Maira baru selesai membersihkan dirinya setelah hampir satu jam dia berada didalam kamar mandi hotel itu. Dia keluar dengan sudah memakai piama tidurnya dengan kepala yang masih terlilit sebuah handuk kecil. Pandangan mata Maira langsung tertuju pada dokter Danar yang sedang menggelar sajadah disamping tempat tidur mereka. Pria yang sudah resmi berstatus sebagai suaminya itu terlihat begitu bersih dan sejuk dipandang dengan pakaian muslim yang dia kenakan.
"Sudah selesai, ayo kita berjamaah dulu" ajak dokter Danar menatap Maira yang hanya terdiam dan menatap ragu padanya. Berjamaah? apa itu harus. Batin Maira.
"Saya bisa shalat sendiri. Dokter bisa duluan saja" kata Maira terkesan datar dan dingin.
Dokter Danar hanya tersenyum dan berjalan kearah lemari kecil dimana disana terdapat sebuah mukenah yang sudah disiapkannya untuk Maira.
"Pakailah, tidak ada salahnya kita berjamaah. Setelah ini kamu bisa langsung beristirahat" ucap dokter Danar sembari meletakkan mukenah itu diatas sajadah milik Maira.
Tidak ada pilihan lain, sepertinya dokter ini tidak akan mendengarkan perkataan Maira. Dan mau tidak mau Maira kembali kekamar mandi untuk berwudhu dan setelah itu dia langsung mengenakan mukena nya dan berdiri dibelakang dokter Danar yang kini telah menjadi imamnya. Hal yang tidak pernah dibayangkan oleh Maira selama ini bisa secepat ini memiliki seorang imam yang bahkan dia tidak tahu siapa sebenarnya suaminya ini.
Ada sesuatu yang terasa membuat hati Maira tersentuh saat mendengar suara dokter Danar melantunkan ayat ayat suci Al Quran. Suara nya begitu merdu dan begitu lembut mendayu membuat hati Maira seketika merasa lebih tenang. Dokter Danar begitu khusyuk dalam shalatnya seakan akan dia dan Tuhan nya memang sudah begitu dekat. Dan Maira dapat merasakan itu.
Empat rakaat shalat yang mereka kerjakan tidak begitu terasa bagi Maira yang awalnya meragu, dia benar benar menikmati suara dokter Danar yang dengan khusyuk mengimaminya.
Setelah mengucapkan salam, dokter Danar terlihat membalikkan tubuh nya kearah Maira yang menatap nya bingung. Dokter Danar menjulurkan tangan nya dan Maira malah hanya menatap tangan itu dengan bingung.
"Salim dulu" kata dokter Danar. Maira yang berwajah datar itu kembali menatap tangan dokter Danar. Terlihat enggan, namun entah kenapa tangan nya malah meraih tangan dokter Danar dan di arahkan kewajah nya.
Dokter Danar tersenyum tipis, dia tahu Maira enggan namun dia tidak perduli akan hal itu.
Maira sedikit terkesiap saat dokter Danar menahan tangannya dan meletakkan tangan kiri nya diatas kepala Maira. Ada sebuah ucapan atau sebuah doa yang diucapkan oleh dokter tampan itu , dan Maira tidak tahu apa, karena dokter Danar seperti membisikkan sesuatu diatas kepalanya.
Dokter Danar mengusap lembut kepala Maira dan melepaskan tangan nya membuat Maira langsung menatap wajah teduh yang selalu tersenyum itu.
"Mulai hari ini biasakan untuk shalat berjamaah dengan saya" ucap dokter Danar. Namun Maira malah melengos dan beranjak dari atas sajadah nya.
"Anda ingin mengatur hidup saya?" tanya Maira dengan sinis. Dia membuka mukenah nya dan melipatnya dengan asal. Sungguh rasanya setan didalam hatinya seketika keluar lagi padahal ketika shalat tadi dia sudah merasa tenang.
"Kamu istri saya, dan kamu tanggung jawab saya sekarang" jawab dokter Danar
"Saya memang istri anda, tapi saya tidak ingin diatur. Anda harus ingat itu!" kecam Maira yang langsung pergi ketempat tidur dan mengambil bantal dan selimut dari sana. Dia tidak ingin tidur satu ranjang dengan dokter itu, apalagi harus melakukan malam pertama seperti difilm film yang pernah ditonton nya dulu.
