"Kesepakatan?"
Aku mengerutkan dahi, mengulangi ucapan pria yang kini menarik wajahnya menjauhiku, setelah membisikkan beberapa kata. Aku menghela napas sesaat, mengingat wajah pria di sampingku saat pertama kali bertemu.
Aku dan sang pria bertemu tepat sepekan yang lalu. Dia beserta keluarganya datang kerumah waliku, dan mengutarakan niatnya untuk menjadikanku sebagai istrinya.
Tampan, itulah penilaian pertama. Meski ada hal lain yang juga membuatku mau menerima perjodohan dengannya. Tante Aira sebagai wali juga ikut menguatkan keputusanku saat itu.
"Tante sudah bertemu Zain beberapa kali, dia anaknya baik kok." Tante Aira mempromosikannya saat itu.
Zain adalah anak dari sahabat tanteku, mereka tetap menjalin tali silaturahmi setelah memiliki kesibukan mengurus keluarga masing-masing. Tante Aira sering menginap di rumah tante Renata, mamanya Zain. Bila harus ke Jakarta mengikuti suaminya untuk seminar.
Kenyataan yang aku dapat dari pria yang baru dua kali ketemui ini berbeda. Dia ingin membuat kesepakatan di dalam pernikahan. Namun, kenapa harus diutarakannya sekarang, sesaat setelah akad dilangsungkan.
"Aku tidak bisa," jawabku untuk kalimat yang ia bisikkan tadi.
Pria yang hanya berjarak dua langkah dariku menoleh ke arahku kembali, memangkas jarak dan menenggelamkan kepalanya di antara leher dan pipiku.
"Aku akan menalakmu sekarang juga." Pria ini kembali menegakkan tubuhnya setelah membisikkan kalimat tersebut. Senyum mengembang di sudut bibirnya sambil menatap ke arah tamu undangan yang tengah menikmati jamuan.
"Di depan mereka semua," lanjut pria ini menegaskan ucapan sebelumnya.
Kutatap wajah kerabat dan temanku yang terlihat begitu bahagia. Sungguh tidak bisa kubayangkan perubahan ekspresi wajah mereka saat mendengar Zain Habibi menalakku. Beberapa menit setelah mengucapkan ijab qobul, dan menjadikanku sebagai istrinya yang SAH.
Hari ini adalah impianku. Aku berdiri dengan gaun pengantin rancangan sahabatku, bersanding dengan seorang pria tampan dalam pelaminan penuh bunga. Persis seperti do'a yang selalu kupanjatkan di sepertiga malam. Sayangnya bukan dengan jalan cerita seperti ini, aku lupa mendetail do'a.
"Apa kamu sedang bercanda?" tanyaku pada pria yang kini berdiri di sebelahku.
"Kau tau apa yang mereka gunjingkan tentangku, karena pernikahan mendadak ini?" suaraku begitu bergetar menahan kesedihan juga amarah dalam dada.
Wajah Zain nampak biasa saja, bahkan setelah aku mengungkapkan keresahanku. Apa dia tidak punya hati? Setidaknya sedikit saja tunjukan rasa simpati itu dan bertanya tentang ucapan yang tidak kuselesaikan.
Memang benar. Pria berpakaian tuxedo lengkap berwarna abu-abu muda, yang serasi dengan gaun yang kukenakan saat ini memang tidak punya hati. Dia tidak mungkin memiliki niat mengucapkan kata keramat setelah kata sakral, jika memang punya hati.
Bagaimana aku akan menghancurkan semuanya? Bolehkah kusudahi saja semua? Sebelum aku terlanjur melangkah lebih jauh dari ini. Bagaimana dengan tanteku yang kini terlihat begitu bahagia.
Para tetangga yang tertawa, sambil menikmati jamuan di pesta pesakitanku, mereka pasti akan membuat rumor baru, setelah sebelumnya mengabarkan aku hamil di luar nikah. Sungguh mereka tidak tau prinsipku tentang jomblo fisabilillah.
