Setelan Pabrik

Saat hampir mendekati restoran tempat mama menunggu, Zain menghentikan langkahnya. Memutar tubuhnya menghadap ke arahku yang saat ini berada di belakang Zain.

Zain membuat kode dengan tangan agar aku mendekat padanya. Setelah memangkas jarak hingga tinggal satu jengkal, Zain menundukkan kepala. Kini wajah kami benar-benar dalam satu garis lurus.

Mataku mengerjap beberapa kali saat kami bertatap selama beberapa detik. Hembusan napasnya dapat tercium dengan jarak yang begitu dekat. Menelan saliva yang sebelumnya mudah, kini menjadi hal yang sulit untuk kulakukan.

Perasaan aneh itu kembali lagi. Perasaan yang kurasakan saat Zain menyebut nama ayahku, setelah namaku di depan penghulu dan para saksi. Perlahan kupejamkan mata seiring wajah Zain yang semakin mendekat tak berjarak.

"Jangan asal ngomong di depan mama sama papa," bisik Zain tepat di telingaku.

Ku lebarkan mata dengan sempurna. Aroma napas Zain benar-benar membuatku mabuk. Issh ... ada apa dengan pikiranku? Mungkin otakku butuh disapu dan dipel.

"Ngomong gitu aja pake bisik-bisik segala," ujarku penuh penekanan, tak lupa ngambek juga, aku kecowa, eh kecewa. Tuh kan Zain cuman nyengir kuda. Pasti sengaja.

"Gandengan aja, dulu," celotehnya lalu menarik tanganku ke dalam genggamannya. Tangan Zain begitu ajaib, karena mampu mengalirkan arus pendek hingga membuat jantungku bergetar hebat. Satu katalah, bikin ketagihan.

"Zain?" Suaraku memecah keheningan setelah berjalan beberapa saat. Kupandangi wajah menawan milik lelaki di sampingku.

"Ya." Zain menoleh, kembali tatapan kami dipertemukan.

"Gak jadi." Aku membuang muka. Auranya mengandung kloroform. Membuatku terbius seketika, tak mampu lagi berkata-kata, apalagi menyatakan cinta.

"Jaga image, jangan asal ceplos." Zain kembali mengingatkan. Aku pun kembali menatapnya, lalu menganggukan kepala.

Kuedarkan pandangan memenuhi seluruh ruangan restoran dan berhenti pada sebuah meja di samping kaca. Keluarga suamiku juga waliku telah menunggu kami di sana.

Zain memundurkan kursi dan mempersilahkanku duduk. Sedangkan Zain memilih duduk di kursi yang ada di sebelahku. Memang hanya itu satu-satunya kursi yang tersisa.

"Zain, kalian menginap lah di sini beberapa hari, Papa sama Mama harus kembali malam ini, pekerjaan Papa tidak bisa ditinggal." Papa Hendra memulai percakapan setelah menyantap makan malamnya.

"Zain juga akan kembali, Pah," jawab Zain setelah meneguk minumannya.

"Ngga bisa dong, kasihan Rayya, pasti cape," ujar mama Renata, lalu meraih tanganku, dan melayangkan senyuman hangat yang wajib aku balas.

"Kalian boleh pulang, setelah berbulan madu!" imbuh mama lagi. Membuat otakku traveling saja si mama mertua.

"Zain sudah membahas bulan madu kami bersama Rayya, jadi Mama tak perlu mengkhawatirkan tentang bulan madu kami."

"Kapan ki_"

Zain langsung menoleh ke arahku dan memberikan kerlingan mata, langsung kupahami kode tersebut dengan menutup mulut.

"Zain sudah menyiapkan rumah untuk kami tinggal, jadi kami akan langsung pulang kerumah itu, alih-alih pergi bulan madu." Zain kembali melanjutkan ucapannya yang sempat terpotong olehku.

"Ya sudahlah, kalo itu memang keputusan kalian. Tapi Mama tidak tahu, kamu sudah mempersiapkan rumah Zain?"

"Kejutan Mah," ucap Zain tersenyum bangga. Aku mah ikut skenario Allah, saja.

"Tante juga pulang malam ini, anak-anak harus sekolah besok." Tante Aira juga ikut bersuara, dari sorot matanya terlihat ada kesedihan yang mendalam.

Om Rahman sebagai suami siaga langsung menggenggam tangan bidadari surganya itu. Ia paham wanitanya begitu berat melepas keponakan cantiknya meninggalkan rumah begitu cepat dengan pria yang baru menghalalkannya.

"Zain akan menjaga Rayya tante. Tante tak perlu mengkhawatirkan apapun tentang Rayya." Ucapan Zain membuat hatiku menghangat seketika. Ada haru juga ragu, bolehkah aku juga percaya pada orang yang kini bersetatus suami?

