Pelakor? Siapa Takut!
"Kesepakatan?"
Aku mengerutkan dahi, mengulangi ucapan pria yang kini menarik wajahnya menjauhiku, setelah membisikkan beberapa kata. Aku menghela napas sesaat, mengingat wajah pria di sampingku saat pertama kali bertemu.
Aku dan sang pria bertemu tepat sepekan yang lalu. Dia beserta keluarganya datang kerumah waliku, dan mengutarakan niatnya untuk menjadikanku sebagai istrinya.
Tampan, itulah penilaian pertama. Meski ada hal lain yang juga membuatku mau menerima perjodohan dengannya. Tante Aira sebagai wali juga ikut menguatkan keputusanku saat itu.
"Tante sudah bertemu Zain beberapa kali, dia anaknya baik kok." Tante Aira mempromosikannya saat itu.
Zain adalah anak dari sahabat tanteku, mereka tetap menjalin tali silaturahmi setelah memiliki kesibukan mengurus keluarga masing-masing. Tante Aira sering menginap di rumah tante Renata, mamanya Zain. Bila harus ke Jakarta mengikuti suaminya untuk seminar.
Kenyataan yang aku dapat dari pria yang baru dua kali ketemui ini berbeda. Dia ingin membuat kesepakatan di dalam pernikahan. Namun, kenapa harus diutarakannya sekarang, sesaat setelah akad dilangsungkan.
"Aku tidak bisa," jawabku untuk kalimat yang ia bisikkan tadi.
Pria yang hanya berjarak dua langkah dariku menoleh ke arahku kembali, memangkas jarak dan menenggelamkan kepalanya di antara leher dan pipiku.
"Aku akan menalakmu sekarang juga." Pria ini kembali menegakkan tubuhnya setelah membisikkan kalimat tersebut. Senyum mengembang di sudut bibirnya sambil menatap ke arah tamu undangan yang tengah menikmati jamuan.
"Di depan mereka semua," lanjut pria ini menegaskan ucapan sebelumnya.
Kutatap wajah kerabat dan temanku yang terlihat begitu bahagia. Sungguh tidak bisa kubayangkan perubahan ekspresi wajah mereka saat mendengar Zain Habibi menalakku. Beberapa menit setelah mengucapkan ijab qobul, dan menjadikanku sebagai istrinya yang SAH.
Hari ini adalah impianku. Aku berdiri dengan gaun pengantin rancangan sahabatku, bersanding dengan seorang pria tampan dalam pelaminan penuh bunga. Persis seperti do'a yang selalu kupanjatkan di sepertiga malam. Sayangnya bukan dengan jalan cerita seperti ini, aku lupa mendetail do'a.
"Apa kamu sedang bercanda?" tanyaku pada pria yang kini berdiri di sebelahku.
"Kau tau apa yang mereka gunjingkan tentangku, karena pernikahan mendadak ini?" suaraku begitu bergetar menahan kesedihan juga amarah dalam dada.
Wajah Zain nampak biasa saja, bahkan setelah aku mengungkapkan keresahanku. Apa dia tidak punya hati? Setidaknya sedikit saja tunjukan rasa simpati itu dan bertanya tentang ucapan yang tidak kuselesaikan.
Memang benar. Pria berpakaian tuxedo lengkap berwarna abu-abu muda, yang serasi dengan gaun yang kukenakan saat ini memang tidak punya hati. Dia tidak mungkin memiliki niat mengucapkan kata keramat setelah kata sakral, jika memang punya hati.
Bagaimana aku akan menghancurkan semuanya? Bolehkah kusudahi saja semua? Sebelum aku terlanjur melangkah lebih jauh dari ini. Bagaimana dengan tanteku yang kini terlihat begitu bahagia.
Para tetangga yang tertawa, sambil menikmati jamuan di pesta pesakitanku, mereka pasti akan membuat rumor baru, setelah sebelumnya mengabarkan aku hamil di luar nikah. Sungguh mereka tidak tau prinsipku tentang jomblo fisabilillah.
Mungkin mereka terlalu iri padaku yang diam-diam menyebar undangan sebelum putri mereka, yang sangat mereka banggakan. Karena sering dijemput pria asing dan sering berganti-ganti pasangan. Jika Zain benar-benar mengucapkan kata keramat itu, bukankah mereka akan tertawa lebih keras?
Tak terasa bulir bening menerobos dari naungannya. Definisi sakit tidak berdarah, hatiku lebam dihantam kenyataan. Aku hanya bisa tertunduk menatap hand bouket dari mawar putih, yang semakin erat kugenggam.
"Kita bicarakan nanti," ucap pria bermata coklat terang di samping yang mengetahui kehadiran air mataku, seraya menyodorkan sebuah sapu tangan bergambar bunga tulip berwarna merah jambu. Saputangan yang cukup girly.
Zain mendecih, karena uluran sapu tangannya tak kunjung kuraih. Aku lebih memilih menyeka air mataku dengan punggung tangan. Biar dia tau bagaimana lelahnya diabaikan.
