karena dokter Danar yang memaksa. Shalat hanya karena terpaksa, padahal dia merasakan sendiri jika sehabis melaksanakan kewajibannya dia akan selalu merasa hatinya jauh lebih tenang. Ya, begitu lah Maira, gadis keras kepala yang sedari kecil kurang mendapatkan pelajaran tentang agama dari keluarga nya.
Maira sudah selesai membereskan barang barang nya, dan dia juga sudah membersihkan diri. Kini dia beranjak ketempat tidurnya dan berbaring disana. Dia mengarahkan tubuhnya kearah dokter Danar yang masih asik mengaji saat ini.
Lantunan ayat ayat Al Quran yang dilafadzkan oleh dokter Danar terdengar begitu merdu dan menggetarkan jiwa. Seketika rasa sedih dan gelisah yang dirasakan Maira tadi langsung lenyap berganti dengan perasaan tenang dan menghangatkan jiwanya.
Maira yang setiap malam selalu susah untuk tidur namun jika sudah mendengar suara dokter Danar mengaji, matanya seketika menjadi mengantuk. Dan lama kelamaan dia terlelap dalam tidurnya.
Hampir satu jam dokter Danar mengaji, dan ketika dia berbalik arah, dia sudah mendapati Maira yang sudah terlelap dengan wajah yang begitu tenang.
Dokter Danar berjalan mendekati tempat tidur Maira, ya tempat tidur Maira. Karena dia harus tidur dilantai selama dua minggu ini. Maira benar benar tidak ingin tidur bersama nya.
Dokter Danar duduk disisi ranjang, memandang wajah Maira yang begitu indah. Dia tersenyum, merapikan anak rambut yang menutupi sedikit bagian wajah Maira. Hanya saat Maira tertidur barulah dokter Danar bisa menatap lama wajah istrinya itu. Karena saat Maira bangun, hanya wajah datar dan dinginlah yang selalu didapatkan nya.
'selamat tidur Maira ku' bisik dokter Danar sambil mencium lembut kening Maira.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Anita Nita
gak suka karakter maira
2024-09-07
0
🌹Fina Soe🌹
kamu gak punya teman cerita karena kamu keras kepala maira, siapa yg mau kamu salahkan...dr danar sudah berusaha terima kamu tapi kamu yg angkuh..
2023-10-06
1
Aqella Lindi
suami yg sprti ini yg sya mau thor, klau maira gk mau buat sya aja wkwk
2023-08-09
1