Mungkin mereka terlalu iri padaku yang diam-diam menyebar undangan sebelum putri mereka, yang sangat mereka banggakan. Karena sering dijemput pria asing dan sering berganti-ganti pasangan. Jika Zain benar-benar mengucapkan kata keramat itu, bukankah mereka akan tertawa lebih keras?
Tak terasa bulir bening menerobos dari naungannya. Definisi sakit tidak berdarah, hatiku lebam dihantam kenyataan. Aku hanya bisa tertunduk menatap hand bouket dari mawar putih, yang semakin erat kugenggam.
"Kita bicarakan nanti," ucap pria bermata coklat terang di samping yang mengetahui kehadiran air mataku, seraya menyodorkan sebuah sapu tangan bergambar bunga tulip berwarna merah jambu. Saputangan yang cukup girly.
Zain mendecih, karena uluran sapu tangannya tak kunjung kuraih. Aku lebih memilih menyeka air mataku dengan punggung tangan. Biar dia tau bagaimana lelahnya diabaikan.
"Rayya!"
Aku menoleh ke arah sumber suara, yang sebelumnya sedang bersitatap dengan Zain. Mataku menangkap sosok tante kesayanganku dengan balutan gaun berwarna abu muda dan hijab dengan warna senada. Wajahnya sangat cantik, dihiasi dengan senyum yang begitu merekah.
"Selamat ya sayang," ucapnya sambil menyeka sisa air mata di pipiku, lalu merengkuhku ke dalam pelukannya.
"Sekarang kamu adalah seorang istri, jagalah martabat dan kewibawaan suami. Jadilah istri yang soleha yang bisa membantu suami berbakti kepada kedua orangtuanya. Juga peneduh pandangan bagi suami, karena suamimu bisa menjadi Surga untukmu."
Juga menjadi Neraka bagiku, jawabku dalam hati. Perlahan pelukan tersebut dilepaskan. Kulihat matanya berkaca-kaca dan bibirnya memaksakan sebuah senyuman. Tanpa mengucapkan sepatah kata lagi, lalu bergeser dua langkah ke sampingku.
Zain menanggapi ucapan tante Aira dengan senyuman. Aku dititipkannya pada pria yang kini bersetatus sebagai suamiku. Tanteku menaruh harapan yang besar pada lelaki yang telah meremukkan hatiku sesaat setelah akad. Bagaimana jika tante tahu topeng sesungguhnya yang menutupi wajah Zain, apa dia juga mau melepaskan keponakannya ini pada lelaki itu?
Beberapa kerabat pun mulai mendekat, mengucapkan kata selamat yang semakin membuat hatiku terasa tersayat. Mungkin setelah mereka pergi, pernikahanku juga akan segera tamat. Sungguh, duniaku benar-benar seperti akan kiamat.
Gadis dengan gaun ungu muda yang melekat di tubuhnya pun tidak lupa mengucapkan beberapa kalimat. Sorot matanya menggambarkan betapa bahagianya ia, melihat gaun pengantin rancangannya tersemat indah pada bidadari di hadapannya. Imelda, sahabatku sejak SMA yang telah berjuang keras membuat gaun pengantin dengan waktu sepekan. Daebak.
"Suamimu ganteng ya?" ucapnya tanpa malu sambil sesekali melirik Zain. Yang disebut pun menoleh memberikan senyuman pada Imelda. Diih ... kepedean.
Kini mata keduanya saling bersobok, namun Imelda lebih dulu memutusnya dengan menunduk. Nampak wajah ayunya yang mengulum senyum.
"Maaf ya, aku gak bisa lama-lama, aku harus kembali sore nanti." Imelda bernarasi.
Sudah enam bulan terakhir Imelda merantau ke ibukota. Dia membuka butik di kota tersebut dengan kakaknya. Ayah ibunya merupakan orang yang cukup kaya di desa kami, maka tidaklah sulit bagi Imelda untuk mewujudkan cita-citanya dengan dukungan dari orang tua.