"Kak Rayya, ikut pulang kan, Mah?" celoteh Gea si bungsu mencairkan suasana aneh di meja makan.

Gea adalah keponakan kecilku yang menggemaskan, putri bungsu pasangan romantis Aira Nadila dan Rahman Putra. Pasangan suami istri yang sangat berjasa dalam membentuk karakterku, setelah kepergian ayah untuk selamanya.

"Kak Rayya di pinjam dulu yah, sama kak Zain." Zain membalas celotehan gadis imut di depannya dengan penuh kehangatan. Bahkan Zain tidak ragu untuk membersihkan sisa saus yang menempel pada pipi sang bocah.

"Kak Zain ngga berani yah, bobo sendiri?" Seketika semua pasang mata tertuju pada gadis yang lebih besar dari Gea.

Namanya Saffa, anak sulung tante Aira yang kini sedang beranjak remaja. Jangan banyak berkomentar dengannya, kalau tidak ingin pembicaraan berlarut hingga pagi menjelang.

Makan malam yang penuh rasa berakhir hingga tengah malam. Setelah saling berpelukan ria yang tak lupa sedikit drama air mata. Akhirnya aku dan Zain melepas kepulangan mereka satu persatu. Melambaikan satu tangan dan tangan yang lain saling bergandengan.

Setelah kepergian mereka hilang dari jarak pandang, Zain menghentakkan tangannya untuk melepas genggaman.

Mengelap sang tangan menggunakan kaos yang dikenakan. Tuh kan, mulai lagi kesetelan pabrik.

Perjalanan kembali ke kamar hotel tak lagi sama seperti sebelumnya. Kami lebih layak disebut tidak saling mengenal. Kesepakatan yang diinginkan Zain kembali mengusik pikiran, semoga saja aku bisa bertahan dengan apapun yang akan menghadang di depan.

Sikap yang Zain tunjukkan pada keluarga tante Aira saat makan malam membuatku percaya, setidaknya dalam hati Zain memang ada sebuah kehangatan. Meski tidak Zain tunjukkan saat bersamaku.

Zain langsung merebahkan diri di ranjang, dan tak berapa lama mata itupun kini telah terpejam. Aku hanya berani menatapnya dari kejauhan, takut kena pasal. Aku yang memang telah tertidur sore tadi, tak bisa lagi untuk memejamkan mata.

Waktu semakin cepat berlalu namun mataku masih enggan terpejam, padahal sudah jam dua pagi. Tak ingin lebih banyak membuang waktu untuk menatap layar handphone, kuputuskan menuju kamar mandi.

Di awali dengan mencuci sela jari tangan, lalu berkumur sambil membersihkan hidung, membasuh muka, mencuci tangan hingga siku, membasuh sebagian rambut dan telinga, lalu di akhiri dengan membasuh kedua kaki. Setelah itu kembali ke dalam kamar.

"Mau ngapain?" tanya Zain saat aku mengambil mukena di atas nakas, yang berada di sebelah ranjang tempat Zain tidur. Kutunjukan mukena dalam tanganku padanya.

Ternyata Zain memiliki sensitivitas yang tinggi. Dengan mudahnya ia terbangun, padahal aku sudah berusaha untuk melangkah setenang mungkin.

"Tunggu aku," ucapnya lagi. Kemudian bangun dan berlalu menuju kamar mandi.

Kubentangkan dua sajadah. Aku duduk menunggu Zain bersiap di atas sajadah yang kubentangkan di belakang. Ini akan menjadi momen pertama bermunajah kepada Allah di sepertiga malam bersama suami.

"Assalamualaikum warahmatullah." Zain mengucapkan salam terakhir dan diikuti olehku sebagai makmum.

Ku'ulurkan tanganku bersiap menyambut tangan Zain seperti dalam kebanyakan drama romance setelah selesai sholat. Sayangnya salah skenario, Zain malah langsung berdiri tanpa menoleh ke arahku.

Astaghfirullah ... tidak ada yang berjalan sesuai rencana jika melibatkan Zain Habibi.

"Kamu ngapain?" Suara Zain mengejutkanku yang masih terpaku dengan tangan menggantung.

"Nabok nyamuk!"

Terpopuler

Comments

🥀

🥀

keren bet. nabok nyamuk. ngakak guling guling thor

2023-02-27

0

Rain Mamba

Rain Mamba

Zain yang bikin kesel, tapi Nyamuk yang ditabok.... huhuhu...

2023-01-17

0

Fara F

Fara F

kata dan kalimat mu benar-benar membuatku minder dek...keren banget👍👍...sudah sekelas penulis femes ini

2023-01-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!