Langit kala itu berwarna jingga dengan retakan abu-abu menjadi latar belakangnya. Saat itulah masa pertemuan selanjutnya Satria Piningit dan anak laki-laki misterius tersebut. Satria Piningit sedang menyobek kulit tebu dengan giginya sepulang sekolah dengan masih mengenakan seragam biru putih karena tak langsung pulang ke rumah, ketika ia sedang mengunyah batang tebu, menyesap airnya, dan menyemburkan ampasnya dengan perasaan puas dan jemawa, anak laki-laki itu itu berdiri di depan Satria Piningit entah darimana.
Waktu itu sekitar jam lima sore dimana mentari masih mencoba bertahan dari kekalahannya dimamah sang Kala sehingga Satria Piningit masih bisa melihat jelas sosok sang anak laki-laki. Tungkai kakinya yang kurus kering menyeruak dari balik batang-batang tebu. Kulitnya hitam kelam, bahkan Satria Piningit bisa mencium bau terbakar dari tubuhnya. Mungkin anak ini terlalu lama bekerja di bawah matahari, pikir Satria Piningit
"Sialan! Kaget aku. Aku pikir kau hantu," seru Satria Piningit meski detik itu juga ia sadar bahwasanya hantu tak mungkin muncul di sore hari yang masih terbilang terang ini.
"Apa kau tidak lihat penjaga kebun ini sedang memperhatikanmu?" ujar si anak laki-laki itu tanpa memedulikan reaksi keterkejutan Satrua sebelumnya tadi.
"Hah? Paklik Sarta maksudmu? Dia udah pulang kok. Lagipula dia kan kerjanya hanya membantu menjaga kebun tebu ini dari binatang liar, bukan anak remaja seperti aku ini. Juragan tebunya aku rasa juga tidak akan ambil pusing kalau sebatang saja tebunya aku makan," ujar Satria Piningit berlagak cuek sembari kembali menggerogoti batang tebu yang berkeringat air manis itu. Detak jantung nya perlahan menjadi normal kembali.
"Penjaga tebu itu maksudku," kata anak laki-laki itu sembari menunjuk ke arah sebelah kiri Satria Piningit dengan jari telunjuknya yang juga kurus kering.
Sontak Satria Piningit memalingkan wajah nya ke arah yang ditunjukan sang bocah. Satria Piningit tak melihat apa-apa, tak ada apapun selain batang-batang jangkung pohon tebu dan helai-helai daunnya yang sebagian sudah berwarna coklat gelap.
"Jangan suka main-main," kata Satria Piningit dengan suara bergetar. Kali ini ia tak bisa menutupi detak jantungnya yang kembali berpacu dengan begitu cepatnya.
Sang bocah laki-laki mengernyitkan kedua matanya. "Jadi kau tidak melihat dia?" suara seraknya kembali terdengar dengan bahasa Jawa yang tidak terlalu baik ditangkap dan dipahami Satria Piningit.
Mendengar ini, Satria Piningit menghela dan menghembuskan nafas dengan kasar. Anak itu jelas-jelas mengerjainya, pikir Satria Piningit. Ia langsung saja duduk berselonjor. "Baik, baik. Seperti apa sebenarnya bentuk penjaga kebun yang sedang memperhatikanku itu?" tanya Satria Piningit kepada sang anak laki-laki, namun suaranya tidak lagi bergetar akibat terkejut dan sedikit gentar tadi. Satria Piningit sudah paham mau anak ini, jadi ia bertekad mencoba mengikuti permainannya saja.
Tak seperti yang Satria Piningit duga, anak laki-laki itu yang justru sekarang malah terlihat seperti kebingungan kemudian menjawab perlahan, "Orang itu tinggi jangkung melewati pepohonan tebu. Ia juga besar dengan hampir seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu kasar, dan sepasang taring panjang mencuat dari mulutnya."
Satria Piningit kini malah merasa lega. Ia tertawa pelan karena paham keadaan ini serta benar-benar yakin bahwasanya anak itu sedang mengerjainya. "Gendruwo maksudmu? Aku tak tahu apa yang anak-anak desa ini ceritakan kepadamu. Sejak mereka tahu aku anak pindahan dari Kalimantan dua tahun yang lalu, mereka selalu menggunakan bahan ejekan yang sama. Katanya orang Kalimantan suka makan daging orang, menyimpan kepala manusia sebagai hiasan rumah, atau paling jelek sebagai orang Kalimantan harusnya aku bisa melihat hantu atau mahluk-mahluk gaib. Tapi kau harus yakin, aku tidak dapat melihat hantu, itu pun kalau memang hantu itu ada," balas Satria Piningit benar-benar tertawa lepas kali ini.
"Katamu kau darimana tadi?" tanya sang bocah laki-laki itu.
"Kalimantan. Emakku orang Dayak. Bapakku yang asli dari desa ini," jawab Satria Piningit kemudian.
Anak laki-laki itu terlihat berpikir keras, namun kemudian menggeleng menyerah.
"Kau tak tahu Kalimantan? Juga belum pernah mendengar kata Dayak'?' anak itu menggeleng lagi. "Bukankah kau diajarkan di sekolah masalah pengetahuan umum semacam ini?" kata Satria Piningit sedikit sebal. Bisa-bisanya anak laki-laki itu tidak mengetahui nama salah satu pulau terbesar di negeri ini itu.
Seperti yang Satria Piningit duga, anak itu menggeleng lagi.
"Jadi kau juga tidak sekolah?" tanya Satria Piningit.