"Jangan lupa kabari ya, kalo sudah sampai." Aku menunjukan jari kelingking dan ibu jari di dekat telinga, sebagai kode untuk meneleponku. Imelda mengangguk, lalu memelukku setelah berpamitan. Tidak lupa juga berjabat tangan dengan sang mempelai pria.
"Makanlah!" Zain menyodorkan sebuah puding pada piring kecil yang terlihat begitu menggiurkan. Setelah tamu yang datang mulai berkurang.
Seluruh waktuku tersita untuk menghormati para tamu, sehingga aku lupa belum memakan apapun dari pagi. Akan tetapi, aku masih enggan menerima pemberian pria itu, meski perutku kini sudah sangat lapar.
"Ambillah, aku tau kamu belum makan apapun. Tanganku juga mulai kebas." Zain menatapku dengan tatapan yang ... entahlah. Aku terlalu lapar untuk mengartikan tatapannya.
"Aku tidak lapar," ucapku lalu membuang muka darinya.
Baru tiga langkah aku pergi meninggalkan tempatku berdiri lalu ....
BRUGH...
Aku terjatuh. Saat kutelusuri penyebabnya, ternyata Zain menginjak ekor gaunku. Kini semua pasang mata melihat ke arahku. Malu pun tak bisa dihindari.
"Pingsan." Perintahku pada diri sendiri.
Ah sial, kenapa aku tidak juga pingsan dan masih tetap terjaga.
Ini adalah karya pertamaku, mohon maaf jika ada kesalahan dalam penulisan dan tanda baca yang bisa mengurangi konsentrasi membaca kalian.
Tolong dukungannya, buat naikin mood boster.
Senyuman Zain tidak bisa disembunyikan dari raut wajahnya. Dia terlihat begitu bahagia melihat mempelai wanitanya terjatuh di pelaminan. Sungguh, hari naas ini tidak akan aku lupakan di sepanjang sisa hidupku.
Tidak bisa lagi kuabaikan uluran tangan Zain. Dengan terpaksa aku meraihnya untuk menopangku berdiri kembali. Aku berpura mengibaskan debu yang sama sekali tak nampak di gaunku.
"Tolong hapus vidio yang kalian rekam saat istriku jatuh, jika kalian sampai menyebarkannya aku akan menuntut kalian," ucapnya seperti pahlawan.
Tidak heran dengan warga plus enam dua. Disaat orang lain yang terkena musibah, saat itulah mereka dengan sigap mengeluarkan handphone untuk mengabadikan aib orang. Sudah tidak ada toleransi memang. Meski tidak semuanya.
"Rayya, kamu gak papa?" Mamanya Zain datang dengan begitu tergopoh mendekatiku.
"Gak papa Tante, gak sakit, cuma malu," ucapku sambil menunduk.
Zain menyembunyikan wajahnya di antara wajahku. Suara tawanya terdengar dengan jelas di telingaku, mungkin di telinga tante Renata juga.
"Aww." Zain menjerit lirih saat kuhadiahkan sebuah cubitan kecil di perutnya. Tanda apresiasi karena telah mentertawakanku.
PLAK...
Sebuah tamparan juga dihadiahkan dari tante Renata tepat di bahu Zain. Karma dari mentertawakan menantunya.
"Kamu ini, ikut-ikutan orang aja, istri sendiri kok diketawain." Raut wajah tante Renata sangat jelas jika ia geram dengan putranya tersebut.
"Kan udah Zain bantuin Mah," jawabnya membela diri.
"Habis dibantuin ya gak diketawain juga, ditanya mana yang sakit, apa yang sakit, ngga bertanggung jawab banget jadi suami." Tante Renata uring-uringan seperti membela anaknya sendiri.
"Rayya tadi udah bilang. Gak ada yang sakit, cuma malu. Zain bisa apa berhadapan dengan malu," ucapnya lagi tidak ingin disalahkan.
Aku memutar bola mata jengah. Melihat kelakuan ibu dan anak di hadapanku yang sama-sama tak mau mengalah. Fix, mereka anak dan ibu kandung.
