Noe berjalan pulang bersama Yuna, dimana dia juga sama-sama karyawan minimarket.
Lelaki tua yang sekarang bersama Noe adalah Jatmiko 42 tahun ayah dari Yuna. Hanya seorang penjual buah di pasar sebelah terminal, berpenghasilan tidak lebih dari 50 ribu setiap hari.
Tempat tinggal Noe dan Yuan tidak terlalu jauh dari minimarket tempatnya bekerja, hanya butuh beberapa kilometer melewati pasar ikan, pasar baju, terminal bus, sungai, jembatan dan tempat pembuangan sampah.
Sedikit jauh memang, tapi jarang ada kendaraan umum yang mau melintasi tempat tinggal mereka. Terlebih lagi, mengeluarkan ongkos, hanya menjadi pilihan terakhir bagi Noe jika terjadi keadaan darurat.
Di Sebuah kawasan kumuh dipinggiran kota Jakarta, dekat dengan pembuangan sampah. tembok-tembok tua penuh lumut, selokan hitam, bau menyengat, sampah-sampah berserakan, teriakan para pedagang, klakson mobil bobrok, keringat supir, cerobong pabrik berasap hitam, rayuan pela*cur murah di warung remang-remang. Padahal masih sore. Dan kedatangan petugas satpol PP yang membuat kacau semua orang.
Lokasi ini menjadi tempat tinggal para perantau di kota Jakarta, mereka semua hidup terlunta-lunta, rumah triplek beralaskan kardus, berjuang dengan penghasilan kecil setiap hari.
Miris, sangat miris.
Tinggal di rumah sewaan, hidup sederhana dengan perabotan usang termakan usia, terlebih harus merawat diri, karena penyakit asma yang dia derita.
Sekali batuk, naik turun napas Jatmiko seperti nyawanya berada diujung tenggorokan. Tapi keinginan untuk menyekolahkan anak perempuan semata wayang hingga lulus kuliah menjadi satu-satunya alasan Jatmiko tidak menyerah kepada nasib.
Di rumah triplek bercat hijau tua, tepat dipinggiran sungai, sekali musim hujan tiba, banjir pun datang, hanyut semua harta benda yang keluarga Jatmiko miliki, walau pun satu-satunya benda mewah itu, hanya sebuah televisi tabung keluaran Fuji tahun 2004, dibeli Jatmiko karena tidak tega melihat kawan tidak punya uang.
"Noe maaf karena sudah membantuku ."
Lelaki tua yang sedang menikmati waktu istirahat setelah menarik gerobak buah sejauh 2 kilometer, masih terlihat lelah sembari mengipasi tubuh dengan kertas koran yang Jatmiko lipat.
"Bukan masalah, pak Jat, aku juga senang bisa membantu."
"Kau sangat baik, jarang sekali aku bertemu dengan anak muda seperti mu." Puji pak Jat sambil tertawa.
Noe tersenyum dengan rasa hormat tinggi kepada lelaki paruh baya kurus yang berjuang mati-matian demi menghidupi keluarganya.
"Pak Jat, apa hari ini banyak yang terjual."
Jatmiko tertawa sendiri, tawanya itu tidak menunjukkan sebuah kebahagiaan, hanya sekedar tawa yang menertawakan dirinya sendiri, karena membayangkan hidupnya penuh dengan lelucon.
"Ya begitulah, ada saja yang beli, dan ada pula yang memintanya." Sebuah kiasan tersirat didalam ucapan Jatmiko.
Raut wajah Jatmiko menunjukkan arti dari kata yang dia ucapkan, tertawa sendiri, mengeluh sendiri dan terdiam sendiri.
"Noe maafkan aku, mungkin butuh waktu lama untuk mengembalikan uang pinjaman yang kau berikan, tadi saja, para anak buah Rohan, mengambil separuh dari uang hasil jualanku hari ini."
"Tidak perlu dikhawatirkan pak Jat, aku juga masih belum membutuhkan uang itu, jadi simpan saja dulu, sampai nanti pak Jat memiliki uang lebih." Noe dengan tersenyum menjawab perkataan Jatmiko.
"Jika kau berkata begitu, aku bahkan lupa, kapan aku memiliki uang lebih." Kembali Jatmiko tertawa, karena hampir 22 tahun kehidupan yang dia jalani setelah menikah, tidak sekali pun pernah memiliki uang lebih.
Semua tabungan, harta benda, warisan, keuntungan jualan, semuanya berakhir untuk menyekolahkan Yuna dan termasuk meminjam uang, kepada Noe untuk mengoperasi istrinya yang mengalami pendarahan organ dalam.
Terbuka pintu dari rumah triplek Jatmiko, seorang wanita paruh baya yang cantik, namun terlalu kurus karena kekurangan asupan gizi dan nutrisi. Boro-boro berpikir tentang gizi atau nutrisi, asalkan itu bisa dikonsumsi sudah menjadi berkah bagi keluarga Jatmiko.
