Akhirnya Safira tidak jadi berbelanja. Dia hanya membeli komik di toko buku yang berada di dalam Mall tersebut.
Rasa sedih dan kecewa pasti dirasakannya. Hanya saja Safira sangat pintar merahasiakannya. Mungkin dia tahu jika akan menjadi pertengkaran kedua orang tuanya apabila dia merajuk seperti tadi.
"Kita pulang saja Pa. Safira berbelanja bersama Mama saja," ucap Safira lirih dan terdengar kecewa di telinga Gavin.
"Ya sudah, yuk kita pulang. Atau mau makan lagi sebelum pulang?" tanya Gavin sambil menggandeng tangan Safira dan berjalan beriringan.
"Makan di rumah saja Pa," jawab Safira dengan malas.
"Ya sudah, nanti Papa pesankan makanan kesukaan kamu saja ya. Kita delivery saja makanannya," ucap Gavin sambil mengayun-ayunkan gandengan tangan mereka bermaksud agar Safira kembali ceria dan tidak bersedih lagi.
Nampaknya kekecewaan Safira tidak bisa dienyahkan oleh Gavin begitu saja. Nyatanya di dalam mobil pun dia tetap berwajah kecewa meskipun sedang membaca komiknya.
Gavin bingung dengan keadaan keluarganya saat ini. Dia mendukung penuh pekerjaan istrinya, tapi dia juga tidak ingin jika pekerjaan istrinya itu menjadikan rumah tangga mereka merenggang ataupun retak.
Dia juga tidak ingin jika istrinya menelantarkan anaknya demi pekerjaannya.
Dia sadar, saat ini dia seperti suami yang kurang tegas. Bukan berarti memang dia kurang tegas. Hanya saja dia berusaha untuk menjaga kedamaian keluarganya. Dia tidak ingin ada pertengkaran dengan istrinya yang bisa mengakibatkan anaknya bersedih.
Sebenarnya Gavin sendiri heran pada dirinya. Dia seperti pria bodoh yang selalu menurut pada istrinya, hingga dia selalu mengalah dan tidak bisa membantah apapun yang diucapkan oleh istrinya.
Malam harinya seperti biasa, Tiara pulang larut malam dan dia mengeluh betapa capeknya tubuhnya itu harus seharian bekerja.
"Ma, bukannya Papa melarang Mama bekerja. Hanya saja Papa tidak tega melihat Mama yang selalu terlihat capek bekerja dari pagi hingga malam. Bahkan saat weekend pun Mama masih saja bekerja di luar kota. Apa tidak sebaiknya Mama berhenti saja bekerja? Atau paling tidak Mama bisa mengurangi jadwal kegiatan Mama di luar kota," tutur Gavin pada Tiara yang sedang menyisir rambutnya setelah berganti piyama.
Tiara memandang suaminya dari cermin yang ada di hadapannya. Dia menghela nafasnya setelah mendengar penuturan dari suaminya.
"Tidak setiap weekend aku ada kegiatan di luar kota Mas. Jangan terlalu membesar-besarkan seolah aku tidak ada waktu buat kalian," ucap Tiara dengan kesal memprotes perkataan suaminya.
"Bukan itu maksud Papa Ma. Maksud Papa, Mama luangkan waktu untuk kita bertiga supaya kita bisa berkumpul bersama, jalan-jalan atau pergi ke luar kota untuk menginap beberapa hari. Mumpung Safira sedang liburan Ma," sahut Gavin dengan suara lembut tanpa membentak sedikitpun pada istrinya.
Dia tahu jika istrinya itu tidak bisa dimarahi ataupun dibentak. Karena itulah selama ini dia hanya bisa mengalah dan selalu memanjakannya saja.
"Tadi kan sudah," ucap Tiara dengan entengnya sambil memakai produk perawatan wajahnya.
"Tadi kan hanya sebentar Ma. Dan Safira sangat kecewa saat Mama meninggalkan kami di Mall tadi," sahut Gavin dengan tatapan mengiba pada istrinya melalui cermin.
Tiara masih saja memakai perawatan wajahnya tanpa menanggapi ucapan suaminya. Dia seperti menulikan pendengarannya saat ini.
"Mama tau, tadi dia bertanya pada Papa. Tentang mengapa Mama bekerja dan selalu pulang malam. Dan juga dia bertanya, tentang kenapa Mama tidak seperti Mama dari teman-temannya yang selalu mengantar jemput mereka di sekolah. Apa Mama bisa merasakan perasaan Safira?" tutur Gavin dengan tatapan mengiba pada istrinya.