"Kamu gak papa?" Tante Aira dan dua sepupu kesayanganku pun ikut mendekatiku. Tidak kupungkiri ada kecemasan di wajah mereka, meski senyuman lebih mendominasi.
"Gak papa Tante." Kupeluk sepupuku yang sedari pagi tidak memiliki kesempatan berdekatan denganku.
"Kamu sudah makan?" tanya tanteku lagi.
"Rayya belum makan apapun Tante, makanya oleng." Pundak Zain kembali kena pukul dari mamanya.
Zain sudah menjawab pertanyaan tante Aira sebelum aku mengkonfirmasi. Dia mungkin lupa siapa yang membuatku jatuh. Issh ... aku mencebik sambil mengangkat sebelah ujung bibirku.
"Kalo gitu makan dulu gih, ntar pingsan!" Tante Renata mamberi perintah.
"Iya Tante," jawabku sedikit malu-malu bercampur kesal. Aku maunya pingsan pas jatuh tadi.
"Ko tante, panggil mama dong." Pintanya dengan wajah memelas.
"Iya, M-ma." Sedikit berat, tapi nanti juga terbiasa.
Pada akhirnya aku dan tante Aira beserta kedua anaknya pergi dari pelaminan naas itu. Meninggalkan tante Renata dan Zain untuk menghormati beberapa tamu yang tersisa.
°°°°°°°°°°°°
Setelah seharian menyambut para tamu, akhirnya aku mendapatkan kesempatan untuk mengistirahatkan jiwa dan raga. Kurebahkan tubuh yang menyimpan hati remuk ini, pada kasur berseprai putih, yang penuh taburan kelopak mawar merah. Mataku nanar menatap langit-langit kamar.
Kembali teringat kata yang dibisikan Zain setelah akad. Zain memintaku untuk melakukan akting sebagai seorang istri. Tanpa berakting, bukankah aku seorang istri yang sesungguhnya? Aku hanya ingin menjawab aku tidak bisa berakting, kenapa Zain malah ingin mengucapkan kata keramat.
Di balik wajahnya yang menawan ternyata menyimpan sikapnya yang arogan. Hanya karena tak sependapat dengannya, langsung seenaknya ingin menalak istri di depan semua orang. Issh ... kekanakan.
KLERK...
Suara pintu terbuka memenuhi indra pendengaran. Aku berpura memejamkan mata dan tetap diam. Malas bicara dengan orang bernama Zain.
"Rayya."
"Rayya!"
"Rayya Khairunisa binti Abdul Aziz, aku tau kamu belum tidur!" bentak Zain.
"Jangan sebut nama ayahku, Zain Habibi bin Hendra Markus." Aku pun mengerucutkan bibir.
Pada akhirnya aku bangun dan duduk di tepi ranjang. Melipat tangan di depan dada sambil menatap wajah Zain yang sudah merah padam. Entah apa lagi yang akan dia lakukan. Setelah pagi tadi ingin menalakku, kali ini mungkin akan segera terealisasi.
"Tidak sopan menyebut nama papa," ucapnya ketus. Pria yang satu ini mungkin mengalami amnesia jangka pendek, sehingga langsung lupa siapa yang memulai menyebut nama ayah.
"Kita buat kesepakatan sekarang." Suaranya kembali terdengar tenang. Pandai sekali Zain berakting, setelah beberapa saat yang lalu terlihat begitu murka, kini wajah itu kembali teduh.
"Aku tidak bisa," ucapanku juga ikut tenang, mungkin karena auranya yang begitu kuat, sehingga membuatku ikut terhanyut dengan wajah itu.
"Apa kamu menolakku!" Dalam sekejap Zain mengubah suaranya dalam nada tinggi. Aku tarik perkataan sebelumnya. Zain adalah bunglon, waspadalah.
"Kenapa harus berakting? Tanpa itupun aku adalah istrimu." Kutegaskan statusku. Zain sendiri yang telah membuat status itu pagi tadi, di hadapan Allah, di depan penghulu dan para saksi.