Maira tahu dokter Danar terus memperhatikan nya sembari masih membereskan sajadah mereka, tapi Maira tidak ambil perduli akan hal itu.
Didalam hati Maira, dia hanya ingin membuat dokter Danar kesal dan menceraikan nya sehingga dia tidak akan lagi terjebak didalam pernikahan yang sangat tidak diinginkan nya ini.
Maira langsung merebahkan dirinya diatas sofa dan menutup nya dengan selimut sampai keseluruh tubuh. Namun dia langsung terkesiap saat tiba tiba selimutnya ditarik oleh seseorang.
Maira menatap kesal dokter Danar yang menatap nya dengan wajah datar namun masih terlihat begitu teduh.
"Kamu tidak ingin tidur satu ranjang dengan saya?" tanya dokter Danar
"Seharusnya dokter tahu itu" jawab Maira dengan kesal, tangan nya ingin merebut kembali selimut nya namun dokter Danar langsung mengelak dan menyembunyikan selimut itu dibelakang tubuh nya
"Baiklah, saya yang disini, dan kamu yang diranjang. Tubuh kamu bisa sakit jika tidur disini" ujar dokter Danar. Maira terdiam sejenak dan langsung mendengus gerah
"Tidak usah sok perhatian pada saya" ketus Maira, namun dokter Danar malah menggeleng dan tersenyum tipis
"Tidak, saya hanya mengingatkan saja. Jika kamu sakit maka saya yang repot karena harus memeriksamu" jawab dokter Danar yang terlihat menjengkelkan dimata Maria
Maira langsung beranjak dan berjalan kearah tempat tidur dengan kaki yang dihentakkan nya kelantai, dan dokter Danar hanya tersenyum saja melihat kelakuan istri kecilnya itu.
Dokter Danar merebahkan tubuh nya yang lelah diatas sofa yang berukuran kecil itu, bahkan kaki nya harus dia tekuk agar tubuhnya bisa berbaring dengan baik. Ya, sungguh menyedihkan.
Dan Maira hanya menatap nya dengan sinis dari tempat tidurnya. Mungkin jika mertuanya tahu, Maira pasti akan dicaci maki oleh mereka, apalagi oleh ibu dokter Danar yang memang tidak menyukai nya, tapi apa perduli Maira. Dia rasa dia sudah cukup baik dengan mengorbankan masa depan dan hatinya untuk dokter Danar.
Maira mulai memejamkan matanya ketika rasa lelah dan kantuk yang kini menghadangkan nya, meskipun hatinya kini begitu gelisah dengan keadaan ayahnya yang tidak ingin ditemani.
Maira memang jarang berkumpul dengan ayahnya karena dia kuliah diibukota, dia terbiasa hidup sendiri tanpa diatur atau dikekang oleh siapapun termasuk ayahnya. Sehingga dia tumbuh menjadi gadis yang sedikit keras kepala.
....
Hari sudah beranjak subuh, dan Maira baru saja selesai melaksanakan kewajiban subuhnya. Ya, meskipun dia harus kesal karena dokter Danar mengganggu tidurnya yang rasanya baru terlelap sebentar.
Saat baru selesai melipat mukenah nya, mereka dikejutkan oleh suara ketukan pintu yang terdengar tergesa. Dokter Danar segera beranjak dan membuka pintu kamar mereka. Dan ternyata pelayan hotel yang mengetuk pintu, wajah nya terlihat sedikit panik.
"Maaf mas, mas dan mbak ditunggu dikamar sebelah" ucap pelayan itu membuat Maira yang tadi nya tampak tidak perduli kini langsung menoleh kearah pintu.
"Ada apa?" tanya dokter Danar, namun belum lagi pelayan itu berkata apa apa, Maira sudah berlari menerobos mereka untuk menuju kekamar ayahnya. Dia tampak benar benar panik, entah apa yang terjadi pada ayahnya.
"Ayah mbak Maira sudah meninggal mas" ungkap pelayan itu dengan wajah iba. Dokter Danar langsung terkesiap mendengar nya
"Ya Allah, Innalillahi wainnailaihi rajiun" gumam nya
"Yasudah mbak, terimakasih" kata dokter Danar. Dia langsung menutup pintu dan berlari menyusul Maira yang telah lebih dulu tiba dikamar ayahnya.
