"Nah, 'kan, makin jelas kalau bapaknya Wong Ayu itu dukun. Dukun yang sakti. Sampai-sampai dia bisa melihat masa depan," gumam salah seorang remaja desa yang usianya sedikit lebih tua dari Satria Piningit.
Satria Piningit cuma mengangkat ujung bibirnya sedikit. Nama baginya adalah harapan dan doa. Jadi bila doa itu kesampaian, itu memang karena harapannya terwujud dan doanya dikabulkan oleh Yang Maha Kuasa, bukan sebaliknya yaitu karena kita tahu apa yang akan terjadi, maka seorang anak dinamai sesuai penglihatan kita itu. Begitu yang dipikirkan Satria Piningit.
Pemikiran ini menyadarkan Satria Piningit akan sesuatu. Priyam ada benarnya. Orang-orang desa dari yang muda sampai yang sudah pikun masih saja terlibat hal-hal yang berbau gaib dan mistis. Mereka masih saja suka mendengar dan membahas gosip di seputaran klenik dan supranatural. Apakah Satria Piningit mulai dapat melihat desa ini dan warganya dari sisi yang berbeda? Atau, jangan-jangan, semua ini hanya pembenaran dirinya saja ketika melihat seorang gadis cantik yang nampaknya jauh sekali dari kesan hidup di dalam duni perdukunan kedua orangtuanya.
Seperti telah diduga dari awal, kehebohan akan kedatangan keluarga ini hanya berlangsung kurang dari dua minggu. Orang-orang desa tidak terlalu tertarik membahas kecantikan anak remaja keluarga tersebut yang sebenarnya suka tidak suka harus diakui memiliki kecantikan di atas rata-rata. Maksud Satria Piningit, tentu saja di atas rata-rata anak-anak gadis desa ini.
Hal ini ia ketahui bukan hanya karena memang dari awal anak laki-laki itu memiliki rasa terhadap Wong Ayu, tapi juga dari percakapan anak-anak laki-laki di desa, bahkan ibu-ibu dan dan anak-anak perempuan mereka juga menyetujuinya.
Masyarakat desa jelas cenderung menikmati penceritaan dan pencitraan buatan mereka sedniri terhadap keluarga ini sebagai keluarga dukun. Salah satu bukti makanan pencitraan buatan mereka tersebut adalah ketika saban hari orang-orang bermobil mewah datang ke desa, memarkirkan mobil-mobil mulus dan meling-meling mereka di depan rumah Wong Ayu. Orang-orang desa menganggap orang-orang kaya itu adalah para 'klien' bapak Wong Ayu yang membayar dan menggunakan jasa pesugihan.
"Lah, namanya juga penjual barang antik, yang datang pasti yang kaya-kaya. Itu kan barang-barang dengan nilai seni dan sejarah yang tak ternilai," ujar Satria Piningit dengan sengit tampak sekali memberikan pembelaan bagi keluarga Wong Ayu.
"Ah, nggaya kamu. Seperti paham saja. Wong rumah mbahmu yang besar dan mewah seperti itu saja tidak banyak barang-barang antiknya kok. Modern semua. Ada tipi, tip yang besar dan son sistemnya lengkap dan sering memutarkan lagu-lagu campur sari. Sudahlah, percaya sama aku, mereka itu dukun," jawab teman main Satria Piningit lagi dengan cara berbicara yang sangat mengesalkannya.
Satria Piningit tidak menyangkal bahwa rumah mbahnya yang ia tempati di desa Obong memang terbilang besar. Di tanah milik mbahnya itu, ada tiga bangunan utama dan satu pendopo serta lahan pelataran yang luas. Seperti yang dijelaskan temannya tadi, tiga bangunan utama dan satu pendopo disana memang bergaya kuno dan bahwa tidak sedikit barang-barang klasik yang memang kata mbah kakungnya sudah ada sejak bapak dari bapak dari bapak dari bapaknya.
Ada pula kursi meja jati, jambangan bunga, guci-guci, lemari pakaian bercermin oval atau hiasan dinding. Belum lagi paklik-pakliknya memelihara ayam jago aduan dan burung-burung yang berkicau indah. Sangat menunjukkan kesan Jawa tradisional.
Meski begitu memang rumah klasik nan megah mbahnya itu selalu mengikuti tren terbaru. Alat-alat elektronik termuktahir selalu dibeli menghiasai interior rumah. Satria Piningit benci harus menyetujui lagi ucapan temannya itu.