Zain merubah gerak tangannya yang semula berkacak pinggang, kemudian mengusap wajah dan mengacak rambutnya sendiri. Lalu menyeringai tanpa arti.
"Apa kamu berpikir kamu adalah istriku?" Terlihat jelas eksistensi kornea matanya menatapku, seolah menginginkanku mengatakan tidak. Akan tetapi, aku menolak, aku lebih memilih untuk mengangguk.
Zain menggeram, tak ubahnya seekor kucing yang kehilangan makanannya. Kali ini tidak terlihat menakutkan, hanya sedikit lucu. Perlahan Zain berjalan menghampiriku, dan berhenti tepat di hadapanku. Mata kami saling bertatap, nampak jelas Zain menghela nafas dengan kasar, dan ....
TAK...
"Aw." Kupegang jidat bekas Zain menjentikan jarinya di sana, sangat perih. Teganya seorang suami melakukan kekerasan pada istrinya.
"Salahku apa lagi?" tanyaku pada pria yang masih berdiri di hadapanku tanpa merasa bersalah.
"Buang jauh-jauh pikiranmu yang menganggapku suami sesungguhnya."
Aku semakin tidak mengerti, "Terus? Aku harus menganggapmu suami jadi-jadian?"
"Maka dari itu, kita harus membuat kesepakatan." Zain malah memilih duduk tepat di sebelahku, dari semua tempat yang begitu luas ini, mungkin karena lelah terlalu lama berdiri.
"Kesepakatan itu harus menguntungkan dua pihak, kamu tidak bisa membuat kesepakatan hanya untuk menguntungkan dirimu sendiri." Aku sedikit menjelaskan agar Zain tidak membuat kesepakatan apapun denganku. Jujur, aku masih tidak bisa memahami apa yang ada dalam pikiran Zain.
Jika Zain masih belum bisa melakukan kewajiban sebagai seorang suami, aku bisa memahami. Aku pun masih canggung untuk memberikan haknya. Pelan-pelan saja, aku mengerti kami menikah bukan karena cinta, tapi insyaallah pernikahan ini yang akan menghadirkan cinta.
"Kenapa wajahmu memerah? Apa karena aku duduk di sampingmu jadi kamu sekarang berpikiran mesum?"
Pernyataan Zain membuatku terhenyak, aku memang sedang memikirkan ... mesum? Astaga ... dia menganggapku mesum?
"Jangan macam-macam, aku melarangmu jatuh cinta padaku." Langsung kutepis jari telunjuk yang Zain arahkan ke wajahku.
"Pernikahan kita bohongan, kamu tidak boleh menyukaiku. Aku tau itu sangat berat bagimu. Tapi aku serius! jangan jatuh cinta padaku. Aku tidak bisa membalas perasaanmu!"
Kedua tanganku mulai terkepal, seiring nafas yang memburu dengan dada yang naik turun. Setelah mendengar pernyataan Zain, entah mengapa terasa ada yang berbeda saat aku kembali menatap potongan rambutnya. Rasanya ... Ingin kujambak rambut itu.
Diih ... sok kecakepan.
Hampir saja kutarik rambut itu, jika Zain tidak segera beranjak dari sampingku. Aku mencoba menghirup udara dalam-dalam untuk meredam gemuruh di dada. Keadaan menjadi hening sesaat sebelum pria itu kembali mengoceh.
"Aku akan memberimu banyak uang, jika mau membuat kesepakatan denganku." Zain masih membicarakan kesepakatan, yang aku sama sekali tidak paham maksudnya.
Sekarang ia terduduk di sofa. Mungkin karena sebelumnya melihat perubahan ekspresi di wajahku. Sehingga dengan secepat kilat ia mencoba untuk menghindar.
"Aku tau kamu orang kaya, tapi aku tidak butuh uangmu! Aku menikahimu bukan karena uang, jadi jangan harap uangmu bisa membuatku mau melakukan kesepakatan denganmu." Aku mencoba bernarasi.
