"Tak mengapa jika Dara tidak bisa melanjutkan kuliah Dara karena Ayah harus mengembalikan hutang pada Pak Carik, asalkan Dara tidak menikah dengan Mas Bambang, Ayah," mohon Dara yang terdengar memilukan.
Pak Kades menggeleng. "Janji seorang laki-laki sejati harus ditepati, Dara. Dan ayah sudah berjanji sama Pak Carik untuk menikahkan kamu dengan putra bungsunya," tegas Pak Kades.
Dara beringsut, gadis mungil itu segera beranjak dan kemudian berlari masuk ke dalam menuju kamarnya tanpa kata.
"Tega kamu, Pak! Selama ini, ibu hanya diam saja dengan sikap Bapak yang arogan dan semena-mena terhadap ibu! Tetapi jika itu menyangkut tentang anak kita, Dara, ibu tidak akan tinggal diam!" seru Bu Rosma yang langsung beranjak, wanita anggun itu hendak mengejar sang putri.
Pak Kades menghela napas panjang. "Silahkan, bu, jika kamu punya nyali untuk mengadu dan meminta bantuan pada orang tuamu!" olok Pak Kades yang masih dapat didengar oleh istrinya.
Pak Kades tersenyum seringai. "Kamu bahkan sudah dibuang oleh keluargamu, bu," gumam Pak Kades.
Sementara Bu Rosma sejenak menghentikan langkah, mendengar perkataan sang suami membuat Bu Rosma sedikit ragu. Namun, demi melihat kebahagiaan putri semata wayangnya, Bu Rosma kembali membulatkan tekad.
Istri Pak Kades itu kembali melanjutkan langkah, untuk menyusul putrinya.
Setibanya di depan kamar Dara yang tertutup rapat, Bu Rosma mengetuk pintu dengan pelan. "Nduk, ini ibu. Apa ibu boleh masuk?" ijin Bu Rosma dengan sedikit berteriak agar Dara mendengar.
Tak lama kemudian Dara membukakan pintu untuk sang ibu. "Masuklah, Bu," ucap Dara yang kini sudah tak lagi menangis, namun mata bulat Dara masih terlihat sembab.
Bu Rosma mengekor langkah Dara, mereka berdua kemudian duduk di tepi tempat tidur.
"Jangan bersedih, Nduk. Ibu akan meminta bantuan eyangmu, agar kamu bisa lepas dari masalah ini," hibur Bu Rosma pada putri semata wayangnya, putri yang menjadi tumpuan segala harapannya kelak.
Dara menatap sang ibu dengan ragu. "Bukankah eyang tidak pernah suka sama ibu?" tanya Dara sambil menggenggam tangan sang ibu. Gadis itu tahu betul, betapa sang ibu sangat tersiksa jika berada diantara keluarga besarnya.
Bu Rosma menggeleng. "Tidak ada orang tua yang benar-benar membenci anaknya, Dara. Kalau pun eyang menunjukkan sikap tidak suka sama ibu, itu karena eyang memiliki alasan," balas Bu Rosma yang belum bisa menceritakan tentang masa lalunya pada Dara, wajah anggun itu tiba-tiba terlihat begitu sendu.
Tersirat sebuah penyesalan di netra hitam Bu Rosma, penyesalan tentang masa lalu yang tidak dia inginkan terulang pada putri tunggalnya yaitu menikah dengan laki-laki yang salah.
"Ibu yakin, akan meminta bantuan pada eyang?" tanya Dara yang mulai timbul harapan.
Bu Rosma mengangguk. "Besok, kita berangkat ke kota sama-sama, sekalian kamu kembali ke kost-an," pungkas Bu Rosma yang kemudian beranjak dan meninggalkan kamar sang putri.
Dara termenung dan masih duduk di tempat yang sama. Ingatannya tertuju pada pemuda kalem yang hanya berani melemparkan senyuman pada Dara kala di sekolah.
Dara yang merupakan bintang di sekolah karena selain cantik dia juga pandai, disukai oleh banyak teman laki-laki di sekolahnya. Tetapi entah mengapa, Dara tidak pernah menanggapi setiap cowok yang berusaha mendekat. Dara justru tertarik dengan Jaka yang sederhana.
Jaka yang setiap berbicara selalu apa adanya dan tidak munafik, seperti kebanyakan teman-teman Dara. Jaka yang tak banyak bicara, tetapi jika berbicara selalu terdengar kocak dan membuat lawan bicaranya tersenyum bahagia.
Namun, jika berbicara dengan Dara, Jaka tidak pernah berbicara yang nyleneh. Pemuda itu selalu menjaga ucapannya.
"Jaka, boleh pinjam catatan Biologi kamu, enggak?" pinta Dara yang mulai mendekati Jaka. 'Punyaku kurang lengkap, soalnya tadi Bu Uci cepet banget menjelaskannya," lanjut Dara beralasan.
Padahal semua orang tahu bahwa Dara adalah siswi yang pandai, yang tak mungkin keteteran mendengarkan penjelasan dari guru.
Jaka tersenyum. "Boleh, buat kamu aja juga enggak apa-apa," balas Jaka dengan tulus, seraya menyodorkan buku tulis yang hendak ia masukkan ke dalam tas yang telah usang.
