Papa masuk ke dalam kamar Bianca.
Papanya Bianca, tetap tidak percaya kalau anaknya itu sedang mengandung. Karena dia anak baik, polos dan lugu. Meskipun sang Mama, sudah memperlihatkan alat test pack yang sudah bergaris dua.
Papa kemudian berjalan ke arah kamar anaknya itu, perlahan pintu Papa buka, dan setelah pintu terbuka lalu Papa, menatap lekat anaknya, yang sedang tertidur pulas. Bianca memakai selimut yang menempel di tubuhnya, sangat lekat dia pegang, nampak terlihat Bianca kedinginan. kelopak dari matanya pun terlihat sembab karena sudah menangis.
Papa menghela napas panjang.
"Aku mau marah tapi tidak tega, kasihan sekali anakku ini," gumam hati Papa, dia pun meneteskan air mata.
Mama menatap Papa dari arah ruang tamu, Mama pun terlihat sedih melihat raut muka sang suami terlihat sedih.
Sang Mama kemudian berjalan ke arah Papa, dan menepuk pundak. "Pah, nanti saja bicaranya sama Bianca, badannya kedinginan dia sakit kasihan," Mama seakan memelas, agar suaminya itu tidak marah kepada sang suami. Papa pun menghempaskan badannya secara perlahan ke lantai, tepat di depan pintu anaknya itu. Rambutnya dia remas oleh kedua tangannya tersebut.
"Kita salah mendidik anak, Mah," Papa meneteskan air mata.
Mama mengusap-usap pundak Papa.
"Sudah Pah, nanti kalau Bianca bangun kita bicarakan. Dia tertekan karena semalam Mama marah kepada Bianca," ucap Mama.
Papa tertunduk, dia teringat masa kecil Bianca, jika Papanya datang dari luar kota karena urusan kerja, anak itu selalu minta di gendong dan membuka tasnya Papa, untuk membuka oleh-oleh yang Papanya bawa.
Baru kali ini kedatangan Papa, tidak di sambut oleh anaknya itu. Biasanya anak itu sudah menunggu di teras rumah dan bergelayut manja kepada Papanya tersebut.
Tatapan mata sang Papa terlihat kosong, masa-masa indah anaknya untuk bersekolah kembali, mungkin tidak akan terjadi, karena sang anak sedang hamil, semua sirna.
"Pah, ayo, jangan termangu disini tidak baik, ini pintu masuk," ucap Mama.
Mama pun hatinya terluka, tapi seakan air mata Mama, sudah terkuras semalam, hanya matanya yang sembab.
Akhirnya Papa pun bangkit, lalu dia kembali berjalan ke arah kursi sofa. Di ikuti oleh Mama.
*****
Bianca di dalam kamar.
Bianca badannya menggeliat.
Dia terbangun dari tidurnya, dia membuka matanya secara perlahan, dia menatap langit-langit kamarnya. Lalu kembali memejamkan matanya dengan sempurna.
Dia kembali mengingat-ingat kejadian semalam, Mamanya memarahinya karena ulahnya sendiri yang badanya sekarang tengah berbadan dua. Lalu dia memegang perutnya itu, di usapnya dengan pelan.
"Aku hamil, bagaimana dengan sekolahku, bagaimana dengan guruku dan temanku nanti, jika mengetahui aku hamil. Tidak..tidak, aku harus menjawab apa, jika semua bertanya tentang kehamilanku," Bianca, meremas kepalanya. Mulutnya dia tutup dengan bantal, agar tangisannya tidak terdengar oleh orang yang berada di rumah.
Sayup-sayup terdengar jelas suara batuk dari arah ruangan depan.
"Itu suara batuk Papa." Bianca menghentikan tangisannya. Dia di hinggapi rasa takut oleh Papanya dengan keadaan hamil.
Terlihat olehnya pintu terbuka sedikit. Bianca menghela napas secara perlahan, dia berpikir pasti Papanya, atau Mamanya sudah memasuki kamarnya, tapi tidak mau membangunkan anaknya yang sedang tertidur lelap.
Bianca kembali menyalahkan dirinya sendiri, pikirannya kalut. Tiba-tiba gawai miliknya yang tersimpan di atas nakas bergetar, terlihat panggilan masuk muncul dari layar telepon, dan yang menelepon tersebut adalah Merry, sahabatnya itu yang kemarin datang bersama Febry kakaknya. Lalu Bianca mengangkat gawai tersebut.
{"Halo, Mer.."} ucap Bianca.
