"Mas, Da-dara mau di-dijodohkan sama Mas Bambang," ucap Dara dengan terbata dan sangat lirih, tetapi bagi Jaka terdengar bagai suara geledek yang menyambar dan sanggup menghancurkan pondasi cinta yang selama ini Jaka bangun untuk Dara.
Jaka terdiam, begitu pula dengan Dara. Tak ada yang memulai untuk berbicara, hingga beberapa saat lamanya.
"Mas, apa Mas Jaka masih di sana?" tanya Dara dengan suara tercekat, dia hampir menangis karena takut Jaka akan marah padanya.
"Iya, aku masih mendengarkanmu, Neng," balas Jaka.
"Mas Jaka marah ya, sama Dara?" tanya Dara dengan penuh kekhawatiran.
"Mengapa mas harus marah sama kamu, Neng? Memangnya, Neng Dara menerima perjodohan itu?" tanya Jaka.
Dara menggeleng.
Sepi, kembali menyapa. Jaka masih menanti jawaban Dara, sementara Dara menunggu respon Jaka atas jawabannya.
"Neng, kenapa diam saja? Apa Neng Dara menerima perjodohan itu?" ulang Jaka bertanya.
"Dara 'kan udah jawab, Mas," protes Dara.
"Kapan?" kejar Jaka.
"Tadi, begitu Mas Jaka selesai bertanya, Dara langsung menggeleng kok," balas Dara yang belum menyadari, bahwa mereka berdua hanya bertelepon dan tak bisa saling melihat.
Jaka kembali tertawa renyah, tawa yang menunjukkan kebahagiaan mendengar Dara mengatakan bahwa Dara telah menggeleng, tawa Jaka membuat Dara mengerutkan dahi.
"Kok, Mas Jaka malah tertawa, sih!" kembali Dara protes.
"Neng, mas 'kan enggak bisa melihat kamu. Jadi mas mana tahu kamu sudah menjawab jika hanya menggeleng," terang Jaka, yang membuat Dara kemudian ikut tertawa.
"Oh ... iya, ya," balas Dara seraya menutupi mulut dengan tangan kiri, kebiasaan Dara jika tertawa lebar. Padahal, tawa Dara sangat menggemaskan karena jika Dara tertawa, gigi gingsulnya terlihat dengan jelas.
Sejenak, mereka berdua tertawa bahagia dan melupakan masalah yang ada.
"Mas, gimana?" tanya Dara kemudian, setelah tawa keduanya berhenti.
"Tadi, ayah dan Pak Carik sudah sepakat untuk menikahkan Dara dan Mas Bambang musim panen nanti," imbuh Dara menjelaskan.
"Musim panen? Apa itu sekitar dua bulan lagi? Pas kamu liburan semester, Neng?" tanya Jaka memastikan.
"Iya. Benar, Mas," balas Dara dengan nada pasrah.
"Neng, apa kamu mau hidup sederhana denganku?" tanya Jaka meyakinkan diri sekali lagi, bahwa Dara benar-benar mencintainya.
"Dara mau, Mas," balas Dara antusias. "Bawa Dara pergi, Mas. Kemana saja, yang penting kita bisa bersama. Tak masalah, jika kita harus kawin lari, Mas!" pinta Dara dengan emosional.
Jaka menghela napas pelan. "Neng, kawin lari itu bukan solusi yang baik untuk sebuah hubungan yang tak direstui orang tua," tolak Jaka dengan halus.
"Tapi, Mas ...." ucapan Dara menggantung di udara.
"Mas, akan memperjuangkan kamu, Neng, tentunya dengan cara yang benar," sahut Jaka dengan cepat, mencoba meyakinkan gadis yang dicintainya.
"Dua bulan lagi, mas akan pulang dan melamar kamu, Neng," ucap Jaka sungguh-sungguh.
"Tapi maaf sebelumnya, jika lamaran mas nanti tidak seperti kebanyakan pemuda di kampung kita yang membawa barang hantaran banyak dan berharga."
"Mas disini memang sambil bekerja tetapi tabungan mas baru sedikit, Neng. Jadi, mas hanya akan membawa barang yang seadanya saja," terang Jaka.