Nampak sebuah keraguan menyelimuti raut wajahnya yang menawan. Seolah sedang memeras otak untuk mendapatkan sebuah ide agar bisa membujukku.
"Oke. Aku tidak akan memberimu apapun, tapi kamu akan menjaminkan nama baik keluargamu untuk kesepakatan." Lanjutnya setelah beberapa saat terdiam.
Apa yang diucapkan Zain barusan berhasil membuat mulutku sampai ternganga. Sungguh pria di depanku ini benar-benar sangat picik, teganya ia menyeret keluargaku untuk mendapatkan keinginannya.
"Aku tidak mau! Tidak akan pernah. Titik!" Aku benar-benar geram dibuatnya. Untuk apapun itu, aku tidak sudi membuat kesepakatan.
"Kalau begitu, nantikanlah berita besok pagi," ucapnya terlihat enteng, seolah telah mendapatkan apa yang ia inginkan.
"Maksudmu?" tanyaku menuntut sebuah penegasan.
"Besok pagi akan muncul berita. Seorang CEO menceraikan istrinya setelah menikah, karena sang istri hanya menginginkan hartanya. Bukan besok pagi, tapi segera," jawabnya kemudian.
Wajah Zain dipenuhi dengan rona bahagia setelah mengungkapkan ide gilanya tersebut. Mungkin dia berpikir bisa dengan mudah menaklukkanku hanya dengan gertakan seperti itu.
"Aku baru tau, selain CEO ternyata kamu seorang netizen bermulut tajam. Apakah dengan membuat berita bohong seperti itu kamu puas menindasku?"
Ternyata tidak cukup bagi Zain mengancamku dengan kata keramat, kini dia malah ingin menggunakan berita hoax sebagai umpan. Sungguh out of the box. Tidak waras memang.
"Lakukan, kita akan bertemu lagi di meja persidangan," ucapku sengaja menantang. Sesungguhnya aku tidak memiliki apapun untuk melawan Zain, selain dari nyali dan harga diri.
Jika Zain benar-benar akan menyebarkan berita hoax tersebut, kurasa hanya akan merugikan perusahaannya. Aku tidak akan kehilangan apapun, karena dari awal aku memang tidak memiliki apapun untuk dipertaruhkan.
Zain hanya menanggapi tantanganku dengan sebuah senyuman yang sangat sulit diartikan. Tangannya meraba saku tuxedo yang masih melekat pada tubuhnya. Mengeluarkan benda pipih dari dalamnya, dan segera memencet nomor yang entah milik siapa.
Setelah beberapa saat menunggu akhirnya Zain berbicara dengan seseorang dari seberang telepon. "Rend, siapkan pengacara terbaik kita untuk menggugat wanita bernama Rayya Khairunisa. Siapkan juga konferensi pers malam ini, aku akan menceraikannya di depan semua media."
Aku tidak percaya Zain akan melakukan hal itu, apa yang akan terjadi denganku selanjutnya? Aish ... kenapa aku harus terjebak dengan pria semacam Zain. Ya Allah ... apa dosaku sangatlah besar? Hingga kau timpakan ujian padaku dengan begitu berat.
Aku hanya bisa memegangi dada, saat pria di depanku mengoceh dengan orang di seberang telponnya. Dadaku begitu terasa sesak. Tidak kuduga itu bukan hanya sekedar gertakan belaka. Tamat sudah riwayatku.
"Kamu akan dijerat dengan pasal 368 KUHP atas dasar penipuan dan pemerasan, silahkan kembali pada walimu sekarang. Aku juga harus mempersiapkan diri untuk konferensi pers," ucap Zain lalu berdiri dan merapihkan kembali tuxedo yang dia kenakan.
"Tunggu!" Suaraku menghentikan langkah Zain yang hendak memegang handle pintu. Sedetik kemudian memutar badannya kembali, ke arahku.
"Apalagi? aku sudah tidak akan merubah keputusanku." Dengan gaya sok elegannya, Zain menatapku seperti elang yang ingin mencengkeram anak ayam.
