Gugatan Penipuan

Hampir saja kutarik rambut itu, jika Zain tidak segera beranjak dari sampingku. Aku mencoba menghirup udara dalam-dalam untuk meredam gemuruh di dada. Keadaan menjadi hening sesaat sebelum pria itu kembali mengoceh.

"Aku akan memberimu banyak uang, jika mau membuat kesepakatan denganku." Zain masih membicarakan kesepakatan, yang aku sama sekali tidak paham maksudnya.

Sekarang ia terduduk di sofa. Mungkin karena sebelumnya melihat perubahan ekspresi di wajahku. Sehingga dengan secepat kilat ia mencoba untuk menghindar.

"Aku tau kamu orang kaya, tapi aku tidak butuh uangmu! Aku menikahimu bukan karena uang, jadi jangan harap uangmu bisa membuatku mau melakukan kesepakatan denganmu." Aku mencoba bernarasi.

Nampak sebuah keraguan menyelimuti raut wajahnya yang menawan. Seolah sedang memeras otak untuk mendapatkan sebuah ide agar bisa membujukku.

"Oke. Aku tidak akan memberimu apapun, tapi kamu akan menjaminkan nama baik keluargamu untuk kesepakatan." Lanjutnya setelah beberapa saat terdiam.

Apa yang diucapkan Zain barusan berhasil membuat mulutku sampai ternganga. Sungguh pria di depanku ini benar-benar sangat picik, teganya ia menyeret keluargaku untuk mendapatkan keinginannya.

"Aku tidak mau! Tidak akan pernah. Titik!" Aku benar-benar geram dibuatnya. Untuk apapun itu, aku tidak sudi membuat kesepakatan.

"Kalau begitu, nantikanlah berita besok pagi," ucapnya terlihat enteng, seolah telah mendapatkan apa yang ia inginkan.

"Maksudmu?" tanyaku menuntut sebuah penegasan.

"Besok pagi akan muncul berita. Seorang CEO menceraikan istrinya setelah menikah, karena sang istri hanya menginginkan hartanya. Bukan besok pagi, tapi segera," jawabnya kemudian.

Wajah Zain dipenuhi dengan rona bahagia setelah mengungkapkan ide gilanya tersebut. Mungkin dia berpikir bisa dengan mudah menaklukkanku hanya dengan gertakan seperti itu.

"Aku baru tau, selain CEO ternyata kamu seorang netizen bermulut tajam. Apakah dengan membuat berita bohong seperti itu kamu puas menindasku?"

Ternyata tidak cukup bagi Zain mengancamku dengan kata keramat, kini dia malah ingin menggunakan berita hoax sebagai umpan. Sungguh out of the box. Tidak waras memang.

"Lakukan, kita akan bertemu lagi di meja persidangan," ucapku sengaja menantang. Sesungguhnya aku tidak memiliki apapun untuk melawan Zain, selain dari nyali dan harga diri.

Jika Zain benar-benar akan menyebarkan berita hoax tersebut, kurasa hanya akan merugikan perusahaannya. Aku tidak akan kehilangan apapun, karena dari awal aku memang tidak memiliki apapun untuk dipertaruhkan.

Zain hanya menanggapi tantanganku dengan sebuah senyuman yang sangat sulit diartikan. Tangannya meraba saku tuxedo yang masih melekat pada tubuhnya. Mengeluarkan benda pipih dari dalamnya, dan segera memencet nomor yang entah milik siapa.

Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Zain berbicara dengan seseorang dari seberang telepon. "Rend, siapkan pengacara terbaik kita untuk menggugat wanita bernama Rayya Khairunisa. Siapkan juga konferensi pers malam ini, aku akan menceraikannya di depan semua media."

Aku tidak percaya Zain akan melakukan hal itu, apa yang akan terjadi denganku selanjutnya? Aish ... kenapa aku harus terjebak dengan pria semacam Zain. Ya Allah ... apa dosaku sangatlah besar? Hingga kau timpakan ujian padaku dengan begitu berat.

Aku hanya bisa memegangi dada, saat pria di depanku mengoceh dengan orang di seberang telponnya. Dadaku begitu terasa sesak. Tidak kuduga itu bukan hanya sekedar gertakan belaka. Tamat sudah riwayatku.

"Kamu akan dijerat dengan pasal 368 KUHP atas dasar penipuan dan pemerasan, silahkan kembali pada walimu sekarang. Aku juga harus mempersiapkan diri untuk konferensi pers," ucap Zain lalu berdiri dan merapihkan kembali tuxedo yang dia kenakan.