{"Bagaimana keadaanmu sehat? Bu guru tadi nanyain kamu loh. Katanya, kenapa Bianca, nggak masuk sekolah!"} Merry menanyakan kabar sahabatnya itu, dan memberikan kabar bahwa gurunya menanyakan Bianca, kenapa tidak sekolah.
{"Terus kamu jawab apa?"} Bianca, berharap sahabatnya itu jangan bercerita kepada guru di sekolah kalau dia sedang hamil.
{"Aku jawab sakit, muntah-muntah,"} ucap Merry.
{"Shitttt, bocor deh,,"} decak Bianca.
{Apa yang bocor?"} tanya, Merry.
{"Kamu ngomong sama guru, aku hamil kan?"} ucap Bianca.
Begitu polos kedua anak tersebut ketika mengobrol, karena mereka sama-sama anak SMP yang pemikirannya belum sepenuhnya dewasa.
"Gila kamu, ya nggak lah. Aku takut kalau cerita yang sejujurnya,"} ucap Merry.
{"Takut apa?"} tanya Bianca.
{"Takut nggak di terakhir lagi, di kantin sama kamu,"} Merry, begitu polos ketika berucap, di selingi suara manjanya dan tertawa terkekeh.
Bianca terdiam, tidak lagi membalas omongan dari sahabatnya itu.
Dia berpikir Merry takut tidak di teraktir lagi di kantin sekolah, memangnya Bianca, akan kembali lagi bersekolah, apakah bisa ke sekolah dalam keadaan hamil, apakah guru dan teman-teman nanti tidak akan mencemooh dirinya?
Berbagai pertanyaan muncul di benaknya. Apakah Mama dan Papanya, akan memberhentikan dia sekolah, atau dia di berhentikan di sekolah?
Bianca membuang napas kasar.
{"Halo, Bianca. Kamu masih hidup?"} tanya Merry, sambil tertawa terkekeh.
{"Mati di telan laut!"} jawabnya terdengar kesel. {"Udah ya, aku capek, nanti kalau lama-lama aku menerima telepon dari kamu, Papa dan Mamaku, bisa dengar. Akhirnya aku di interogasi sama mereka."} ucap Bianca.
Akhirnya Bianca, menutup sambungan teleponnya.
\*\*\*\*\*
Kreekkkk...
Tiba-tiba pintu ada yang membuka lebar, Bianca terperanjat, jantungnya dag-dig-dug tidak karuan.
Bianca seakan tidak mau menoleh ke arah pintu. Lalu suara langkah kaki mendekatnya, posisi dari Bianca membelakangi pintu otomatis yang sedang berjalan kehadapan nya itu, dia tidak mengenalinya.
Tiba-tiba pundaknya di usap halus.
"Bianca.." nampak terdengar suara Mama, begitu jelas terdengar di kupingnya.
Secara perlahan Bianca menoleh ke arah Mamanya, yang memanggilnya.
Setelah membalikkan badannya, akhirnya kedua mata mereka saling memandang, terlihat sorot mata sang Mama, sangat tajam dan di dalam mata tersebut, seperti terlihat genangan air yang akan menetes.
"Mah..." ucap anak yang polos itu, sambil menundukkan pandangannya dari Mama. Dia seakan takut untuk menatap dalam sorot mata sang Mama.
"Papa mau bicara, kamu sudah siap!" ucap Mama. Nampak sang Mama menahan amarah dan rasa kecewa yang teramat kepada anaknya itu
"Tap...tapi, mah," ucap anak polos itu.
"Tapi kamu belum siap?" tapi mengapa kamu melakukan hal bodoh itu, dan kamu mau merelakan tubuhmu terhadap lelaki itu!" Mama mencecar pertanyaan, hal ini membuat sang anak terpojikkan dan terluka hatinya.
Bianca meneteskan air mata, dalam batin Mama, sebenarnya tidak mau mencecar pertanyaan demi pertanyaan tetapi sepertinya Mama belum puas, untuk kembali menyerang anaknya itu.
Mama berpikir apa yang di lakukan okeh anaknya itu kesalahan yang besar, yang harus diberi hukuman dengan cara yang pantas agar ada sifat jera. Tapi kenyataannya sudah terjadi tidak bisa mengembalikan semuanya ke seperti semula atau sedia kala.
\_\_\_\_\_\_\_\_\_
\*Maaf kalau ada yang typo\* 🙏🥰
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 144 Episodes
Comments
manda_
lanjut lagi
2022-12-19
0