Sentakan rasa ngeri sekaligus terkejut yang sangat menyebar ke tengkuk Satria Piningit sehingga membuat bulu kuduknya merinding. Ia melihat cepat ke arah yang ditunjukkan Priyam.
Kegelapan menggumpal di angkasa sebagai latar belakang barisan pepohonan pisang yang daunnya bergoyang-goyang malas diterpa angin malam. "Kampret kau Priyam. Sengaja mengerjaiku ya. Aku bukan penakut, tapi bukan berarti aku sok berani juga," seru Satria Piningit demi menanggapi kata-kata Priyam yang serba tiba-tiba itu dengan sedikit sebal. Apagi ternyata tak didapati apapun yang Priyam tadi jelaskan.
Perlahan detak jantung Satria Piningit memelan dan normal kembali.
"Tapi sebenarnya manusia lebih menakutkan," kata Priyam, lagi-lagi dengan tiba-tiba tidak mengacuhkan reaksi Satria Piningit yang sungguh ketekutan tadi.
Mendadak Satria Piningit terdiam mendengar ucapan Priyam. Kata-kata anak laki-laki itu menghentak bagai palu di dadanya. Kali ini mau tidak mau ia setuju dengan apa yang dikatakan Priyam. Apalagi ketika ia melihat kedua mata Priyam yang tiba-tiba sendu dan begitu kompleks dengan perasaaan campur aduk yang entah apa dan bagaimana beratnya. Priyam kemudian menunduk.
"Iya, kau mungkin benar, Priyam. Manusia menurutku lebih sadis dan lebih jahat dibanding hantu. Andaikata aku bertemu perampok atau begal, aku pasti mati dibunuhnya. Kalau hantu, ya meski aku juga mungkin akan kencing di celana, tapi mungkin aku cuma pingsan saking takutnya. Sedangkan manusia pasti tak tidak ragu menghabisi nyawa orang lain."
Priyam mengangguk, "Kau tahu mengapa nama desa ini Obong?" tanya Priyam. Satria Piningit diam, meski setahunya sebenarnya kata obong dalam bahasa Jawa berarti bakar.
"Karena orang-orang desa ini suka sekali dengan api," lanjut Priyam melihat Satria Piningit tak menjawab.
"Mereka suka bermain-main api dalam rupa pedukunan, santet, pesugihan, dan kegiatan lain yang menuntut mereka untuk bekerja dengan iblis. Mereka suka membakar perasaan orang, keluarga dan diri mereka sendiri dengan perjudian, pelacuran, dan arak. Tapi mereka semua adalah orang-orang munafik. Kau tahu, bapakku yang bernama Ngalimun, mati matian menjaga keseimbangan dengan berbicara dengan alam gaib dan dunia lain agar dapat berdamai dengan mereka. Tapi balasannya, keluargaku dituduh syirik. Padahal bapakku lah yang menangkap tuyul yang mencoba mencuri di salah satu rumah warga. Bapakku lah yang mendapati Pak Lurah memelihara jin yang membuatnya tetap kaya walau tak terlihat pernah bekerja sedikitpun," lanjut Priyam kemudian panjang lebar sekaligus berapi-api.
Satria Piningit terus terang bingung harus menjawab apa atau merespon bagaimana. Karena setahunya nama Obong yang disematkan ke tempat ini berkenaan erat dengan hal-hal yang dilakukan para nenek moyang desa. Ia sering mendengar, bahkan terlalu sering, bahwa keluarganya di desa ini secara turun-temurun dianggap sebagai keluarga yang terhormat dan terpandang. Mereka dianggap sebagai orang-orang awal yang berani membakar alat-alat praktik perdukunan dan ilmu gaib di desa ini. Sederhananya, nenek moyang Satria Piningit di desa ini adalah orang-orang yang berani melawan kesyirikan. Maka dari itu sebagai bentuk penghormatan kepada leluhurnya itu, orang-orang desa sepakat menamai desa ini sebagai Desa Obong.
Tapi memang dari satu sisi, Satria Piningit melihat Priyam ada benarnya juga mengatakan bahwa desa ini dahulu terkenal dengan praktik ilmu gaib mereka, tapi dari cerita simbah kakung dan simbah putri Satria Piningit, keluarga nya lah yang sedari awal menjaga agar desa ini tidak terjerumus ke dalam kegiatan yang bertentangan dengan nilai-nilai agama dan moral yang baik, bukan sebaliknya. Jadi Satria Piningit agak bingung dengan cerita versi Priyam ini. Tapi ia tak mengacuhkannya, namanya juga cerita pasti sebenarnya hanya dua sisi dari uang logam yang sama, bukan?
Jadi Satria Piningit memutuskan untuk diam saja.