Netra bulat Dara berbinar terang. "Sungguh?"
Jaka mengangguk. 'Bukan hanya buku itu yang akan aku berikan Dara, jika kamu meminta jantung hatiku pun, aku akan berikan.' Sayangnya, Jaka hanya berani berkata demikian dalam hati saja, sebab dia sadar darimana dirinya berasal.
"Makasih ya, Jaka. Aku seneng banget, punya teman seperti kamu," ucap Dara, yang membuat Jaka tersenyum lebar hingga lesung pipi pemuda berkulit sawo matang itu terlihat jelas.
"Ih ... pipimu itu menggemaskan, deh, Jaka," goda Dara, yang bermaksud memberikan signal cinta di hatinya.
Jaka semakin tersenyum lebar. 'Andai kamu tahu perasaanku, Dara. Aku pun ingin memiliki keberanian untuk mengungkapkan rasa ini, tapi aku harus rela menunggu hingga saat itu tiba. Saat dimana orang lain tak lagi memandangku sebelah mata,' bisik Jaka dalam hati.
'Ayo, Jaka! Ungkapkan perasaanmu, jangan buat aku menunggu!' gemas Dara yang sebenarnya bisa merasakan bahwa Jaka juga menyukainya.
'Masak harus aku duluan, sih, yang nembak kamu!' protes Dara, tetapi dia hanya bisa menyimpan kekecewaannya itu dalam hati.
Dara bisa mengerti, kenapa Jaka seolah menjaga jarak dengan dirinya. Mungkin, Jaka merasa tidak percaya diri dengan keadaan mereka berdua yang jauh berbeda. Padahal, Dara tak pernah memandang Jaka dari kulit luarnya.
Hingga dua tahun lamanya, Dara menanti, tetapi pemuda yang dicintainya itu tak kunjung mengungkapkan perasaannya.
Jaka hanya menunjukkan perasaannya pada Dara, melalui perhatian-perhatian kecil dengan membantu Dara mengerjakan tugas karena Jaka memang lebih cerdas dari dirinya.
Lamunan Dara buyar kala terdengar ada notifikasi masuk di ponselnya yang tergeletak di atas meja rias. Dara beranjak dan mengambil ponsel tersebut.
Dara kembali duduk di atas tempat tidur dan menyandarkan tubuhnya pada kepala ranjang. Dia buka ponselnya, wajah yang tadinya sendu kini tersenyum lebar.
"Mas Jaka," gumamnya.
Dara segera membaca pesan dari sang kekasih hati. "Assalamu'alaikum, Cah Ayu. Sudah sholat dhuhur, belum?" tanya Jaka penuh perhatian.
"Sudah dong, Mas. Masak jam segini belum sholat dhuhur?" balas Dara yang balik bertanya.
"Cakep, benar-benar calon istri sholehah," balas Jaka, yang membuat Dara tersenyum getir.
Kata-kata sang ayah kembali terngiang di telinga Dara dan itu membuat Dara menjadi gelisah.
"Mas Jaka lagi, apa?" tanya Dara kemudian. "Bisa Dara telepon sebentar? Ada yang ingin Dara sampaikan," pintanya.
Jaka hanya membaca pesan Dara tapi tak membalas, membuat Dara menjadi semakin resah.
Beberapa menit menunggu, tetapi Jaka tak juga membalas pesan Dara. Ketika Dara hendak bertanya kembali, ponselnya bergetar yang menandakan ada panggilan masuk.
Dara tersenyum lega dan buru-buru menerima telepon dari Jaka. "Assalamu'alaikum, Mas. Kenapa lama sekali?" protes Dara begitu selesai mengucap salam.
Terdengar tawa renyah Jaka di seberang sana, yang membuat Dara semakin rindu pada pemuda bertubuh jangkung tersebut. "Kenapa, Neng? Tak sabar ya, menunggu mas pulang?" tanya Jaka yang mulai berani menggoda jika mereka berdua teleponan.
Dara mengerucutkan bibir, seolah Jaka bisa melihatnya.
"Maaf ya, Neng. Mas 'kan harus cari tempat yang aman dulu untuk bisa telepon kamu, enggak enak kalau teman yang lain tahu," terang Jaka.
"Ada apa memangnya, Neng Dara?" tanya Jaka kemudian, dengan suara yang terdengar begitu lembut. Suara yang senantiasa Dara rindukan.
"Mas, Da-dara mau di-dijodohkan sama Mas Bambang," ucap Dara dengan terbata dan sangat lirih, tetapi bagi Jaka terdengar bagai suara geledek yang menyambar dan sanggup menghancurkan pondasi cinta yang selama ini Jaka bangun untuk Dara.
🌹🌹🌹 bersambung ...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Ita rahmawati
huh kasian bgt mereka ber 2,,setelah sekian lama sm² mencintai dlm diam akhirny bisa saling mwngungkapkan tp ternyta ad pengjalang yg menjulang 😭😭
2023-08-22
1
Sri Mustaanah
mak jleb rasane..
2023-01-25
2
Febrianti Ningrum
Nyesek bgt ya.. 😭
2022-12-19
1