Pintu kamar kembali terbuka. Aya menoleh ke sana. Tapi sebelum dia bicara, suara berat papi bertanya. "Ada apa sih teriak-teriak terus. Semua orang di rumah bisa budeg gara-gara kamu!"
Aya diam. Sebandel apapun, Aya tak berani membantah kata-kata papi. Dia tak sedekat itu dengan papi. Ada rasa sungkan dan penyesalan dalam di hatinya. Menyadari banyak kesalahan yang merugikan papi dan membuat pria tua itu sakit berkali-kali.
"Katakan ada apa!" ulang papi lagi.
"Aya gak mau lihat dia di sini!" jawab Gayatri sambil menunduk. Tapi suaranya tetap terdengar tegas.
"Dia meneleponmu sejak tadi, tapi tidak diangkat. Makanya dia ke sini. Katanya kau mau meminta syarat tambahan," jelas papi.
"Ponsel Aya lowbet, jadi mati." Aya menemukan alasan dengan cepat.
"Kalau begitu, bicarakan persyaratanmu baik-baik. Jangan seperti orang tak beradab yang terus berteriak."
Papi berjalan ke pintu. Tapi sebelum menutup pintu, berbalik lagi. "Sekali lagi teriak, Papi kunci kamu di gudang!" ancam papi.
Aya hanya bisa diam dan menggigit bibirnya. Papi tahu dia takut tikus dan ruangan sempit serta gelap, makanya mengancam dikurung di gudang.
Setelah pintu ditutup, Aya duduk diam di tepi tempat tidur. Dia lupa tentang Dewa yang masih berdiri di dekat pintu. Yang ada di kepalanya saat ini adalah bayangan gudang gelap serta tikus-tikus berkeliaran.
Bahunya mengedik ngeri tanpa disadari. Air matanya jatuh begitu saja. Kakinya naik dan dipeluk dengan kepala menunduk.
Dewa bisa melihat bahwa ancaman calon mertuanya memberi dampak besar pada gadis itu. Gadis yang semula garang, jadi seperti anak kecil yang ketakutan. Dewa mendekati tempat tidur dan duduk di samping tempat tidur.
"Jangan khawatir, aku tidak akan membiarkanmu dikurung di gudang," bujuk Dewa lembut.
Tapi Gayatri tak menggubris. Dia tenggelam dalam bayangan dirinya sendiri. Dewa bisa lihat tubuh itu bergetar. Hatinya luluh.
"Apa yang sebenarnya terjadi padanya? kata gudang saja bisa membuatnya sangat ketakutan hingga gemetar?"
Dewa menarik selimut yang ditumpuk ditengah kasur dan menyelimuti Aya. Dipeluknya gadis itu lembut.
"Aya, dengarkan kata-kataku. Mulai sekarang, aku akan jadi pendukungmu. Apapun syaratmu, akan kupenuhi. Tak akan kubiarkan siapapun mengancammu. Tidak juga Om Sangaji."
Kata-kata Dewa meluncur begitu saja. Dia sendiri terkejut dengan reaksinya setelah melihat ketakutan Aya yang nyata. Hatinya merasa sakit melihat gadis garang itu tiba-tiba seperti kucing disiram air.
Tangis Gayatri pecah. Tubuhnya yang semula hanya gemetar, kini terguncang hebat. Dewa memeluk punggungnya makin erat. "Gadis ini pasti memendam sesuatu begitu lama dan tak ada yang mengerti," pikir Dewa trenyuh. Dibiarkannya Aya menangis hingga puas beberapa waktu.
"Maaf ...." Aya menegakkan tubuh. Menyingkirkan lengan Dewa di punggungnya dan berjalan ke kamar mandi.
Dewa hanya melihatnya sekilas. Kemudian mengetik pesan di ponselnya. "Cari tahu tentang calon suaminya yang dulu!" Wajahnya sekaku dinding monumen.
Aya keluar dari kamar mandi dengan wajah sedikit basah. Nyata sangat kelelahan secara emosional. Mata kuyunya yang teramat bengkak, akan sulit diakali oleh MUA profesional sekalipun. Gadis itu duduk di kursi, menjauh dari Dewa.
"Katakan padaku apa syaratmu." Dewa mengulangi perkataannya.
"Bantu aku menghancurkan Reynald dan keluarganya, seperti dia menghancurkan dan memfitnah aku dan keluargaku!" Aya berkata dengan tegas dan jelas. Dia telah menemukan kembali ketenangannya.
"Siapa itu Reynald?" tanya Dewa.
"Pria yang ingin menikahiku tahun lalu!" jawab Gayatri tanpa ragu.
"Ada hal yang tak kumengerti di sini. Yang kudengar, dia adalah calonmu sendiri. Tak ada yang menjodohkan kalian. Lalu kenapa kau lari dua hari sebelum menikah?" tanya Dewa.
"Karena hari itu semua terbongkar!" Aya menceritakan apa yang terjadi pada Dewa.
Setelah sekian waktu, Dewa akhirnya mengerti sebab musabab gagalnya pernikahan itu. "Kenapa kau tidak katakan saja pada keluargamu, alih-alih melarikan diri dan jadi tertuduh?" tanya Dewa heran.
"Karena dia mengancam akan memperkarakanku, jika pernikahan itu batal," jawab Aya.
