Sore itu hari terlihat mendung diarea pemakaman umum, bahkan gerimis sejak tadi mengiringi acara pemakaman pak Seno, ayah Maira.
Suasana duka begitu terasa ditempat itu, dimana mereka harus melepaskan sahabat dan orang tua yang begitu baik bagi mereka.
Lantunan doa terdengar menghiasi setiap langkah terakhir pak Seno menuju tempat peristirahatan nya. Pakaian serba hitam yang mereka kenakan seolah memang menandakan suasana duka yang mendalam, ditambah dengan hari yang memang sengaja mencurahkan airnya agar air mata kesedihan mereka tidak akan terlihat oleh siapapun.
Maira dan Rio berjongkok disisi pusara ayah mereka, tangan mereka terulur menabur bunga untuk menghiasi tempat peristirahatan ayah kebanggaan mereka. Pandangan mata mereka begitu sayu dan penuh kesedihan, bagaimana tidak mereka harus dipaksa untuk kehilangan orang yang mereka sayangi dengan begitu cepat.
Dokter Danar dan tuan Beni juga ikut menabur bunga dimakam pak Seno, bahkan tadi dokter Danar sendiri yang turun kedalam kubur mengantarkan jenazah ayah mertuanya dan mengazankannya. Dia juga merasa kehilangan dengan kepergian mertua nya itu, bukan hanya sebagai mertua, namun dokter Danar lah yang merawat pak Seno selama satu bulan terakhir ini dirumah sakit tempat nya bekerja.
Para pelayat yang datang kepemakaman pak Seno terlihat mulai membubarkan diri. Dan kini yang tersisa hanya tinggal Maira, dokter Danar, Rio, tuan Beni dan istrinya yang tidak banyak berbunyi sejak meninggalnya ayah Maira pagi tadi.
"Kita pulang?" ajak dokter Danar pada Maira dan Rio
Rio menatap kakaknya yang tersenyum da mengusap pundak nya dengan lembut
"Pulanglah lebih dulu, nanti kakak nyusul" ucap Maira. Rio hanya mengangguk patuh dengan wajah sendu nya. Maira tahu Rio benar benar kehilangan kini.
"Jangan lama lama nak, hujan semakin deras" kata tuan Beni. Dan Maira hanya mengangguk saja
Ibu dokter Danar langsung pergi tanpa berkata apapun. Wajahnya datar dan terkesan begitu dingin, entah apa yang ada difikiran wanita itu, Maira tidak ingin perduli.
Rio pulang bersama tuan Beni yang merangkul pundaknya, dan kini tinggalah dokter Danar dan Maira dipemakaman itu. Dokter Danar berdiri dibelakang Maira dengan tangan yang memegang payung. Sedangkan Maira berjongkok dengan pandangan mata yang begitu nanar dan tampak kosong.
"Dokter bisa pulang, saya ingin sendiri saat ini" ucap Maira tanpa menoleh pada dokter Danar dibelakang nya
"Hari sudah mau maghrib dan saya tidak bisa meninggalkan kamu sendiri disini" jawab dokter Danar
"Saya bukan anak kecil yang perlu dikhawatirkan" sahut Maira
"Saya tidak mengkhawatirkan diri kamu, saya hanya mengkhawatirkan diri saya sendiri. Jika ayah tahu saya pulang sendiri, pasti saya yang akan disalahkan" jawab dokter Danar.
Maira begitu kesal mendengar nya. Dia menoleh sadis pada dokter Danar yang berwajah tenang itu, sungguh menjengkelkan
"Saya tidak perduli" dengus Maira yang melengos kesal
Dokter Danar hanya tersenyum tipis, dan Maira kembali menatap pusara ayahnya. Mereka terdiam begitu lama, hanya gemerisik air hujan yang mengisi suara disenja hari dipemakaman itu.