Tiara menghentikan kegiatannya yang sedang menyisir rambut panjangnya. Dia diam sambil menatap ke arah cermin dirinya sendiri dan sedikit melirik suaminya yang terlihat dari cermin di hadapannya.
Tampak wajah sedih dari Tiara saat ini. Gavin tahu jika istrinya itu tidak mungkin tega pada anak dan suaminya. Tapi entah mengapa semakin suksesnya dia, kini dia terasa semakin jauh dari keluarganya karena menomor duakan keluarganya.
"Sudahlah Mas. Aku capek, aku mau tidur dulu," ucap Tiara sambil beranjak dari duduknya dan berjalan menuju ranjang.
Gavin hanya menatap nanar tubuh istrinya yang berbaring membelakanginya. Sungguh dia merasa sangat rindu pada istrinya yang sudah beberapa lama selalu menolak ketika diajaknya melakukan hubungan suami istri.
"Ma, apa Mama tidak ingin melakukannya? Papa kangen sama Mama. Apa kita bisa-"
"Pa, Mama capek. Besok saja kalau Mama gak pulang malam," jawab Tiara dengan malas sambil memejamkan matanya dan masih dalam posisi membelakangi suaminya.
"Kapan Ma? Bukannya Mama selalu pulang Malam?" tanya Gavin dengan sedikit kesal.
"Ya sudah, kalau gitu pas Mama libur saja," jawab Tiara sambil menarik selimutnya dari pinggangnya hingga menutupi lehernya.
Gavin menghela nafas beratnya. Dia terasa seperti seorang pria beristri yang tinggal berjauhan dengan istrinya.
Direbahkannya tubuh lelahnya itu di samping istrinya. Dia menghadap istrinya yang masih saja membelakanginya.
Apa yang bisa aku harapkan? Meskipun kita bersama tetap saja kamu serasa jauh dariku. Kenapa kita bisa jadi seperti ini? Mungkin ini karma dari kesalahanku yang tidak aku ketahui, Gavin berkata dalam hatinya sambil menatap nanar punggung istrinya.
Dipejamkannya kedua matanya itu, berharap agar hari esok bisa membuat hubungan mereka berdua lebih baik lagi.
Tangan Gavin melingkar pada pinggang Tiara. Dan Tiara tidak menolaknya. Dia sudah tertidur dengan nyenyak. Bahkan dengkuran halusnya terdengar hingga indera pendengaran suaminya.
Gavin tersenyum dalam tidurnya mendengar dengkuran halus dari istrinya. Dia merasa lebih tenang karena pikiran negatif tentang penolakan istrinya itu sekarang tidak terbukti. Istrinya benar-benar lelah dan itu diyakini oleh Gavin.
Menjelang pagi, tiba-tiba saja Tiara merasakan tubuhnya berat, seperti ditindih oleh sesuatu.
Perlahan matanya terbuka dan dia mendapati tubuh suaminya yang tanpa memakai penghalang apapun berada di atasnya.
"Aaaahhh… Mas…."
Lenguhan dari bibir Tiara membuat Gavin semakin bernapsu. Haasratnya yang dipendamnya selama beberapa bulan ini seolah terkumpul saat ini dan memberontak untuk segera disalurkan.
Mata Gavin berkabut, dia sudah tidak mempedulikan penolakan dari istrinya. Bahkan kekuatannya seperti berkali lipat dari biasanya.
"Aku capek Mas… sudah…," ucap Tiara di sela lenguhannya.
Tidak berhenti begitu saja. Setelah dia menumpahkan cairan kental miliknya di dalam milik istrinya, Gavin kembali melakukannya lagi. Dia tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan yang tidak datang dua kali selama beberapa bulan terakhir ini.
Masa bodoh dengan penolakanmu Ma, yang penting aku bisa menyalurkan haasratku, Gavin berkata dalam hatinya sambil menghentakkan pinggulnya di atas tubuh istrinya.
Lenguhan dan desisan dari bibir Tiara membuat Gavin semakin bersemangat. Diraupnya bibir menggoda milik istrinya itu yang sudah sangat jarang dinikmatinya.
Dulu Gavin sangat sering menikmati bibir menggoda milik istrinya, hingga dia merasa bahwa bibir istrinya itu sudah menjadi candu baginya.
"Aaaaah… Sayang…," ucap Gavin dengan suara beratnya ketika kembali menyemburkan cairan miliknya ke dalam milik istrinya.
Dengan suara yang terengah-engah Tiara berkata,
"Sudah Mas, aku capek."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments