“Ben sudah tidur sama ayahmu! Jangan dipindah, kasihan kalau harus bangun lagi!” sambut Naura ketika Rainer tiba di rumahnya.
“Apa demamnya sudah turun, Bun?” tanya Rainer, padahal ia ingin sekali melihat putranya yang sedang tidak enak badan.
“Sudah. Sepertinya dia kelelahan main sepeda.” Bunda Naura tersenyum tipis, mengerti kekhawatiran putranya.
“Bangunin aku kalau dia panas lagi,” pesan Rainer sembari berbalik menunggu istrinya yang sedang membangunkan Lula. Anak perempuannya itu ketiduran di dalam mobil. Perjalanan yang cukup memakan waktu membuat Lula kelelahan. Dan mau tidak mau dia harus membangunkan Lula, karena tak kuat lagi untuk menggendong bayi besarnya itu.
“Oma …” panggil Lula, setengah sadar dia memeluk tubuh Naura.
“Ugh, cantiknya kamu, Sayang! Kamu kelelahan ya? Tidurlah kita akan bicara besok pagi,” kata Naura lembut seraya mengusap punggung Lula lembut.
“Zahira masuk dulu, Bun!” pamit Zahira sembari mencekal tubuh Lula yang nyaris terjatuh. Dia lekas meminta bantuan Rainer, supaya membantu membawa Lula masuk ke kamar yang dulu hingga sampai saat ini masih menjadi milik mereka berdua ketika menginap.
Sebenarnya bisa saja Lula menempati kamar Zian, karena ditinggal pemiliknya pergi kuliah atau, ke kamar Reina yang ikut tinggal bersama sang suami. Tapi, Rainer enggan meninggalkan kamar yang menyisakan banyak kenangan itu.
Tiba di dalam kamar, Rainer lekas membantu Zahira merebahkan tubuh Lula. “Ai, kita berdua bisa mengalah, tidur di kamar Zian.” Rainer berusaha mencegah saat zahira mulai merebahkan tubuhnya di samping Lula.
“Tidak, aku akan tidur dengan Lula selagi itu masih bisa aku lakukan,” sahut Zahira. Melihat napas Lula mulai tenang, Zahira beralih menatap ke arah Rainer.
“Kamu percaya dengan alasan Lula menerima tawaran Frans? Bukankah itu janggal?” tanya Zahira, mendadak curiga suaminya ikut terlibat dalam persekongkolan yang direncanakan Frans untuk menjerat putrinya.
Rainer beralih menatap Lula, ia sendiri masih tidak percaya dengan alasan yang diberikan Lula. Tapi, benar-atau tidaknya mungkin dengan menikahkan mereka berdua adalah jalan yang terbaik untuk menuti semuanya.
“Kamu tahu sendiri, Lula tidak pernah dekat dengan laki-laki, kamu pikir aku percaya?!” kata Rainer membuat Zahira menghela napas lega.
“Kakau begitu! Kenapa kamu tadi diam saja, Seharusnya kamu menolak permintaan Lula?!” protes Zahira, dia seolah mengingatkan atas sikap suaminya yang menyetujui pernikahan Lula.
Telunjuk Rainer berada tepat di bibirnya sendiri, memberi isyarat pada sang istri yang biasa dipanggil ‘ai’ itu supaya memelankan suaranya. Dia khawatir sang ayah akan mengetahui pernikahan Lula dan Frans. Tentu dia belum menemukan alasan kuat supaya tidak membuat sang ayah marah. “Ai, aku rasa ini karma untuk kita!” celetuknya.
“Karma!?” desah Zahira.
“Ya! Karma is real! Apa yang kamu tanam maka itu pula yang akan kamu tuai. Kita menikah muda, dan mungkin Allah ingin kita merasakan apa yang orang tua kita rasakan dulu!”
“Nggak gitu juga konsepnya Rain!” Zahira mulai emosi. “Seharusnya itu dijadikan pelajaran, supaya keturunan kita terhindar dari pernikahan dini. Bukan menganggap ini karma dan mengizinkan mereka menikah!”
“Sudahlah, kita terima saja! Kamu tahu kan, kalau kita membantu kesulitan orang lain, suatu hari nanti, Allah akan membukakan jalan untuk masalah kita. Anggap saja Lula sedang menanam kebaikan. Dan suatu hari nanti dia akan menuai untuk dirinya sendiri. Kamu lupa sekeras apa kita menentang pernikahan kita dulu? dan sekarang, kita sudah saling mencintai, bahkan kamu enggan pisah dariku meski satu malam saja. Aku rela jam tiga pagi mengemudi demi kamu bisa tidur dengan nyenyak!” ungkapan Rainer membuat Zahira beralih kembali memandangi Lula.
“Kita berdoa, yuk! Supaya pernikahan mereka akan tetap berlanjut, Lula akan menikah sekali dalam hidupnya. Sama seperti kita!” Kata Rainer, berusaha mengusir kegelisahan yang melanda istrinya.
“Enggak!”