Maira mengusap penuh perasaan pada batu nisan ayahnya, bahkan air hujan yang mulai membasahi tubuhnya tidak lagi dirasakan nya. Dia malah merasa lebih tenang karena terkena tetesan air hujan, seolah semua perasaan nya ikut meluruh bersama air yang membasahi tubuhnya, ya walaupun tidak langsung terkena air karena dokter Danar yang memayungi nya.
'ayah, apa yang harus Maira lakukan sekarang' batin Maira begitu pedih
'bagaimana dengan pernikahan ini, apa Maira harus berpisah? atau bertahan?' batinnya lagi
'lalu bagaimana dengan Rio'
'Maira bingung ayah'
Maira tertunduk pedih, dan kembali terisak, dia benar benar bingung apa yang harus dilakukan nya. Terus meneruskan pernikahan ini? apa itu baik. Tapi jika bercerai, apa ayahnya tidak akan kecewa pada Maira. Melihat Maira menikah dengan dokter Danar adalah keinginan terakhir ayah nya yang memang tidak pernah menuntut apapun dari Maira selama ini. Tapi untuk melanjutkan pernikahan ini apa dia sanggup. Selain usia nya yang masih begitu muda, Maira masih mempunyai impian yang ingin dicapainya.
Dan lagi Rio, bagaimana dengan adiknya itu jika dia tetap melanjutkan pernikahan nya. Dengan siapa adiknya itu akan tinggal, Maira kuliah diibukota sedangkan Rio bersekolah disini. Ya, Maira benar benar bingung, dia sampai menangis dan terisak dengan pilu karena hatinya yang benar benar tidak tentu arah sekarang.
Dokter Danar terlihat menghela nafas nya melihat Maira yang menangis kembali, bahkan dapat dokter Danar lihat punggung Maira yang bergetar hebat. Maira menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya berusaha sekuat mungkin untuk meredam tangis sedihnya, namun terasa percuma.
Maira sedikit terkesiap saat dokter Danar berjongkok disampingnya dan mengusap punggung nya dengan lembut.
"Ayah pasti sedih melihat kamu seperti ini" ucap dokter Danar
"Anda mana tahu rasanya kehilangan" sahut Maira sembari mengusap kasar wajahnya. Suara nya begitu serak dan terdengar penuh.
Maira menatap kesal dokter Danar yang malah tersenyum begitu teduh menatap pusara ayahnya
"Ya, kamu benar" ucap dokter Danar
"Saya memang tidak tahu rasanya kehilangan. Tapi sedikit banyak nya saya tahu arti dari kehilangan itu. Ayah tidak pergi meninggalkan kamu, dia hanya berpindah tempat saat ini, pindah ketempat yang lebih baik lagi. Tempat dimana dia tidak akan merasakan sakit lagi, dan tempat dimana dia menunggu kamu untuk menyusulnya suatu hari nanti"
"Dia ada ditempat itu dan memperhatikan kamu dari sana, dia selalu ada meski tidak lagi terlihat. Dia tahu kegundahan hati kamu, dia tahu apa yang kamu lakukan. Dia mengharapkan doa doa kamu Maira, bukan tangis mu" ungkap dokter Danar dengan suara nya yang begitu tenang yang mampu membuat Maira terdiam sesaat
"Kamu jangan menumpahkan kegelisahanmu disini. Jangan menambah beban nya lagi, kamu tidak tahu seberapa keras dia menghadap Tuhan nya. Kamu hanya cukup duduk diatas sajadah sampai kapanpun kamu mau, adukan semua pada Tuhanmu, maka kamu akan mendapatkan jawaban dari apa yang kamu pertanyakan" tambah dokter Danar lagi
Maira masih terdiam dan menatap pusara ayahnya, benarkah yang dikatakan dokter Danar?
Meski kesal, namun entah kenapa kata kata nya memang mampu masuk kedalam hati Maira.
