Finalis

"Aku akan menggugatmu dengan pasal lain, jika kamu terus memegangi kakiku seperti ini," ucap Zain kembali mengancam.

"Mana ada undang-undang seperti itu!" tukasku tanpa sedikitpun berniat melepas kaki Zain, sebelum dia berubah pikiran tentang konferensi persnya.

"Pasal pelecehan non verbal, sentuhan fisik yang tak diinginkan," ujarnya kemudian yang diikuti gerakan tanganku melepaskan kakinya, namun tidak punya niat melepaskan kain celananya.

Satu masalah belum terselesaikan, tapi akan menambah masalah lain. Benarkah ada undang-undang yang disebutkan oleh Zain? Kemana aku dulu waktu guru menjelaskan tentang perundang-undangan.

"Ini bukan sentuhan," kataku, kemudian langsung mendongakkan wajah, melihat Zain yang sedang menunduk sambil berkacak pinggang. Mata kami saling bertatap beberapa detik kemudian kuputuskan dengan menunduk kembali.

"Perbuatan tidak menyanangkan!" Zain kembali berucap, dan terdengar juga sebuah tawa kecil dari mulutnya.

"Aish ... ada lagi?" Langsung kulepas tanganku, "jauh-jauh dariku, aku tak ingin terlibat masalah hukum apapun denganmu!"

Baru beberapa jam menyandang gelar sebagi istri Zain Habibi, tapi masalah yang datang tak kunjung berhenti. Apa aku bisa berada di dekatnya jika aku menyanggupi kesepakatan itu? Ah ... lebih baik mana sih? Di penjara atau buat kesepakatan? Semoga Zain hanya menindasku, dan melepaskan keluarga tante Aira.

"Siapa juga, yang mau deket sama cewek jorok kaya kamu, dari awal memang aku mau pergi." Zain melangkah menjauhiku setelah aku melepaskan kain celananya.

Seketika aku kembali dilanda kepanikan, saat teringat Zain yang akan pergi untuk konferensi persnya. Saat itu juga kulafazdkan nama sang pria yang berhasil membuatnya kembali menghentikan langkah dan menatapku.

"Mau pipis ke kamar mandi! Ikut juga?" bentak Zain sambil menatapku dengan tatapan yang ... entahlah. Langsung kuanggukkan kepalaku untuk tawaran Zain tersebut.

"Mesum!" ucap Zain lalu menunjukan tangan yang terkepal ke arahku.

Sedikit menggoda Zain nyatanya mampu mengendurkan saraf yang sedari tadi tegang. Untuk selanjutnya, ikuti saja alur yang dibuat Zain, selama ia mau berjanji, untuk tidak mengganggu keluarga tante Aira. Aku akan melakukan apapun, yang diinginkan Zain.

Setelah dua kali menangis dalam waktu beberapa jam ini, membuat semua energiku terkuras dan tubuhku seakan begitu lelah. Sambil menunggu Zain keluar dari kamar mandi, kuletakkan kepala yang juga terasa berat ini keatas sofa.

Aku mengerjapkan mata beberapa kali, yang kuingat saat terakhir, aku hanya menyandarkan kepalaku pada sofa. Mungkin aku tertidur saat itu, tapi aku sama sekali tidak mengingat aku berjalan menuju ranjang. Sebelumnya pun aku tidak memiliki kebiasaan tidur sambil berjalan.

Apakah Zain yang telah memindahkanku? Kemana dia sekarang? Apa saat aku tidur, Zain telah membuat konferensi pers? kemudian bertemu dengan pengacaranya untuk membicarakan penggugatanku? Kenapa aku harus tidur disaat yang genting seperti ini?

"Sudah bangun?" Suara Zain kembali terdengar, dari rambutnya yang basah aku bisa mengetahui bahwa Zain baru selesai mandi.

"Selama aku tidur? Konferensi pers itu? Lalu pengacara?" Zain jelas menatapku dengan tatapan aneh, entah apa yang aku bicarakan, aku sendiri bingung apa yang ingin kuketahui lebih dulu.

"Sudah selesai." Zain berucap datar sambil mengibaskan rambut basahnya seperti kucing setelah mandi. Kenapa pria di depanku terlihat sangat berdamage sekali? Membuatku bingung, apa aku harus khawatir tentang ucapannya, atau harus terpesona. I like your style.

"Zain?" ucapku memanggil namanya dengan lembut.

"Ya." Eksistensi matanya di arahkan padaku.

"Apa kamu duta sampo lain?"

Zain menghela nafasnya, dari raut wajahnya terlihat kebingungan yang begitu kentara. Apa aku salah bicara?