Kedua orang itu tersentak saat mendengar penolakan dari bibir Lula. Gadis itu mendudukan tubuhnya seraya menatap kedua orang tuanya bergantian. Dia tidak ingin menikah dengan pria itu untuk selamanya. Dia inginnya hanya enam bulan saja.
“Emang ayah mau Lula menikah dengan pria seumuran Ayah?!” mereka bertiga saling tukar pandang. “Tidak, kan Yah?” tanya Lula.
“Enggak papa, biar nanti cepet dapat harta warisan! Kamu bertahan dulu! Ayah yakin usia Frans tidak akan panjang!” kata Rainer diselingi tawa kecil. Pasti sahabatnya itu akan memakinya jika dia berkata seperti itu.
“Lula nggak butuh warisan dari daddy Frans, Yah!” tolak Lula.
Meski Rainer hanya berucap candaan itu membuat Zahira kesal. Bisa-bisanya dia mengorbankan Lula demi warisan. Mereka masih bisa mencukupi kebutuhan Lula, bahkan lebih dari cukup dari apa yang dibutuhkan anak itu.
“Udah-udah sekarang lebih baik kamu tidur!” perintah Rainer, dia yang paham Lula tengah dirundung kelelahan lekas merebahkan tubuhnya di sofa yang ada di dalam kamar itu. Dia tidak mungkin keluar kamar, sengaja menghindari pertanyaan dari ayah dan bunda tentang Lula. Jangan sampai mereka mendengar pernikahan Lula dari orang lain, sebelum mereka sendiri yang menjelaskannya.
Zahira ikut merebahkan tubuhnya di samping Lula. Dia memandangi putrinya yang tengah berusaha memejamkan mata.
“Lula, mungkin ini malam terakhir kita bisa seperti ini. Tidur bersama, saling pelukan!”
“Why, Bun? Besok pagi kita pulang, kan? Kita masih bisa seperti ini. Aku akan meminta ayah untuk pindah ke kamarku.” Lula mengakhirinya dengan tawa kecil.
“Lula, Daddy Frans sudah mengambil alih tanggungjawabmu dari kami. Mulai hari ini, dia yang lebih berhak atasmu, tentunya dia akan membawamu ke rumahnya, tinggal bersamanya dan jarak akan memisahkan kita. Lula, bunda pastikan itu tak akan mengurangi rasa sayang bunda ke kamu.”
Lula terdiam, berusaha memahami ucapan sang bunda. “Kalau begitu aku akan tetap tinggal bersama bunda. Aku tidak ingin pergi dari rumah ayah.”
Zahira tersenyum simpul, “Bunda ingin selalu seperti ini. Tapi bunda akan berdosa jika terus menahanmu untuk tetap bersama kita.”
Sejauh ini Lula tidak pernah memikirkan perpisahannya dengan ayah dan Bunda. Perlahan dia sadar, kalau keputusan yang sudah diambil otomatis akan membuatnya kehilangan waktu bersama mereka. Siapkah aku jauh dari ayah dan bunda?
Lula memiringkan tubuhnya, menatap Rainer yang sedang diam seraya menatap langit-langit kamar. Perasaan bimbang menghampiri Lula saat mendapati raut kesedihan yang ditunjukan sang ayah.
“Apa aku batal nikah saja ya, Bun!” lirih Lula, pertama kali dia merasa sudah salah mengambil keputusan.
“Tetaplah pada keputusanmu! Bunda yakin kamu bisa menghadapinya, sebuah keputusan yang kamu ambil tentu akan menerima konsekuensinya. Baik itu baik maupun buruk.”
“Tapi daddy hanya menganggapku putrinya. Dia tidak pernah menganggapku wanita dewasa. Lagian usianya cukup dewasa! Tidak etis kan, kalau kita jalan berduaan sebagai pasangan!”
Zahira memejamkan mata, “itulah alasan kenapa bunda selalu meminta padamu untuk memikirkan baik-baik setiap keputusan yang hendak kamu ambil! Lain kali jangan gegabah!”
Benar yang dikatakan sang bunda, tadi pagi Lula hanya memikirkan uang lima juta perhari tanpa memikirkan jika keputusannya itu bisa membawanya pergi lebih cepat dari rumah sang ayah.
Rasanya Lula ingin kembali di jam 9 pagi di mana dia hendak mengambil keputusan itu. Dia ingin menolak permintaan daddy Frans mengatakan tidak pada pernikahan dini, sayangnya semua sudah terjadi, dia tidak bisa kembali di waktu itu, Lula hanya bisa menerima konsekuensi dari keputusan yang sudah diambil.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 107 Episodes
Comments
Abie Mas
konsekuensi
2023-02-04
1
@Ani Nur Meilan
Dasar Reiner mertua durhakim.. Nyumpahin menantunya cepat mati 🤣🤣🤣😂😂😂
2022-12-30
0
Moms Rafialhusaini 🌺
gara² tergiur dengan uang 5 juta 😂😂
2022-12-17
0