"Sekarang kita pulang. Ada Rio yang menunggu dirumah" Dokter Danar berdiri dan menatap Maira yang berjongkok ditempatnya
Ya, ada Rio. Maira harus kuat, Maira harus menjadi kakak sekaligus orang tua untuk adiknya itu. Dia tidak boleh lemah, bukankah sedari dulu dia sudah terbiasa hidup mandiri?
....
Tidak terasa seminggu berlalu dengan begitu cepat. Malam ini Maira duduk bersama Rio diteras rumah tuan Beni. Dia sedang mendengarkan keinginan adiknya yang begitu mengejutkan nya
"Jadi kamu ingin tetap tinggal dikota ini?" tanya Maira sekali lagi
Rio mengangguk yakin dan menatap Maira
"Iya kak. Rio ingin sekolah dipondok pesantren saja, selagi baru semester satu" jawab Rio
"Kenapa tidak ikut kakak saja tinggal diJakarta dek, kakak gak bakalan tenang ninggalin kamu sendiri disini" kata Maira begitu keberatan. Bagaimana mungkin dia membiarkan Rio disini
"Kak, Rio udah besar, udah kelas satu SMA, Rio pengen mandiri, sekaligus mewujudkan keinginan ayah dulu yang pengen Rio mondok dipesantren" ungkap Rio dengan wajah sendunya
Maira langsung mengusap pundak adik lelaki semata wayangnya itu dengan lembut. Dia benar benar bingung sekarang.
"Tidak apa apa Maira, kan ada ayah disini. Sesekali ayah pasti jenguk Rio disekolahnya. Ayah juga sudah mencari pondok pesantren yang cocok untuk Rio" ungkap tuan Beni tiba tiba. Maira dan Rio langsung menoleh kearah tuan Beni yang baru keluar dari dalam rumah dengan segelas kopi ditangannya. Rio segera beranjak dan mempersilahkan tuan Beni duduk dikursinya, sedangkan dia beralih kekursi rotan yang ada disebelah Maira.
"Tapi..." ungkapan Maira tertahan karena dia bingung, biaya sekolah dipesantren pasti lebih mahal dari pada sekolah umum lainnya. Apa dia sanggup? Maira sungguh tidak ingin menerima pemberian dari keluarga tuan Beni lebih banyak lagi.
"Jangan khawatir. Rio anak baik, dia pasti bertanggung jawab atas pilihan nya" kata tuan Beni. Maira menoleh pada Rio yang mengangguk dan tersenyum penuh keyakinan.
Maira menarik nafas nya perlahan dan tersenyum dengan terpaksa
"Baiklah, tapi kamu harus janji untuk akan baik baik saja dan tidak akan mengecewakan kakak" pinta Maira
"Iya kak, Rio janji" jawab Rio dengan yakin
"Untuk soal biaya kamu tidak usah khawatir Maira. Ayah kalian sudah mempersiapkan semuanya dengan baik, dia tidak mungkin menelantarkan anak anak nya" ungkap tuan Beni, dan Maira langsung mengernyit bingung mendengarnya
"Maksud ayah? Bukankah semua harta ayah kami sudah habis untuk pengobatan nya dulu?" tanya Maira. Tapi tuan Beni langsung menggeleng dan tersenyum
"Tidak nak, harta yang terlihat memang sudah habis kalian jual, tapi sebenarnya sejak dulu ayah kalian sudah menginvestasikan sebagian harta nya pada bisnis ayah. Dia mempercayakan ayah yang mengelolanya. Dan asal kamu tahu, jika bisnis perhotelan yang ayah miliki adalah hasil dari bantuan ayah kamu. Dia memberikan modal yang cukup besar dulu pada ayah yang belum punya apa apa, dan alhamdulillah bisnis itu berkembang pesat hingga sekarang"
"Ayah kalian tidak ingin ayah mengembalikan modal yang ayah pinjam, dan dia berkata jika uang itu dia serahkan pada ayah sebagai bentuk investasi untuk tabungan masa depan kalian"
"Bukan kalian yang berhutang budi pada ayah, tapi ayah lah yang berhutang budi pada ayah kalian" ungkap tuan Beni panjang lebar.
