Namun begitu, tetap saja Satria Piningit merasa pertemanan dengan anak-anak sebaya dan remaja yang sedikit lebih tua itu terasa tidak tulus. Maklumlah, ia belum lama tahu bahwa keluarga nya begitu dihormati di desa ini. Rumah peninggalan kolonial dengan lantai dengan ubin Belanda, dinding semen kokoh yang berbeda dengan rata-rata penduduk desa yang berdindingkan anyaman bambu alias gedhek dan berlantai tanah padat, membuat siapapun sadar bahwa rumah mbah kakung dan mbah putrinya adalah milik orang kaya dan terpandang.
Teman-teman sebayanya seperti berebutan saja untuk bertandang ke rumah mbah kakung dan mbah putrinya itu untuk mengajak Satria Piningit bermain atau bersosialiasi, padahal diam-diam mereka juga menginginkan jamuan mendoan atau sirup yang diberikan mbah putri Satria Piningit ketika mengetahui ada anak-anak yang memperlakukan cucunya dengan baik. Dari situlah Satria Piningit juga kemudian akhirnya tahu bahwa warga desa menyebut mbah kakungnya dengan panggilan mbah Carik.
Ayah Satria Piningit kerap sekali bercerita bahwa nenek moyangnya di desa ini dahulunya turun-menurun adalah para Carik. Itu adalah sebuah nama untuk jabatan di masa lalu di Jawa yang merujuk pada pekerjaan dan tanggung jawab semacam sekretaris desa yang bertugas mengurusi surat-menyurat dan kepentingan admisitrasi lainnya. Carik menjadi orang kedua yang dihormati di desa setelah lurah. Apalagi bila lurah berhalangan hadir dalam suatu rapat tertentu, atau tidak bisa ambil bagian dalam sebuah kegiatan, maka Carik lah yang menggantikan perannya. Jadi jelas bahwasanya Carik sangat dihormati di desa ini.
Menurut sang ayah, mbah kakung Satria Piningit yang bernama Darwen ini memang tidak lagi menjabat sebagai seorang Carik. Namun karena sudah dari dulu warga terbiasa memanggil para Carik dan keturunannya dengan panggilan Carik pula, maka jadilah mbah Darwen Satria Piningit dipanggil dengan mbah Carik Darwen sampai sekarang. Sang ayah malah sempat bercanda, bila ia masih tinggal di Jawa sampai sekarang, di desa ini kelak ia atau mas nya, yaitu pakde Satria Piningit mungkin akan juga dipanggil sebagai Pak Carik.
Jujur, Satria Piningit tidak terlalu keberatan dengan segala kebaikan yang dialamatkan warga, terutama anak-anak sebaya, kepadanya.
Semua orang, baik anak-anak, muda, tua sampai kakek-nenek kenal siapa itu Satria Piningit. "Iku lho, putune mbah Carik Darwen sing seko Kalimantan. Cucu mbah Carik Darwen dari Kalimantan," kata mereka.
Tapi sudah dua tahun Satria Piningit tinggal di desa ini mendapatkan perlakuan seperti itu, jengah juga kadang-kadang rasanya. Akhirnya ia justru menjadi merasa sepi sendiri lagi, merasa jauh dari orangtua dan adik-beradiknya. Dan hal mengagumkan terjadi sampai Satria Piningit bertemu Priyam.
"Kau harus pulang," kata Priyam mendadak. Tanpa basa-basi seperti biasa, juga memotong dan mengganti tema pembicaraan sesuka hati memang adalah ciri anak laki-laki aneh itu. Priyam berbalik arah ketika mereka mendekati areal perkuburan desa.
"Terlalu ramai," ujar Priyam. Satria Piningit melihat ke arah kuburan. Hanya ada satu lampu kuning menggantung di bawah pohon kamboja di dalam tembok kompleks kuburan, sisanya gelap, kelam dan sepi.
"Terlalu ramai?" Satria Piningit mengulang pernyataan Priyam.
"Malam ini sedang ada pasar di situ. Aku tak tahan dengan keramaian seperti itu," balas Priyam dingin.
Satria Piningit meringis dan nyengir. Ia kahirnya cuma bisa mengangkat bahu. Sebagaimana anehnya pun Priyam, sampai saat ini tak ada hal aneh yang menimpa Satria Piningit. Jadi ia tak begitu ambil pusing dengan apa yang dikatakan oleh Priyam. Toh kalau memang ada hantu dan segala pernak-pernik supranaturalnya, Satria Piningit belum pernah melihatnya.