"Rayya!"
Aku menoleh ke arah sumber suara, yang sebelumnya sedang bersitatap dengan Zain. Mataku menangkap sosok tante kesayanganku dengan balutan gaun berwarna abu muda dan hijab dengan warna senada. Wajahnya sangat cantik, dihiasi dengan senyum yang begitu merekah.
"Selamat ya sayang," ucapnya sambil menyeka sisa air mata di pipiku, lalu merengkuhku ke dalam pelukannya.
"Sekarang kamu adalah seorang istri, jagalah martabat dan kewibawaan suami. Jadilah istri yang soleha yang bisa membantu suami berbakti kepada kedua orangtuanya. Juga peneduh pandangan bagi suami, karena suamimu bisa menjadi Surga untukmu."
Juga menjadi Neraka bagiku, jawabku dalam hati. Perlahan pelukan tersebut dilepaskan. Kulihat matanya berkaca-kaca dan bibirnya memaksakan sebuah senyuman. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, lalu bergeser dua langkah ke sampingku.
Zain menanggapi ucapan tante Aira dengan senyuman. Aku dititipkannya pada pria yang kini bersetatus sebagai suamiku. Tanteku menaruh harapan yang besar pada lelaki yang telah meremukkan hatiku sesaat setelah akad. Bagaimana jika tante tahu topeng sesungguhnya yang menutupi wajah Zain, apa dia juga mau melepaskan keponakannya ini pada lelaki itu?
Beberapa kerabat pun mulai mendekat, mengucapkan kata selamat yang semakin membuat hatiku terasa tersayat. Mungkin setelah mereka pergi, pernikahanku juga akan segera tamat. Sungguh, duniaku benar-benar seperti akan kiamat.
Gadis dengan gaun ungu muda yang melekat di tubuhnya pun tidak lupa mengucapkan beberapa kalimat. Sorot matanya menggambarkan betapa bahagianya ia, melihat gaun pengantin rancangannya tersemat indah pada bidadari di hadapannya. Imelda, sahabatku sejak SMA yang telah berjuang keras membuat gaun pengantin dengan waktu sepekan. Daebak.
"Suamimu ganteng ya?" ucapnya tanpa malu sambil sesekali melirik Zain. Yang disebut pun menoleh memberikan senyuman pada Imelda. Diih ... kepedean.
Kini mata keduanya saling bersobok, namun Imelda lebih dulu memutusnya dengan menunduk. Nampak wajah ayunya yang mengulum senyum.
"Maaf ya, aku gak bisa lama-lama, aku harus kembali sore nanti." Imelda bernarasi.
Sudah enam bulan terakhir Imelda merantau ke ibukota. Dia membuka butik di kota tersebut dengan kakaknya. Ayah ibunya merupakan orang yang cukup kaya di desa kami, maka tidaklah sulit bagi Imelda untuk mewujudkan cita-citanya dengan dukungan dari orang tua.
"Jangan lupa kabari ya, kalo sudah sampai." Aku menunjukan jari kelingking dan ibu jari di dekat telinga, sebagai kode untuk meneleponku. Imelda mengangguk, lalu memelukku setelah berpamitan. Tidak lupa juga berjabat tangan dengan sang mempelai pria.
"Makanlah!" Zain menyodorkan sebuah puding pada piring kecil yang terlihat begitu menggiurkan. Setelah tamu yang datang mulai berkurang.
Seluruh waktuku tersita untuk menghormati para tamu, sehingga aku lupa belum memakan apapun dari pagi. Akan tetapi, aku masih enggan menerima pemberian pria itu, meski perutku kini sudah sangat lapar.
"Ambillah, aku tau kamu belum makan apapun. Tanganku juga mulai kebas." Zain menatapku dengan tatapan yang ... entahlah. Aku terlalu lapar untuk mengartikan tatapannya.
"Aku tidak lapar," ucapku lalu membuang muka darinya.
Baru tiga langkah aku pergi meninggalkan tempatku berdiri lalu ....
BRUGH...
Aku terjatuh. Saat kutelusuri penyebabnya, ternyata Zain menginjak ekor gaunku. Kini semua pasang mata melihat ke arahku. Malu pun tak bisa dihindari.
"Pingsan." Perintahku pada diri sendiri.
Ah sial, kenapa aku tidak juga pingsan dan masih tetap terjaga.
Ini adalah karya pertamaku, mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan tanda baca yang bisa mengurangi konsentrasi membaca kalian.
Tolong dukungannya, buat naikin mood boster.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
🥀
bagus kak lanjut kak. semangat dan sukses kak
Loser man mampir nih.
mampir juga di loser man ya kak
ya semuanyaa.
2023-02-27
0
Kaka El
Dari awal baca, ceritanya cukup seru.
Lanjut....
2023-01-24
1
I Smile
lanjut kak
2023-01-17
1