Maira tertegun dan langsung terdiam. Apa apaan ini? Kenapa seperti ini? Siapa yang bisa menjelaskan padanya sekarang. Maira sungguh bingung
"Hotel tempat kalian menikah adalah hotel atas namamu nak" ungkap tuan Beni lagi. Dan kembali , Maira melebarkan matanya dan terkesiap kaget mengetahui hal itu
"Yang benar saja" gumam nya tak percaya
"Ya, itulah hasil investasi ayah kalian untukmu. Dan untuk Rio, sebuah showroom mobil yang akan menjadi bagian nya nanti. Semua berkas sudah ayah siapkan, semua nya sudah ada dan tinggal tanda tangan dari kalian saja" kata tuan Beni lagi
Maira benar benar dibuat seperti mimpi, kenapa ayah nya tidak pernah bercerita pada nya dulu. Bahkan karena takut menyusahkan ayah nya, Maira sampai harus rela bekerja sampingan demi untuk menutupi kebutuhan hidupnya diibukota. Astaga, dia ingin berteriak frustasi saat ini
"Hei, kenapa kamu melamun?" tanya Tuan Beni pada Maira yang menatapnya dengan wajah bingung
"Jangan terlalu banyak berfikir, jika ayah kalian memberitahu kalian tentang ini sejak lama, kamu tidak akan tahu bagaimana rasanya untuk mensyukuri sesuatu bukan" goda tuan Beni membuat Rio tertawa dan Maira langsung memalingkan wajahnya yang tersipu malu.
Ya, itu benar. Tapi pernikahan nya, Maira sudah berfikir jika dia menerima tawaran pernikahan itu sebagai bentuk balas budi, tapi yang terjadi malah sebaliknya, dan sekarang dia benar benar membenci dokter Danar. Lihat saja apa yang akan dilakukan nya nanti.
....
Sementara didalam kamar tuan Beni, dokter Danar terlihat duduk dikursi rias ibunya. Dokter Danar menatap ibunya yang duduk disisi tempat tidur dengan pandangan tidak suka.
"Lihatlah, seminggu sudah dia menjadi istri kamu, apa yang sudah dilakukannya. Hanya mengurung diri dikamar, itu yang disebut sebagai istri?" ucap ibu dokter Danar dengan kesal
Dokter Danar hanya tersenyum menanggapinya
"Ibu, Maira sedang berduka saat ini. Mungkin dia juga belum bisa menyesuaikan diri dengan keluarga kita" ungkap dokter Danar begitu lembut. Sungguh dia tidak ingin menyakiti hati ibunya.
"Danar, kamu anak laki laki ibu satu satunya, ibu ingin kamu mendapatkan jodoh yang tulus menyayangi kamu, bukan gadis seperti Maira yang tidak ada sama sekali menghormati kamu sebagai suami" kata ibu dokter Danar lagi
Dokter Danar langsung beranjak dan berpindah duduk disamping ibunya. Dia mengambil tangan ibunya dan menggenggam nya dengan lembut
"Danar minta maaf ya bu, tapi tolong beri Danar waktu untuk mengubah Maira menjadi seperti yang ibu inginkan, hanya butuh waktu bu" pinta dokter Danar
"Tiga bulan Danar, tiga bulan. Jika dalam waktu tiga bulan dia tidak juga berubah, maka ceraikan dia" kata Ibu begitu tajam membuat dokter Danar langsung terdiam memandang ibunya.
Tiga bulan?
Apa bisa???
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
🌹Fina Soe🌹
Maira kok kayak gitu ya..egois sekali...yg dipikir cm perasaannya sendiri...
2023-10-06
1
Marifatul ilmiyah
sisakan satu Tuhan cowok kayak dokter Danar untukku untuk jadi jodohku... aamiin hehehe
2023-02-24
0