Ketika mereka berjalan pulang, Priyam kemudian berbelok ke arah rumah yang ia tunjukkan sebelumnya dengan jalan setapak kecil menuju ke kegelapan dengan sebuah pohon beringin di tepinya. Ia melakukan ini tanpa pamit kepada Priyam. Lama-kelamaan Satria Piningit wajar dan tidak heran lagi dengan perilaku Priyam yang aneh dan bagai hantu itu. Ia sendiri lalu menyusuri kali kecil tempat biasa ia buang hajat, pulang ke pos ronda. Di sana anak-anak seusia Satria Piningit dan para remaja tertawa-tawa seru bermain kartu gaple sembari mengupasi kacang kulit gongseng. Tadinya ia ingin bertanya mengenai Priyam dan rumahnya di lor ndeso sana, tapi urung karena ia ternyata sudah mengantuk berat.
"Aku bali sik, yo cah, pulang duluan deh, udah ngantuk," pamitnya kepada rekan-rekannya.
"Malam minggu enaknya ronda sama kami, malah pulang awal. Sudahlah, pulang sana sebelum mbah putri menguncikan pintu," seloroh salah satu teman desa Satria Piningit yang suka sekali menenggak arak. Anak-anak dan remaja yang lain menganggukkan kepala kepada Satria Piningit. Perilaku mereka tidak ada yang menyebalkan terhadap Satria Piningit sampai saat ini. Ya mungkin karena sekali lagi, ia berasal dari keluarga yang dihormati selama turun-menurun di desa ini.
Satria Piningit kemudian pulang dan tertidur pulas. Mbah putri dan mbah kakung nya yang biasa tidur lewat dari tengah malam tidak repot-repot menanyainya lagi ketika pulang sampai di depan rumah tadi.
Besoknya desa Satria Piningit heboh. Ada warga baru pindahan dari Banyuwangi, Jawa Timur. Hebohnya tidak tanggung-tanggung. Semua warga, dari anak kecil ingusan yang bugil sampai orang tua yang sudah bungkuk datang berkerumun ke rumah keluarga baru itu, seperti melihat topeng monyet saja.
Hal ini wajar adanya mengingat tidak banyak orang pindah ke desa Obong. Adanya malah orang desa Obong yang minggat buat cari hidup yang lebih baik di kota atau negeri orang. Kejadian ini sama persis sewaktu pertama Satria Piningit diantarkan ayahnya ke desa untuk dititipkan ke mbah kakung dan mbah putrinya. Semua bereaksi berlebihan, benar-benar seperti melihat hiburan topeng monyet di pasar. Hanya saja ada perbedaan mendasar mengapa kedatangan satu keluarga ini memang pantas dihebohkan dibandingkan dengan kedatangan Satria Piningit dua tahun yang lalu.
Ada dua alasan.
Pertama, sang kepala rumah tangga bekerja sebagai penjual barang antik serupa keris, kain batik, lampu antik, meja dan kursi serta entah benda-benda apa lagi. Gosip hanya dalam hitungan detik mengatakan bahwa bukannya penjual barang antik, keluarga ini adalah keluarga dukun yang pekerjaannya menyantet dan meneluh orang sesuai permintaan. Satria Piningit hanya bisa geleng kepala mendengar gosip ini yang terus mengambang di udara desa Obong di hari-hari mendatang.
Tapi untuk alasan kedua, Satria Piningit lebih geleng kepala lagi. Sepasang suami istri yang baru pindah itu memiliki satu orang anak gadis seumuran nya yang berparas elok. Wong Ayu namanya. Rambutnya panjang ikal tebal dan hitam sekelam malam. Matanya lentik dan pipinya gembil.
Rupa-rupanya darah Bali dari sang ibu yang membuatnya memiliki pesona itu. Namanya saja Wong Ayu yang kurang lebih artinya 'orang yang cantik', seakan-akan kedua orangtuanya paham betul kalau ketika anak gadis mereka beranjak dewasa kelak akan memiliki paras yang ayu, alias cantik.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 228 Episodes
Comments
rajes salam lubis
lanjutkan
2024-06-20
0
Ali B.U
next
2023-01-02
2
Ojjo Gumunan, Getunan, Aleman
yaa namakan doa ya buu
kya di daerah jabar ada ibu ibu pnya anak gadis tpi kasarnya ga cantik
si ibu manggilnya geulis yg artinya cantik
dan akhirnya setelah besar dewasa tuh anak jdi cantik krna ucapan ibunya yg spt doa
2022-12-26
1