"Tunggu!" Suaraku menghentikan langkah Zain yang hendak memegang handle pintu. Sedetik kemudian memutar badannya kembali, ke arahku.

"Apalagi? aku sudah tidak akan merubah keputusanku." Dengan gaya sok elegannya, Zain menatapku seperti elang yang ingin mencengkeram anak ayam.

"Beri aku waktu sedikit lagi." Aku memohon pada Zain sambil mengatupkan kedua tanganku di depan dada.

Dadaku bergetar hebat saat Zain mengancam menggunakan pasal. Aku tidak menyangka masalah sepele ini akan berujung pada kasus hukum. Tidak menutup kemungkinan, hal itu bisa mengurungku di balik jeruji besi.

Aku langsung mencari handpone milikku, yang sebelumnya masih tersimpan rapi dalam tas yang belum kusentuh dari pagi. Aku tidak peduli dengan Zain yang terus menatapku. Aku masih belum ingin menyerah, meski rasa takut telah menguasai seluruh pikiranku.

Setelah menemukan benda ajaib tersebut, langsung kubuka aplikasi bergambar mikrofon dan mengetik tentang pasal yang disebutkan Zain. Aku juga sudah tidak peduli dengan banyaknya chat yang masuk pada benda pipih dalam genggamanku.

Kubaca dan kupahami isi dari pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan penipuan, yang sejatinya bukan aku tersangkanya melainkan Zain. Seharusnya aku diposisi penggugat bukan malah sebaliknya. Dengan hukuman paling lama sembilan tahun penjara tidak mungkin kuabaikan begitu saja.

"Kamu tidak akan menang melawan pengacaraku." Zain dengan pongah mengatakannya. Setelah aku mengutarakan bahwa Zain lah yang menipuku.

"Tidak hanya kamu, aku juga akan menuntut keluargamu karena telah bersekongkol denganmu untuk menguras hartaku." Sangat tidak terduga, dengan mudahnya Zain memutar balikkan fakta.

Dadaku begitu bergemuruh menahan amarah. Pelupuk mataku juga sudah terasa panas, tidak mungkin lagi membendung air mata yang terus memaksa menghancurkan benteng pertahanan.

Aku tidak akan membiarkan pria picik itu menyentuh kelurga tante Aira. Namun nyaliku menciut, bersama dengan luruhnya air mata. Aku menyerah, duduk bersimpuh di hadapan sang pria. Selamat tinggal harga diri.

"Apa kesepakatan itu masih berlaku?" tanyaku penuh harap.

"Tidak! Kesempatan itu sudah kamu sia-siakan."

"Tolong ... aku akan menuruti semua permintaanmu," ucapku memohon sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.

Zain berjalan mendekat dan ikut berjongkok menyejajarkan tubuhnya denganku. Nampak Zain menghela napasnya perlahan, sebelum membantuku berdiri dari bersimpuh, dan membimbing langkahku untuk duduk di sofa. Lalu menyodorkan saputangan andalan berwarna merah muda yang pernah kutolak.

Tak hanya air mata yang harus kuseka, air hidung yang menggenang pun butuh penanganan. Hingga tak bisa kusiakan uluran saputangan Zain. Setelah semua hajat terselesaikan, kukembalikan lagi sang saputangan.

"Jorok," tukas Zain sambil menjinjing sapu tangan yang kulempar sembarang ke pangkuannya.

"Kesepakatan batal! Aku akan pergi ke konferensi pers." Zain langsung berdiri dari duduknya dan hendak melangkah pergi. Seketika tanganku lebih cepat meraih kakinya.

Aku lupa hal kecil bisa membangunkan singa pemarah yang ada dalam diri Zain. Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung melorotkan tubuhku dari sofa, untuk kembali bersimpuh memohon belas kasihan.

"Maaf ...." Dari sekian banyaknya kalimat yang ada di dunia ini, aku hanya mengingat kata tersebut sambil merutukki kecerobohanku.

"Lepaskan!" teriak Zain, sambil mencoba melepaskan tanganku yang semakin erat melingkar di kakinya.

"Tidak! Sebelum kamu janji tidak akan menggugatku."

Terimakasih sudah mampir di karyaku.

Tolong dukung terus karya ini ya, save juga sebagai favorit.

Terpopuler

Comments

amalia gati subagio

amalia gati subagio

selain malu apa lg yg dipertaruhkan? skema jebakan utk yg halu, serakah, o on sih bisa ya

2023-03-13

0

Kaka El

Kaka El

Cerita bagus begini,kok masih sepi?

2023-01-24

1

Rain Mamba

Rain Mamba

ish ish ish, Zain Habibi minta diganti jadi Zain Malik nih..

2023-01-17

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!