Gayatri memandangi ponsel. Dia sedang memikirkan sesuatu. "Maukah dia bekerja sama?" pikirnya.
Pesan lain kembali masuk. "Apa kau sedang sibuk?" tanya Dewa.
"Biar kucoba saja. Kalau dia tak setuju, maka biarkan dia yang mengakhiri rencana ini." Gayatri telah bertekad bulat.
Dia mulai mengetik untuk membalas chat pria itu. "Aku punya syarat khusus untuk menikahiku. Jika kau bersedia dan mampu, maka kita akan menikah. Jika tidak, silakan tarik lagi lamaran dan semua hantaranmu!" Kemudian gadis itu menekan tanda send.
Dia tak lagi mempedulikan ponselnya. Setidaknya, dia sudah mengatakan maksudnya. Dia juga tak ingin dipersalahkan jika rencana pernikahan ini kembali batal.
Dilihatnya makanan yang diantarkan mami. Gudeg nangka, sambal goreng ati, krecek dan sambal tomat. Dengan lahap dia makan. Mengamuk dan nangis sepagian sudah menghabiskan energinya. Dia butuh asupan makan untuk menambah tenaga.
Selesai makan, dilihatnya lagi ponsel. Ternyata pria itu sudah membalas pesannya sejak tadi.
"Kenapa aku merasa kau sedang mengajakku berkonspirasi?" tanya pria itu tanpa menjawab poin penting pesan Gayatri.
"Terserah kau mau menyebutnya bagaimana. Jika kau bersedia, maka akan kukatakan. Jika tidak, lupakan saja keinginanmu menikahiku!" balas Gayatri tegas.
Dia sudah belajar dari pengalaman. Tidak akan tertipu dan mudah takluk pada pria manapun yang mencoba mendekatinya.
"Apakah aku harus menyetujui kesepakatan yang aku belum tahu tentang apa? Itu seperti membeli kucing dalam karung!" pesan pria itu.
Tapi Gayatri bisa melihat pria itu masih terus mengetik. Jadi dia menunggu.
"Bagaimana kalau setelah kusetujui, kau malah mengajakku bunuh diri bersama sebagai bentuk protesmu atas perjodohan ini?" tanya pria itu.
Mata Aya melebar membaca pesan yang di luar imaginasinya. Jarinya segera mengetik lagi.
"Imaginasimu liar juga. Apa kau biasa di hutan?"
Aya jelas gondok. Sudah berapa pesan berbalasan, tapi pria itu seperti sengaja membahas hal yang tidak penting. Dia merasa dipermainkan.
Pesan berikutnya adalah emot tertawa lebar yang bikin dia semakin sebal. Dilemparkannya ponsel ke tempat tidur. Aya merasa sudah tak ada harapan. Tak ada siapapun yang akan membantunya membalaskan dendamnya.
Matanya kembali mengamati teralis jendela kamar. Dia tadi sudah mencari-cari obeng di laci meja kamarnya. Tapi yang ditemukannya hanyalah kotak-kotak pernak-pernik dan asesoris yang tersusun rapi.
Barulah dia menyesali kesalahan dalam memilih hobby. Harusnya dia menggilai segala macam peralatan tukang, agar punya alat untuk mencongkel teralis! Dipegangnya jepit rambut favorit karena keindahannya. Tapi sekarang benda itu tak lebih berharga dari sebuah obeng. Dengan kesal, dilemparnya jepit itu ke sudut kamar.
Dia kembali ke tempat tidur dan membaringkan tubuhnya. Menelentang memandang plafon rumah. "Apa aku harus naik ke atas plafon? Lalu keluar dari genteng?" pikirnya.
Dirasakannya getaran ponsel yang tak berhenti. Dengan malas diraihnya lagi, untuk melihat pesan siapa yang masuk. Sebelah alisnya naik melihat deretan pesan dari pria itu. Dibukanya ponsel itu lagi. Bukan karena dia menunggu balasan pesan atau tertarik pada pria itu. Tapi karena tak ada lagi yang bisa dilakukannya.
"Tanpa membaca pesan, jari Gayatri mengetik cepat. "Apa kau tahu cara naik ke plafon? Aku mau melarikan diri." Pesan itu kemudian dikirim dan ponsel itu kembali diletakkan di kasur.
Gayatri memiringkan tubuh. Bergelung, meringkuk seperti bayi, dengan dua tangan di tekuk ke dada. Dia merasa sangat putus asa. Juga sedih, karena tak ada seorangpun yang mengerti dirinya.
Kemudian didengarnya sayup-sayup suara jeritan melengking. Dia mencari-cari di mana tadi dia meletakkan ponsel. Tempat tidur itu terlalu kacau. Semua sudut seprai sudah terlepas dan mengumpul di tengah kasur.