"Mas, bukan barang-barang itu yang Dara butuhkan tapi kehadiran Mas Jaka!" sergah Dara, yang tak ingin sang kekasih hati merasa minder karena tak mampu memberinya barang hantaran yang mahal.
Terdengar suara pintu kamar Dara di ketuk dari luar.
"Mas, sudah dulu, ya. Ada yang nyari Dara. Pokoknya, Dara tunggu kedatangan Mas Jaka, assalamu'alaikum," pungkas Dara.
"InsyaAllah, Neng. Wa'alaikumsalam," balas Jaka.
Dara masih menatap layar ponsel, ketika kembali pintu kamarnya di ketuk.
"Dara! Ayah tunggu di ruang keluarga!" seru Pak Kades dari luar pintu.
Dara cemberut. "Dasar, otoriter!" gerutu Dara.
Dara kemudian menyimpan kembali ponselnya di atas meja rias dan segera meninggalkan kamar untuk menemui sang ayah.
"Ada apa, Yah?" tanya Dara begitu melihat sang ayah duduk sambil melipat kaki dan menghisap rokok, di ruang keluarga.
"Duduklah!" titah sang ayah.
Enggan, Dara mendudukkan diri di kursi busa yang berukir indah. Kursi yang terbuat dari kayu jati kuno dan di pernis hingga mengkilap, terlihat klasik dan elegan.
"Ini, uang sakumu untuk dua minggu ke depan," tutur sang ayah, seraya menyimpan uang lembaran berwarna merah yang jumlahnya cukup banyak.
Ya, Dara setiap dua minggu sekali pulang ke rumah untuk melepas rindu pada sang ibu juga pada teman-teman masa kecilnya. Sehingga orang tuanya akan memberikan uang saku untuk Dara, yang sekiranya cukup untuk hidup di kota selama dua minggu tersebut.
Jarak kampung halaman Dara dari kota tempat dia menuntut ilmu, kurang lebih ditempuh dalam waktu satu jam dan Dara lebih memilih untuk tinggal di kost meski dia sudah dibelikan motor sendiri, hal itu untuk memudahkan Dara jika ada tugas dadakan dari dosen.
"Tumben, sudah dikasih sekarang, Yah. Biasanya 'kan, besok pagi?" tanya Dara keheranan.
"Kamu berangkat malam ini, bakda maghrib Bambang akan ke sini untuk mengantar kamu dengan mobilnya," terang Pak Kades, yang membuat Dara terkejut.
"Tidak, Yah. Dara berangkat besok pagi saja!" tolak Dara cepat. "Lagipula, bagaimana dengan motor Dara, Ayah? Dara di sana 'kan butuh motor untuk menunjang kegiatan kuliah Dara," tanya Dara protes.
"Masalah motor, gampang! Biar besok diantar sama Sulkan ke kost-an kamu!" tegas Pak Kades yang tidak mau keinginannya di bantah.
"Tidak, Ayah! Dara tetap tidak mau! Dara bisa berangkat sendiri besok pagi, tidak perlu diantar!" tolak Dara yang kali ini sambil berdiri, Dara hendak berlalu meninggalkan sang ayah yang tak memiliki hati.
"Dara! Mulai sekarang, kamu berangkat dan pulang dengan diantar jemput oleh Bambang, dia calon suami kamu, Dara!" bentak Pak Kades, yang membuat bulir bening jatuh dari sudut netra bulat Dara.
"Tidak mengapa, Nduk. Ikuti saja, apa mau ayahmu," tutur Bu Rosma yang baru saja dari arah dapur, sambil membawa sepiring gorengan bakwan lengkap dengan cabe rawit yang masih segar.
"Bu ....?
🌹🌹🌹 bersambung,,,
aa... pala lagi pening gini, enak kali ya, makan bakwan sambil nyeplus lombok puedesss 🤤
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Ita rahmawati
gemes sm si gondo ruwo in 😡
2023-08-22
1
Sri Mustaanah
duuhhh..piye to ikihhh..
2023-01-30
2
hania putri
untung anak nya cuma 1 ya pak kades, klo anaknya buanyak tentu kasian sekali mereka dgn sifat nya bpk yg sperti itu
2023-01-01
1