Tapi setelah anaknya ikut berkerja di minimarket bersama Noe, walau tidak bergaji besar, setidaknya mampu memberikan sedikit tambahan penghasilan keluarga. Anggap saja, awalnya mereka langganan warteg, kini naik kasta menjadi penikmat nasi Padang.
"Noe silakan masuk, mari kita makan dulu."
Dengan senyuman manis diwajahnya yang keriput, Juminah menyambut kedatangan Noe untuk sekedar mampir dan ikut makan malam bersama.
"Tidak perlu Bu Jum, aku masih kenyang jadi ...."
Pak Jatmiko memotong perkataan Noe..."Jadi apa Noe, memang kau kenyang makan apa ?."
Balas Noe dengan senyuman kecut, karena memang, tidak ada makanan yang dia masukan kedalam perutnya itu sejak siang.
"Makan emosi pak Jat."
Sedikit hati Noe ingin menolak ajakan pak Jat dan Bu Jum untuk ikut dalam makan malam mereka, karena Noe tahu, apa yang menjadi hidangan hanya nasi putih, telur dadar, sambal terasi dan doa sebelum makan. Kandungan nutrisi dari telurnya pun seakan tertutupi oleh tepung terigu untuk membuatnya lebih besar.
"Baiklah kalau begitu, aku tidak bisa menolak permintaan dari Bu Jum yang sudah repot-repot mengajakku untuk ikut makan malam." Kata Noe sembari menggaruk kepalanya yang belum keramas.
Semerbak aroma wangi dari arah kamar Yuna tercium dengan jelas, parfum murah yang dia beli dari kios, tidak mempengaruhi harum alami dari tubuhnya. Gadis itu memang memiliki kecantikan luar dalam yang alami, sekali pun harus seharian berkeringat aroma tubuh Yuna tidak ada ubahnya dari wangi bunga melati.
"Aku harus ke kamar kecil sebentar." Kata Noe yang ingin membasuh tangannya sebelum makan.
Kamar mandi rumah Jatmiko berada di bagian belakang, tanpa sengaja berpapasan dengan Yuna yang masih berselimut handuk setelah mandi. Dia terkejut dan terpeleset dilantai yang licin, sigap Noe menangkap tubuhnya.
Noe merasa canggung dimana sensasi kenyal dari aset pribadi milik Yuna terasa nyata bersentuhan dengan tubuhnya, Segala perabotan yang sesak di segala tempat, membuat Noe kebingungan, maju salah, mundur pun tidak bisa.
Noe terdiam, Yuna terdiam, bahkan kucing yang sejak tadi mengeong ingin kawin pun ikut terdiam, sembari memperhatikan, wajah malu dari Rea.
"Yuna maaf." Noe yang tidak bisa maju atau pun mundur, memutar tubuhnya untuk memberikan jalan agar Yuna segera pergi.
Menunduk layu Yuna sembari pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun, Noe merasa bersalah atas kejadian ini, dia pun tidak tahu, jika Yuna sedang mandi dan dia tidak sengaja lewat.
Di tempat Jatmiko dan Juminah, keduanya berbicara serius mengenai permasalahan tentang Noe. Ekspresi tidak menyenangkan ditunjukan oleh Juminah.
"Pak, tidak perlulah kau untuk meminta Yuna menjadi istri Noe, kita sudah miskin, kalau anak kita satu-satunya menikah dengan Noe, maka masa depannya hanya akan berantakan." Juminah memberikan argumen tentang masa depan Yuna.
"Jum, Noe itu orang baik, dia sudah banyak membantu kita, apa salah dengan menikahkan Yuna kepada Noe, setidaknya mereka saling suka."
Jatmiko serius menanggapi perkataan istrinya itu, apa yang Jatmiko pikirkan tentang Noe karena sosoknya yang selalu baik kepada keluarga mereka.
Juminah menggelengkan kepala, ekspresi rumit yang memikirkan masa depan putrinya, sangat jelas terpahat di wajah keriputan itu.
"Pak, dua tahun lagi Yuna lulus, pasti akan memiliki pekerjaan yang lumayan, kita bisa membalas hutang Noe dan memilihkan calon yang cocok untuknya."
"Terserah ibu, aku akan mengikuti apa yang Yuna inginkan, jika memang dia menyukai Noe, sekali pun Bupati datang untuk melamar, aku akan menolaknya." Tegas Jatmiko dengan suara lantang.
Di balik tirai kamar, Yuna hanya mendengarkan setiap ucapan dari ibunya, berbaring lemas memejamkan mata dan sejenak melepaskan masalah di dalam hidup yang serba salah.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 58 Episodes
Comments
YunArs bingung nulis apa
rea yang mana thor
2023-03-19
0
tirta arya
yang gini bagus verita sama alurnya..ko sepi yah...lanjut thooorr
2023-02-25
0
IG: _anipri
saya dukung Pak!
2023-01-02
0