"Kau pasti berpikir pendek saat itu. Aku mengerti kenapa kau jadi tak bisa berpikir jernih." ujar Dewa.
"Baiklah. Mari kita balaskan keluarga penipu itu. Tapi tentu saja itu bukan hal mudah. Aku butuh banyak waktu untuk melakukan tugasku. Sementara hari pernikahan kita tinggal seminggu kurang." Dewa mencoba menawar persyaratan Gayatri.
Tapi gadis itu menggeleng. "Tidak!" jawabnya teguh. "Waktumu ya hanya enam hari ini! Kalau tak bisa, maka jangan salahkan aku menolak menikah denganmu!"
"Kau orang yang keras dan kaku. Apa kau tak menyesal jika tak jadi menikah denganku?" tanya pria itu iseng.
"Kau bukan siapa-siapa. Hanya pria bodoh yang tak kukenal!" jawab Gayatri dingin.
Dewa merasakan sakit di ujung hatinya mendapatkan julukan pria bodoh. Tapi kedua sudut bibirnya tertarik membentuk senyuman. "Gadis yang sangat menarik," batinnya.
"Bagaimana jika aku juga kalah seperti Bandung Bondowoso? Apa kau tak takut kukutuk jadi arca?" goda Dewa.
"Apa kau punay kemampuan sakti seperti dia?" Gayatri balik bertanya dan menoleh pada Dewa.
Dewa menggeleng dengan senyuman di wajahnya.
"Kalau begitu, jangan mengangkat dirimu terlalu tinggi!" ujar Gayatri pedas. "Kalau kau sehebat itu, maka waktu untuk syaratmu bukan seminggu, tapi hanya satu malam!"
Dewa meringis mendengar ucapan Gayatri. "Dia sangat cerdas! Tapi kenapa tidak bekerja dan hanya berdiam saja di rumah? Menarik diriatau karena terlalu sering dihina dan dicemooh orang di luar?" batin Dewa. Gayatri, calon istrinya ini masih jadi misteri baginya.
"Kau benar-benar tidak bisa menegosiasikan jangka waktu persyaratanmu? Bukankah pembalasan dendam masih bisa dilakukan setelah kita menikah?" tawar Dewa lagi.
"Kalau tak mampu, maka menyingkirlah! Tarik lamaranmu! Dan bawa kembali apapun yang kau kirim ke sini!" balas Gayatri kasar.
Dewa menghempaskan napasnya kuat-kuat. "Kau sedang mengujiku, bukan? Ingin melihat apakah aku mundur atau tidak dengan tantangan yang tak masuk akal ini? Biar kukatakan padamu. Sekali aku sudah memutuskan, maka tak ada yang bisa menghentikanku. Itulah janji seorang Dewa!"
Pria itu berdiri dari tempat tidur dan melangkah ke pintu. Dia tidak menoleh ke belakang lagi. Langsung keluar dan pintu kamar itu kembali dikunci.
Tubuh Gayatri yang tadi duduk tegak dengan kaku, sekarang melengkung. Pertahanannya sudah mencapai batas. Dia tak terlalu suka bersikap kasar, tapi hanya itu cara menjauhkan para pria yang ingin coba-coba.
*
*****
Setelah keluar dari kamar Aya, Dewa langsung menuju ruang tamu. Di sana masih ada kedua orang tua Gayatri. "Om, saya pamit dulu," kata Dewa.
"Bagaimana pembicaraan kalian? Apakah syaratnya memberatkan?" tanya mami cemas.
"Akan kucoba memenuhinya." Dewa mengangguk pamit. papanya Gayatri mengantar calon menantunya itu hingga ke depan pintu.
Di ruang tamu, mami kembali menangis. "Apakah pernikahan ini akan gagal lagi?" isaknya sedih. Dia pesimis rencana ini akan berjalan lancar, melihat kuatnya penolakan Aya.
"Kenapa tidak dibatalkan saja sih, Pi? Nanti kita kembali menanggung malu gara-gara Mbak Aya!" sungut Radit.
"Lah, Dewanya mau kok. Kau lihat sendiri tekad di wajahnya itu. Dia sama kerasnya dengan Mbakmu. Apapun syarat Aya, dia pasti tertantang untuk mencoba dulu, baru menyerah. Dia bukan orang yang terbiasa kalah!" beber papi.
"Tapi, kalau nanti ternyata gagal, trus pernikahan juga gagal karena Mbak Aya menolak. Apa kita tak akan dibuat malu lagi?" protes Radit masih tak senang,
"Itulah sebabnya papi dan mami merencanakan pernikahan sederhana saja. Jika acara itu sukses, baru kita adakan resepsinya," jelas papi lagi.
"Yah ... terserah papi dan mami lah. Radit cuma kasih pertimbangan doang."
Papi mengangguk-angguk dan terus menepuk-nepuk tangan mami, untuk membujuknya agar berhenti menangis.
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
fifid dwi ariani
trus semangat
2023-07-28
1
Rosnila Sari
kalo calon suaminya se keren dewa gitu, masak sih aya mo kabur juga😇🤭ntar nyesel loh aya
2022-12-08
1
Ana Wiwid
dewa sanggup kah dengan syarat nya aya.....
2022-12-04
1