"Kau lihat kepala terbang itu?" kata Priyam mendadak tanpa aba-aba sama sekali sembari menunjuk dengan hidungnya ke arah atas. Tentu Satria Piningit tidak melihat apa-apa selain dedaunan pohon kelapa yang panjang-panjang berbayang bagai jari-jemari. Lama-kelamaan bisa-bisa Satria Piningit akan benar-benar terbiasa dengan petunjuk mengejutkan dan menakutkan Priyam tersebut.
Tanpa menunggu balasan jawaban Satria Piningit, Priyam melanjutkan berkata, "Sudah entah berapa lama mereka terus mempraktikkan ilmu hitam itu. Mereka saling balas meneluh, menyiksa orang lain, bahkan tidak terkecuali tetangganya sendiri, dengan penuh benci."
Satria Piningit menjadi sedikit gelisah dengan sikap Priyam, selain ia juga tetap merasakan ngeri. "Kau melihat sebuah kepala terbang?" tanya Satria Piningit perlahan meyakinkan.
"Kau tahu, Satria, malam ini iblis berpesta pora. Kau merasakan panasnya 'kan? Perempuan berbaju merah di atas pohon pisang tadi adalah perempuan yang diperkosa oleh pejabat desa bersama para pemuda. Ia selama ini di alam kematiannya penasaran menunggu sebuah pembalasan. Begitu terus. Entah untuk berapa lama."
Tak pelak Satria Piningit melongo dan menelan ludahnya sendiri dengan keras. "Maaf selama ini aku selalu bercanda, Priyam. Tapi sepertinya kau memang bisa melihat hal-hal yang tak dapat aku lihat. Aku juga tidak sampai berpikir sejauh itu soal desa ini. Bahkan, sebenarnya tidak banyak sebenarnya yang aku pahami di tempat ini," kata Satria Piningit jujur meski bingung juga harus benar-bernar percaya atau meragukan segala cerita yang Priyam sampaikan.
"Kau saat ini hanya bisa melihat hal-hal baik yang ada di depan matamu. Tunggu setelah kau mau membuka pikiran atau menunggu agak dewasa sehingga mampu melihat keburukan-keburukan, maka mata batinmu akan terbuka pula," ujar Priyam.
Perasaan Satria Piningit kembali berubah drastis terhadap Priyam yang misterius ini. Ia hampir saja tertawa mendengar ucapan Priyam. Melihat perawakannya, umur Satria Piningit saja mungkin lebih tua setahun dari Priyam, tapi Priyam berlagak sok bijak dan dewasa bagi Satria Piningit.
Priyam memang anak yang aneh. Satria Piningit sadar itu. Tapi entah bagaimana, Satria Piningit suka dia. Priyam selalu serius dan dipenuhi dengan kesedihan. Itu kerap membuat Satria Piningit kadang kasihan dengan apa yang sudah dirasakan Priyam selama ini, entah apapun itu. Satria Piningit sendiri melihat dirinya sedikit banyak memiliki kesamaan dengan Priyam. Awal pindah ke desa ini, Satria Piningit masih merasa sendirian dan kesepian. Ia sadar bahwa semua ini adalah karena keputusan nya sendiri yang sudah bulat untuk menetap bersama mbah kakung dan mbah putri nya yang tidak begitu ia kenal, apalagi ia masih SMP, masih terbilang kecil untuk bisa tinggal di tanah orang.
Tapi itulah tekadnya untuk mengetahui dan mengalami kehidupan di pulau Jawa yang ia dengar penuh dengan warna, bahkan kerap gemerlap. Hanya butuh sekejap untuk tahu bahwa nyatanya ia tinggal di sebuah desa.
Memiliki sebuah keluarga yang terpandang di desa ini sebenarnya membuatnya memiliki banyak keuntungan. Orang-orang penasaran dengannya sewaktu pertama ia sampai di tempat ini. Teman-teman sebaya di desa nya tersebut menawarkan 'bantuan' mereka untuk mengenal desa ini lebih baik. Setiap hari mereka mengajak Satria Piningit bermain dan berkeliling desa. Pergi ke arah selatan desa, melalui kebun tebu, bermain di belakang bangunan pabrik gula yang sudah berdiri sejak jaman Belanda, menyusuri kali kecil ke arah timur sampai ke sungai Pratama; yaitu sungai utama yang berbatu besar-besar dan berarus kuat, untuk menyetrumi ikan-ikan kecil, berburu bajing melewati sawah sampai ke desa tetangga, atau ke arah utara bermain bersama teman sebaya di bekas candi kuno yang sudah tinggal puing-puingnya saja.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
rajes salam lubis
lanjut
2024-06-20
0
Ali B.U
lanjut
2023-01-02
2
Ali B.U
masih nyimak
2023-01-02
1