Selesai bertanya, sesegera itu pula Satria Piningit merasa menyesal. Tidak heran kalau anak ini tidak sekolah. Memang ada beberapa anak dari desa ini yang tidak bersekolah karena orang tua mereka termasuk kaum yang tidak mampu meski ada pula yang cenderung merasa tidak terlalu penting untuk bersekolah. Mayoritas warga remajanya di desa ini malah hanya lulusan Sekolah Dasar. Ingin hati Satria Piningit meminta maaf, tapi anak laki-laki itu sudah berbalik arah hendak pergi.
"Hei, siapa namamu? Aku Satria Piningit," seru Satria Piningit tepat sebelum anak laki-laki itu menghilang di balik batang-batang tebu itu.
Ia berhenti, "Aku Priyam," jawabnya tanpa memalingkan wajah. "Kalau kau pulang melewati gapura di utara sana, jangan lupa bilang permisi. Penjaganya, mbah Wijanarko tidak terlalu suka dengan anak-anak desa yang kurang ajar kerap kencing di sana. Jaga-jaga saja, biar beliau tidak salah menyangka kau dengan anak-anak yang lain," ujarnya sambil berjalan meninggalkan Satria Piningit yang terbengong bingung entah ingin melakukan apa.
"Dasar anak itu. Sempat-sempatnya mengerjai ku. Mana wajahnya dan cara biacaranya serius pula," gumam Satria Piningit dengan suara yang begitu rendah sampai hanya ia sendiri yang dapat mendengarkannya.
Namun lucunya, ketika melewati gapura yang terbuat dari batu bata merah itu, Satria Piningit tetap mengucapkan, "Permisi, Mbah," sambil melihat sekeliling, meski tak mendapatkan satu apapun.
Priyam nampaknya berhasil mengerjai Satria Piningit.
Tak lama Satria Piningit bertemu dengan Priyam kembali pada suatu malam yang begitu gerah dan panas, seakan entah di sudut mata, kerak neraka sedang retak dan menyemburkan percikan apinya. Panasnya suhu memang tidak membakar layaknya mentari siang bolong, namun udara begitu gerah, seperti ada ratusan orang yang sedang membakar satu hektar kebun di sebuah tempat entah dimana.
Saat itu adalah giliran Satria Piningit berjaga, ronda, bersama anak-anak sebayanya. Kegiatan ini belum menjadi kewajiban anak-anak seusia mereka, namun berhubung besok adalah hari minggu dan bersama-sama dengan anak-anak sebaya, Satria Piningit memutuskan untuk ikut meronda semalam suntuk saja.
Setelah mengobrol dengan anak-anak dan remaja di pos ronda, Satria Piningit berjalan sendirian memisahkan diri dari rombongan. Ia mencoba berburu tiupan angin yang bisa melawan panasnya udara.
Disanalah ia berada. Priyam di tempat biasa. Tapi ia tidak sedang berjongkok, ia berdiri, lagi-lagi bertelanjang dada, dan melihat lurus langsung ke arah Satria Piningit.
"Priyam. Sedang apa sih kau selalu di situ?" sapa Satria Piningit. "Setiap aku mau buang air kau pasti ada. Seperti tidak ada kerjaan saja. Tapi kali ini aku tidak ada niatan berak, ayo ikut aku cari angin saja," lanjutnya.
Tanpa kata untuk membalas pertanyaan Satria Piningit, Priyam melompat ringan melangkahi kali kecil itu dan berdiri di samping Satria Piningit.
Di malam yang udaranya panas bergulung-gulung di udara itu, mereka berdua berjalan beriringan menyusuri jalan setapak bertanah merah. Keduanya melewati ladang tebu, persawahan, pepohonan pisang dan petai Cina. Bohlam lampu kuning yang menggantung di tepi jalan menerangi jalan dengan cahaya temaram, hampir tak kuat melawan kekelaman malam. Lagi-lagi Satria Piningit mencium bau terbakar dari tubuh Priyam.
"Kau sebenarnya tinggal dimana, Priyam?" tanya Satria Piningit setelah beberapa saat mereka tenang tanpa suara keluar dari mulut mereka.
Priyam menunjuk ke arah kegelapan malam. Terlihat jalan setapak kecil di antara sawah dan sebuah pohon beringin, "Lor ndeso. Utara Desa," ujarnya. Jalan setapak kecil itu hanya terlihat di bagian depannya saja, setelahnya entah menuju ke mana karena hanya terlihat secernah sinar di ujung jalan nun jauh di sana.
"Gelap sekali," respon Satria Piningit.
"Jadi, kau benar-benar tidak bisa melihat ... itu?" tanya Priyam, tiba-tiba, seperti memotong pembahasan sebelumnya tanpa menanggapi reaksi Satria Piningit.
"Hantu maksudmu? Setahuku tidak. Tapi kalau kau adalah hantu, berarti aku bisa melihatnya," kata Satria Piningit bercanda. Tapi Priyam tak tertawa dan terlihat serius.
"Kau yakin bahwasanya kau tak bisa melihat perempuan berbaju merah yang mengambang di atas pohon pisang itu?" kedua matanya mengarahkan Satria Piningit ke jejeran pohon pisang di tegalan sawah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
rajes salam lubis
masih nyimaakk
2024-06-20
0
◄⏤͟͞✥≛⃝⃕💞༄⍟Mᷤbᷡah_Atta࿐
Ceritanya makin mantap 👍👍
2023-10-12
2
Ali B.U
nyimak
2022-12-31
2