Maira langsung menerobos masuk kedalam kamar. Dapat dia lihat adiknya sudah menangis meraung disamping ayahnya yang sudah terbujur kaku dan pucat pasih. Sedangkan tuan Beni yang berdiri disamping nya tampak tertunduk sedih.
Kaki Maira seketika lemas tidak bertulang, dia berjalan tertatih dan begitu linglung menuju tempat tidur ayahnya diikuti oleh dokter Danar yang baru tiba dikamar itu.
Dokter Danar langsung mengecek kembali keadaan ayah mertua nya yang terlihat kaku dan menguning.
Dan dia langsung menggeleng pelan pada Maira yang menatap nya penuh harap.
Seketika saja, air mata Maira langsung mengalir deras meratapi kepergian ayahnya
"Ayah!!!!!!" panggil Maira dengan perasaan yang begitu hancur. Dia memeluk tubuh ayahnya yang sudah tidak akan mungkin lagi untuk bergerak
"Ayah bangun ayah"
"Kenapa ayah tega ninggalin kami. Kenapa ayah tega!! huuuuuu....... Ayah" isak tangis Maira begitu pilu. Dia menangis meraung dan mengguncang kuat tubuh ayahnya
"Bangun ayah bangun! Maira udah nurutin kemauan ayah, tapi kenapa ayah malah ninggalin Maira" ungkap nya lagi. Maira benar benar tidak menyangka jika ayahnya akan begitu cepat pergi, padahal malam tadi ayahnya masih bisa berbicara pada nya
"Bangun ayah!!" teriak Maira begitu pilu. Dia menciumi wajah ayahnya dan memeluknya dengan erat seakan tidak ingin membiarkan ayahnya pergi secepat ini
"Ikhlaskan Maira" kata dokter Danar sembari mengusap lembut pundak Maira, namun Maira tidak mendengarkan nya. Dia masih terus menangis meratapi kepergian ayahnya. Kenapa harus secepat ini ayahnya pergi. Maira tahu ini akan terjadi, tapi tidak secepat ini, dia benar benar belum siap kehilangan.
"Sabar nak, ikhlaskan. Ayah mu sudah tenang sekarang" kata tuan Beni yang mencoba menenangkan Maira
Maira masih menangis dengan wajah hancurnya. Dia kini menatap Rio adiknya yang juga tidak kalah hancur, bahkan Maira tahu jika rasa kehilangan Rio lebih besar dari pada dia karena Rio yang selama ini tinggal dan hidup bersama ayahnya lebih lama. Dia langsung beralih dan memeluk adiknya yang menangis terisak. Mereka saling memeluk dan berusaha untuk menguatkan satu sama lain. Sementara dokter Danar langsung menutup tubuh pak Seno dengan sebuah selimut.
"Ikhlaskan dan relakan nak. Ayah kalian sudah tenang disurga nya Allah, tidak baik jika meratapinya terus. Kita harus segera mengurus pemakaman nya sekarang" ujar tuan Beni sembari mengusap lembut bahu Rio yang langsung mengangguk dan melepaskan pelukan Maira.
"Kita pulang duluan atau mau menunggu ambulan datang kemari?" tanya dokter Danar pada Maira dan Rio
"Rio mau nunggu ayah saja mas" jawab Rio
"Yasudah, yang sabar ya. Harus kuat, kamu anak laki laki" kata dokter Danar lagi, dan Rio hanya mengangguk sembari mengusap air matanya
Maira mengusap air mata yang tidak ingin berhenti mengalir dari matanya. Perasaan nya sungguh tidak menentu saat ini. Dia belum bisa menjadi anak yang baik untuk ayahnya, tapi ayahnya sudah pergi secepat ini. Dan lagi apa yang harus dia lakukan setelah ini pun Maira tidak tahu.
Fikiran nya benar benar kacau, rasanya dia seperti tidak bisa berfikir dengan jernih sekarang. Yang ada didalam hatinya adalah kenapa takdir hidupnya harus setragis ini. Apa belum cukup dia kehilangan ibunya? cintanya? masa depan nya? dan sekarang ayahnya????
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 147 Episodes
Comments
Marifatul ilmiyah
aaahhhh tisu mana tisu 😭😭😭😭
2023-02-24
0