"Di luar ada tamu yang mencarimu, Dara. Segeralah keluar!" titah sang ayah, yang membuat Dara mengerutkan kening.
"Tamu untuk Dara, siapa?" Dara segera beranjak, memakai hijabnya dengan asal dan kemudian melangkahkan kaki keluar dari kamar menuju meja makan.
"Bu, kata ayah ada tamu, siapa?" tanya Dara menghampiri sang ibu yang sedang membuatkan minuman untuk kedua tamunya.
"Biasa, Nduk. Pak Carik sama anaknya," balas Bu Rosma yang nampak tidak suka.
"Biar Dara yang melanjutkan membuat minuman, ibu temani ayah saja," pinta Dara dengan sopan.
Bu Rosma beringsut, memberikan ruang kepada putrinya untuk melanjutkan menyeduh teh panas untuk tamu.
"Ibu keluar dulu ya, nduk," ujar Bu Rosma sambil menepuk pelan punggung sang putri.
Dara hanya mengangguk, sambil terus menyeduh agar air panas yang telah dicampur dengan daun teh dan gula itu larut sempurna dan menghasilkan cita rasa yang istimewa. Cita rasa pahitnya teh dan manisnya gula, dengan aroma wangi dari bunga Melati yang menggugah selera.
Dara kemudian membawa minuman tersebut ke ruang tamu, dimana Pak Carik Margono dan putranya, Bambang, nampak tengah asyik ngobrol dengan sang ayah. Sementara Bu Rosma, hanya diam saja menyimak obrolan mereka bertiga.
"Wah ... lha ini, bidadarinya sudah keluar," tutur Pak Carik dengan tersenyum lebar, menampakkan deretan giginya yang sedikit menghitam karena nikotin yang dihisapnya setia saat.
Ya, Pak Carik termasuk salah satu laki-laki ahli hisap rokok. Dalam satu hari, orang tua itu bisa menghabiskan sekitar dua bungkus rokok filter yang bungkusnya berwarna merah, rokok yang kepanjangannya sering diplesetkan menjadi 'djarang di rumah suka pergi'.
Dara mengangguk dan tersenyum ramah, gadis berhijab itu kemudian menyimpan teh di hadapan kedua tamu dan juga sang ayah.
Sementara itu, Bambang terus menatap Dara dengan tatapan lapar. Pemuda itu memindai tubuh Dara dari ujung kepala hingga ke ujung kaki, meski semua tertutup oleh pakaian panjang yang dikenakan putri Pak Kades tersebut.
"Monggo, dipun unjuk tehnya, Pak Carik, Mas Bambang." Suara lembut Bu Rosma, mengurai tatapan nyalang Bambang pada Dara.
"Iya, Bu. Terimakasih," balas Pak Carik, seraya mengambil cangkir yang berada di hadapannya yang diikuti oleh Bambang.
"Nduk, duduklah di sini," titah Pak Kades pada sang putri, seraya menepuk bangku kosong di sampingnya.
Dara menatap sang ibu, meminta persetujuan. Bu Rosma mengangguk pelan.
Dara kemudian duduk, tetapi gadis berwajah bulat dengan pipi sedikit gembil dan terlihat menggemaskan itu memilih untuk duduk di samping sang ibu.
Ibu, wanita anggun yang tutur katanya lembut dan selalu bisa membuat hati Dara tenang dan nyaman. Tidak seperti sang ayah, yang cenderung otoriter dan keras kepala tak mau mengalah.
"Jadi, gini Dik Gondo." Pak Carik yang usianya lebih tua dari Pak Kades itu mulai membuka suara.
"Kedatanganku dan juga putraku kemari itu, untuk menagih janji yang dulu pernah Dik Gondo ucapkan untuk menikahkan Dara dengan Bambang," tutur Pak Carik.
Bu Rosma menajamkan pendengarannya, dia tatap wajah sang suami dengan penuh tanya. Begitu pun dengan Dara, putri Pak Kades itu menatap sang ayah dengan tatapan menuntut jawab.
"Pak, apa maksud Pak Carik?" bisik Bu Rosma bertanya.
Pak Kades hanya tersenyum.
"Apa, Dik Gondo tidak menceritakan ini semua pada Dik Rosma dan Dara?" tanya Pak Carik dengan penuh selidik.
"Belum Mas Carik, saya hanya bilang pada Dara bahwa nanti dia harus menikah sama Bambang," balas Pak Kades dengan begitu santai dan tanpa rasa bersalah sama sekali.
"Ayah, janji apa yang telah Ayah buat? Kenapa Ayah harus berjanji segala?" cecar Dara dengan menahan emosi yang menyesakkan dada.
Pak Kades terdiam, dia tatap putrinya dengan nanar. Ada sedikit penyesalan menyelimuti hati orang tua yang perutnya membuncit itu, tetapi keangkuhan menutupi dan mengalahkan rasa penyesalannya.
Hening, sejenak menyapa ruang tamu tersebut.