"Beri aku waktu sedikit lagi." Aku memohon pada Zain sambil mengatupkan kedua tanganku di depan dada.
Dadaku bergetar hebat saat Zain mengancam menggunakan pasal. Aku tidak menyangka masalah sepele ini akan berujung pada kasus hukum. Tidak menutup kemungkinan, hal itu bisa mengurungku di balik jeruji besi.
Aku langsung mencari handpone milikku, yang sebelumnya masih tersimpan rapi dalam tas yang belum kusentuh dari pagi. Aku tidak peduli dengan Zain yang terus menatapku. Aku masih belum ingin menyerah, meski rasa takut telah menguasai seluruh pikiranku.
Setelah menemukan benda ajaib tersebut, langsung kubuka aplikasi bergambar mikrofon dan mengetik tentang pasal yang disebutkan Zain. Aku juga sudah tidak peduli dengan banyaknya chat yang masuk pada benda pipih dalam genggamanku.
Kubaca dan kupahami isi dari pasal 368 KUHP tentang pemerasan dan penipuan, yang sejatinya bukan aku tersangkanya melainkan Zain. Seharusnya aku diposisi penggugat bukan malah sebaliknya. Dengan hukuman paling lama sembilan tahun penjara tidak mungkin kuabaikan begitu saja.
"Kamu tidak akan menang melawan pengacaraku." Zain dengan pongah mengatakannya. Setelah aku mengutarakan bahwa Zain lah yang menipuku.
"Tidak hanya kamu, aku juga akan menuntut keluargamu karena telah bersekongkol denganmu untuk menguras hartaku." Sangat tidak terduga, dengan mudahnya Zain memutar balikkan fakta.
Dadaku begitu bergemuruh menahan amarah. Pelupuk mataku juga sudah terasa panas, tidak mungkin lagi membendung air mata yang terus memaksa menghancurkan benteng pertahanan.
Aku tidak akan membiarkan pria picik itu menyentuh kelurga tante Aira. Namun nyaliku menciut, bersama dengan luruhnya air mata. Aku menyerah, duduk bersimpuh di hadapan sang pria. Selamat tinggal harga diri.
"Apa kesepakatan itu masih berlaku?" tanyaku penuh harap.
"Tidak! Kesempatan itu sudah kamu sia-siakan."
"Tolong ... aku akan menuruti semua permintaanmu," ucapku memohon sambil menggosok-gosokkan kedua telapak tangan.
Zain berjalan mendekat dan ikut berjongkok menyejajarkan tubuhnya denganku. Nampak Zain menghela napasnya perlahan, sebelum membantuku berdiri dari bersimpuh, dan membimbing langkahku untuk duduk di sofa. Lalu menyodorkan saputangan andalan berwarna merah muda yang pernah kutolak.
Tak hanya air mata yang harus kuseka, air hidung yang menggenang pun butuh penanganan. Hingga tak bisa kusiakan uluran saputangan Zain. Setelah semua hajat terselesaikan, kukembalikan lagi sang saputangan.
"Jorok," tukas Zain sambil menjinjing sapu tangan yang kulempar sembarang ke pangkuannya.
"Kesepakatan batal! Aku akan pergi ke konferensi pers." Zain langsung berdiri dari duduknya dan hendak melangkah pergi. Seketika tanganku lebih cepat meraih kakinya.
Aku lupa hal kecil bisa membangunkan singa pemarah yang ada dalam diri Zain. Tanpa berpikir panjang lagi, aku langsung melorotkan tubuhku dari sofa, untuk kembali bersimpuh memohon belas kasihan.
"Maaf ...." Dari sekian banyaknya kalimat yang ada di dunia ini, aku hanya mengingat kata tersebut sambil merutukki kecerobohanku.
"Lepaskan!" teriak Zain, sambil mencoba melepaskan tanganku yang semakin erat melingkar di kakinya.
"Tidak! Sebelum kamu janji tidak akan menggugatku."
Terimakasih sudah mampir di karyaku.
Tolong dukung terus karya ini ya, save juga sebagai favorit.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!