"Dari sekian banyaknya wanita cantik di Indonesia, kenapa aku harus menikah denganmu." Zain bergumam lalu mendongakkan wajahnya ke langit-langit kamar. Nampak begitu jelas, Zain mengharapakan jawabannya turun dari atas.

"Karena aku yang terpilih menjadi finalisnya." Ku acungkan jari telunjuk dan jari tengah di depan wajahku membentuk huruf v, sambil senyum dipaksakan.

Perasaanku begitu lega. Mendengar Zain tidak jadi menggugatku dan mengucapkan kata keramat di depan media. Tapi masih ada satu hal lagi yang mengganjal, Zain belum mengatakan isi dari kesepakatan yang akan dibuatnya nanti. Karena kami harus bergegas menemui mama yang telah menunggu untuk makan malam.

Aku mengenakan dress berwarna mocca dan dipadukan blazer dan pashmina dengan warna yang senada. Ini adalah momen pertamaku makan malam bersama keluarga suami.

Saat aku membuka pintu kamar, aku mendapati Zain tengah bersandar pada dinding. Matanya menatap pada jam yang melingkari pergelangan tangannya.

"Kenapa lama banget sih? hampir satu jam, aku menunggumu hanya untuk mandi!" Wajah Zain terlihat begitu murka. Dia sama sekali tidak memahami konsep wanita yang ingin terlihat menawan di depan ibu mertuanya.

"Cieee perhatian, gak ketemu satu jam aja, udah kangen ya?" ucapku menggoda Zain. Berharap ada revolusi pada wajah Zain menjadi lebih ramah, meski realitanya malah semakin garang.

Zain mengeluarkan jari telunjuk dan menempelkan di keningku. Walau masih dengan ekspresi garangnya tidak bisa kupungkiri, jarinya mengeluarkan energi aneh yang membuat darahku berdesir.

Namun senyumanku pupus sebelum berkembang. Pada saat Zain mendorong jarinya perlahan di keningku. Pada akhirnya aku kena toyor juga. Dasar kulkas dua pintu, tidak bisa diajak bercanda.

"Apa?" Tanyaku saat Zain mengulurkan tangannya kembali setelah aksi toyor sebelumnya.

"Berikan tanganmu," ujar Zain terus menatap ke arah tangan yang ku sembunyikan di belakang tubuh.

"Kenapa?" Aku mendadak ragu untuk menerima uluran tangan tersebut, jangan-jangan ....

Zain mengeluarkan sebuah kotak kecil berwarna hitam dari saku sweater. Setelah Zain membuka tutup kotak dalam genggamannya, nampak sepasang cincin tersemat di dalamnya. Cincin yang membuat heboh para tamu sesaat setelah akad. Karena Zain lupa meninggalkannya di dalam kamar hotel.

Ku'ulurkan tangan kananku setelah mengetahui situasinya. Seketika anganku mampu menyulap lorong hotel yang begitu sepi, menjadi penuh bunga dan lilin yang berjajar di sepanjang mata memandang.

PLAK...

Tamparan keras yang diberikan Zain pada tanganku, ternyata mampu untuk memporak porandakan angan yang telah kubangun. Zain tidak mengharapkan tanganku menghadap ke bawah. Setelah tamparan itu, Zain menggenggam tanganku dan memutarnya seratus delapan puluh derajat.

Mungkin Zain tidak tau, tangan di atas lebih baik dari pada tangan di bawah. Zain curang, maunya enak sendiri di atas, lupa kalo yang di bawah juga ingin naik ke atas.

Aku pikir Zain akan langsung menyematkan cincin tersebut di jari manisku. Adegan diulang dengan aku menyematkan di jari manisnya. Ternyata itu cuma sepotong adegan dalam sebuah drama, tidak berlaku antara aku dan Zain. Kebanyakan ngehalu.

"Pake sendiri," ucapnya setelah memberikan salah satu cincin yang size-nya lebih kecil di telapak tanganku.

"Gak bisa. Tangan kiriku tiba-tiba terserang tremor." Ku tunjukan tanganku yang bergetar pada Zain.

"Aamiin," ucapnya tanpa keraguan sedikitpun.

Ish ... tidak bisa diajak romantisan sedikit.

Terpopuler

Comments

amalia gati subagio

amalia gati subagio

bener2 o on bin ajaib, mudah dibuly terlalu fokus dgn ambisi jaya mulia, lupa siaga ada apa hitungan detik diseret ke penghulu! miris dgn keabsurd an naif!

2023-03-13

0

Rain Mamba

Rain Mamba

Duta Shampo lain, Mas Pantene..

2023-01-17

0

Fara F

Fara F

yah si Zain juteknya itu lho..bikin gemas😠

2023-01-16

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!