Maka, Satria Piningit malas melanjutkan perdebatan. Apalagi ia juga tidak terlalu mengerti isi kedua bangunan utama lain yang ditinggali adik sang ayah dan beberapa anggota keluarga lain. Ia berani bertaruh pasti banyak barang-barang antik dan kuno lainnya. Ada satu WC di bangunan ketiga, paling belakang yang ditinggali adik sang ayah alias paklik dengan istri dan anak-anaknya.
Sekali waktu Satria Piningit pernah kesana. Namun, selain tempatnya cukup jauh dari bangunan utama dan ia sungkan harus selalu ke belakang hanya untuk buang hajat, suasana kuno di rumah ketiga itu kadang membuat ia tak nyaman, ngeri-ngeri sedap. Makanya inilah alasan Satria Piningit lebih nyaman buang air di kali.
Kembali Satria Piningit menghela nafas panjang mengingat pendapat orang-orang desa terhadap keluarga Wong Ayu diwakili oleh ucapan temannya tadi. Intinya masyarakat desa cenderung menjauhi keluarga ini yang tinggal tidak berapa jauh dari tempat favoritnya untuk buang hajat tersebut. Setiap Satria Piningit ingin buang air besar, sudah pasti ia selalu melewati rumahnya yang penuh dengan aksesoris wayang kulit dan topeng di dinding serta koleksi keris di sebuah rak. Ketika teman sebayanya dan warga desa secara umum tidak mau berlama-lama bertemu muka dan berhubungan dengan dengan anggota keluarga yang mereka anggap dukun itu, malah lucunya memberikan kesempatan lebih besar bagi Satria Piningit untuk dapat melewati rumah Wong Ayu sesering mungkin tanpa disaingi anak laki-laki lain.
Satria Piningit sering melihat anak perempuan itu menyapu dedaunan keridn di pekarangan rumahnya. Tidak tanggung-tanggung, sepulang dari sekolah, ia juga menghabiskan waktu melihat Wong Ayu menyelesaikan menyapu sampai membakar daun-daun kering itu. Selagi duduk di tepian kali, sembari membenamkan kaki sebatas mata kaki ke air, ia masih terus memperhatikannya. Bahkan tidak jarang Satria Piningit sekalian mandi di kali kecil itu sebelum pulang dan mengganti seragam.
Ini bukan tanpa alasan. Karena biasanya, tak lama setelah menyapu pekarangan, Wong Ayu juga akan pergi ke kali dengan berkemben dan membawa perkakas mandinya. Satria Piningit pernah mencuri intip keranjang perkakasnya dimana terlihat sebatang sabun berwarna jambon alias merah muda dan batu apung untuk menggosok tumit kakinya. Saat itu pulalah, biasanya Satria Piningit pura-pura membenamkan kepalanya ke air dengan bertelanjang dada dan mengenakan celana pendek sekolahnya, padahal ia terus-menerus melirik ke arah sang gadis.
Hal ini terjadi beberapa kali. Tiada sapa terucap diantara keduanya, sampai pada hari Kamis, selepas magrib ketika Satria Piningit menunju ke kali, ia mendapati Wong Ayu sedang berdiri membelakanginya. Rambut ikal hitam gelap laksana malam gadis itu basah sepenuhnya. Tubuhnya terbalut kemben jarit yang juga basah. Air menetes dari rambut ke bahunya yang telanjang, terus turun melewati betis. Di depan sang gadis ternyata ada Priyam yang juga berdiri tegak memandang Wong Ayu. Keduanya saling pandang dengan suasana yang menjadi sangat ganjil.
Satria Piningit berdehem, Wong Ayu melonjak kaget, berbalik dan membelalak ke arah suara. Untung kembennya tidak terlepas, pikir Satria Piningit.
"Maaf, maaf, Wong Ayu ... aku tidak bermaksud membuat kamu terkejut," ujar Satria Piningit cepat-cepat. Ia merasa bersalah.
"Darimana kamu tahu namaku?" ujarnya sedikit tergagap akibat terkejut tadi, dengan logat Jawa Timuran yang kental. Kedua matanya yang bulat masih membelalak lebar.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
rajes salam lubis
lanjut
2024-06-20
0
Ali B.U
next
.
2023-01-02
2
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
priyam hantu bkn yak🤭
2022-12-27
1