"Empat tahun lalu, ketika pencalonan Kepala Desa, suamimu meminta bantuanku, Dik Rosma. Jika dia berhasil menjadi Kepala Desa maka dia akan menyerahkan putri kalian untuk dinikahkan dengan Bambang," tutur Pak Carik mengurai keheningan, setelah cukup lama menanti namun Pak Kades tidak juga membuka suara.
"Dan sekarang, aku datang untuk menagih janji itu karena anakku, Bambang, sudah punya pekerjaan tetap," imbuh Pak Carik.
"Pak ...," suara Bu Rosma tercekat di tenggorokan.
Sementara Dara menatap sang ayah dengan tatapan marah, bibirnya bergetar menahan isak. Dara tak menyangka, sang ayah tega menggadaikan dirinya hanya demi sebuah jabatan.
Melihat suasana yang kurang menyenangkan itu, Pak Carik Margono pun pamit undur diri.
"Dik Gondo, silahkan kamu bicarakan dulu dengan istri dan anakmu. Aku tunggu kabar darimu secepatnya karena Bambang ingin segera menikah," pamit Pak Carik seraya beranjak, yang diikuti oleh Bambang.
"Dik Dara, aku janji akan membuatmu menjadi wanita paling bahagia di kampung kita. Aku sudah memiliki segalanya, Dik. Pekerjaan tetap, rumah dan juga mobil," ucap Bambang dengan begitu pongahnya, seraya menatap Dara dengan senyuman yang sulit diartikan.
Dara tak menanggapi, gadis berbibir tipis itu hanya tersenyum masam.
"Iya, Mas. Sesuai permintaan Mas Carik, saya akan pastikan bahwa panen ini anak-anak kita akan menikah," balas Pak Kades seraya beranjak untuk menyalami tamunya, yang hendak pulang.
"Ayo, Mbang! Kita pulang sekarang," ajak Pak Carik pada putranya.
Kedua orang ayah dan anak itu segera berlalu, meninggalkan kediaman Pak Kades.
"Ayah, apa maksud Ayah?" tanya Dara dengan air mata yang tak dapat lagi terbendung.
"Dara, Ayah lakukan ini demi kebaikan kamu, Nak," ujar Pak Kades dengan suara pelan.
"Kebaikan Dara? Kebaikan yang mana, Ayah?" tanya Dara penuh emosi, dia menangis sesenggukan.
Bukan hanya bayangan Jaka yang melintas di benak Dara, namun juga jubah putih yang akan dia kenakan ketika Dara membuka praktek dokter nanti. Akankah semua itu hanya bayangan semu yang tak dapat dia raih?
"Sudah, Dara. Kamu ini sudah dewasa, jangan apa-apa kamu sikapi dengan menangis!" hardik Pak Kades.
Dara semakin terisak, sementara sang ayah nampak begitu santai menghadapi kekalutan putrinya.
"Pak, bagaimana bapak bisa sesantai ini menghadapi masalah besar tentang masa depan anak kita?" tanya Bu Rosma menatap sang suami dengan tatapan tak mengerti.
"Bu, ini bukan masalah besar, Bu. Bapak menjodohkan Dara dengan Bambang itu bukan tanpa alasan, tetapi karena bapak tahu kalau Bambang itu pasti bisa menjamin kebahagiaan anak kita," balas Pak Kades dengan sangat yakin.
"Bambang memiliki segalanya, dia juga berjanji akan tetap mengijinkan Dara untuk melanjutkan kuliahnya di kedokteran dan membiayai Dara, Bu," lanjut Pak Kades seraya tersenyum.
Pak Kades merasa bangga jika putri semata wayangnya bisa menikah dengan Bambang, anak orang terkaya di desanya
"Dara tidak mau, Ayah!" tegas Dara sambil menyeka air mata dengan kasar. Gadis itu kemudian bangkit dan bersimpuh di kaki sang ayah.
Melihat sang putri bersimpuh di kaki sang ayah, Bu Rosma nampak ikut berlinang air mata. Wanita anggun itu merasa gagal menjadi seorang ibu karena tidak bisa membela Dara dan memberikan kebahagiaan untuk putri semata wayangnya tersebut.
"Tak mengapa jika Dara tidak bisa melanjutkan kuliah Dara karena Ayah harus mengembalikan hutang pada Pak Carik, asalkan Dara tidak menikah dengan Mas Bambang, Ayah," mohon Dara yang terdengar memilukan.
Pak Kades menggeleng ....
🌹🌹🌹 bersambung
Noted ; Ketentuan gift kali ini _ masih sama kayak yang novel Bang Mirza, ya...
Diberikan kepada pendukung yang mendapatkan predikat fans yang menduduki ranking 1, 2 dan 3 saja &
Dua orang pembaca, yang aktif memberikan komentar positif mulai bab.1 sampai End, tanpa bolong &
Masing-masing wajib memberikan ulasan bintang⭐⭐⭐⭐⭐ (5)
Keputusan othor tidak dapat diganggu gugat 😄
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments
Sri Mustaanah
ya Allah pak kades..kacian dara lah..
2023-01-25
1
hania putri
terimakasih informasi nya kk othor
2023-01-01
1
hania putri
geli ya ngebayangin bentukan gigi nya Pak Carik
2023-01-01
1