Dia masih mendengar jeritan melengking itu tiga kali lagi sebelum akhirnya menemukan benda yang super berisik itu dan segera menerima panggilan masuk yang memaksa dari Dewa.
"Berisiiikkk!" teriak Aya begitu panggilan itu terhubung.
"Siapa yang berisik? Aku bahkan belum bicara!" protes Dewa.
Panggilanmu membuat ponselku menjerit dengan berisik!" Aya membalas dengan sewot. Tapi gadis itu justru mendengar suara tawa renyah Dewa dari seberang sana. Wajahnya ditekuk dan bibirnya mengerucut, cemberut.
"Ternyata kau lucu juga. Kau yang punya ponsel dan menyetel volume sendiri, tapi dengan santai menyalahkanku!" Pria itu masih tertawa kecil.
"Kalau tidak penting, jangan telepon aku!" ketus Aya.
"Apa kau tidak membaca pesan-pesanku?" tanya Dewa.
"Pesanmu tidak penting. Aku tak mau menghabiskan waktu membaca yang tak penting!" Aya masih mempertahankan sikap ketusnya.
Dewa mendesah dari seberang sana. "Kau punya kebiasaan buruk ya. Aku akan mendidikmu jadi wanita mandiri, anggun dan berkelas, nanti!" celoteh Dewa.
"Dalam mimpimu!" sergah Aya sebelum memutuskan sambungan telepon.
"Menyebalkan!" teriak Aya keras. Dia kesal sekali mendengar kata-kata Dewa tadi.
"Kau pikir kau siapa!" teriaknya pada ponsel yang kembali menjerit-jerit.
Aya sedikit terkejut. Tapi dengan cepat ditolaknya panggilan dan menyimpan ponsel itu di bawah bantal. Namun, bantal tak dapat menghalangi Dewa menelepon. Tapi Aya sama sekali tak peduli. Ditutupinya telepon itu dengan bantal, selimut, seprei dan bed cover.
Lima menit kemudian., ponsel itu benar-benar berhenti berbunyi, Aya tersenyum tipis "Akhirnya kau menyerah juga!" sinisnya.
Tak lama sesudah itu, terdengar suara kunci pintu kamar diputar dari luar. Aya menoleh ke pintu. Dia tak berusaha sembunyi lagi. Strateginya sudah ketahuan. Mami pasti sudah mengantisipasi dan membawa dua security lagi.
"Ada apa lagi sih, Mi?" sambutnya malas. Dibaringkannya tubuhnya membelakangi pintu. Tak ingin melihat mata mami yang sedih.
"Karena kau tak mengangkat panggilan teleponku, maka aku minta ijin Om Sangaji untuk masuk dan melihatmu."
Mata Aya melotot. Itu bukan suara Mami, Papi, maupun Radit adiknya. "Tak mungkin dia!"
Aya berbalik dengan cepat. Dilihatnya Dewa berdiri di balik pintu yang sudah kembali ditutup.
"Mau apa kau di sini?" tanya Gayatri dengan kasar.
"Tante Ajeng sangat lembut. Kenapa kau sekasar ini?" tanya Dewa.
"Kau tidak mempersilakanku duduk?" tanya pria itu lagi.
"Tak ada tempat duduk untukmu!" tolak Aya. "Katakan kau mau apa. Jika dalam sepuluh detik tak ada apapun yang berarti, silakan keluar!" usir Aya tegas.
"Bukankah terakhir kali kau menanyakan cara untuk naik plafon? Aku akan mengajarimu," sahut Dewa cepat. Tak sampai sepuluh detik, dia sudah mengatakan tujuannya menemui Gayatri di kamar.
"Apa kau gila?" tanya Gayatri geram.
Pria itu menunjukkan wajah kebingungan. "Siapa yang gila? Aku tadinya mau memberi tahu caranya lewat telepon, tapi kau tak mau menerima panggilan teleponku. Mumpung aku masih di sini, maka lebih baik kukatakan langsung saja. Jadi kau bisa naik plafon dengan aman," sahut pria itu dengan ekspresi sangat serius.
"Dasar gila! Mamiiiiii ... bawa orang gila ini keluar!" teriak Aya nyaring.
*********
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 84 Episodes
Comments
tehNci
Kayaknya pernikahan kali ini mah berhasil deh. Sepertinya si Dewa bakalan bisa mengatasi kemanjaan dan ketidakpedulian si Aya dan mengubahnya jadi wanita mandiri
2024-01-10
1
Kustri
yaaa siapa yg gila coba😂😂😂
2023-10-20
1
fifid dwi ariani
trus sabar
2023-07-28
1