Pagi ini Hana sudah siap siap akan berangkat mengajar seperti biasanya. Hana keluar dari rumah kontrakan-nya, mengunci pintu kemudian duduk dikursi diteras rumah sederhana yang disewanya.
Seperti biasa, Hana menunggu Alan yang setiap pagi selalu menjemput dan mengantarnya ke sekolah tempat Hana mengajar.
Hana mengangkat tangan kirinya menilik waktu lewat jam tangan warna putih yang melingkar manis di pergelangan tangan-nya.
“Kok Alan belum datang juga yah..” Gumam Hana bertanya tanya.
Itu benar benar sangat tidak biasa bagi Hana mengingat Alan yang selalu tepat waktu menjemputnya. Bahkan tidak jarang Alan yang menunggunya karena terlalu awal menjemputnya.
Hana menghela napas. Ketika hendak bangkit dari duduknya tiba tiba ponsel dalam tasnya berdering. Hana segera merogoh meraih benda pipih berkesing putih itu.
Hana tersenyum, Alan menelepon-nya.
“Halo Alan, kamu dimana? Aku udah nungguin kamu dari tadi loh.. Aku..”
“Kak...”
Ucapan Hana terpotong karena suara yang disertai isak tangis dari seberang telepon. Hana tau itu suara siapa.
“Amira, ada apa? Kamu kenapa nangis? Alan mana?” Tanya Hana yang mulai dirayapi rasa khawatir.
Suara isak tangis itu semakin menjadi membuat Hana menelan ludah merasa takut. Mendadak perasaan-nya menjadi tidak enak.
“Amira jawab aku.. Mana Alan?” Tanya Hana lagi menuntut.
“Kak Alan.. Kak Alan kecelakaan kak..”
Bak tersambar petir pagi itu. Hana merasakan jantungnya berhenti berdetak saat itu juga.
“Apa? Tapi bagaimana mungkin?” Lirih Hana dengan kedua mata berkaca kaca. Hana bahkan mulai kesulitan bernapas karena dadanya yang terasa sesak. Alan sahabat satu satunya yang dia miliki. Alan adalah orang terbaik yang pernah Hana kenal seumur hidupnya selain kedua orang tuanya. Dan Alan tiba tiba mengalami kecelakaan.
“Kak Alan...”
Indra pendengaran Hana sudah tidak lagi bekerja dengan baik. Hana tidak bisa mendengar apapun yang Amira katakan.
Bayangan masa lalu saat dirinya kehilangan kedua orang tuanya kembali melintasi penglihatan-nya. Hana menggeleng. Hana tidak ingin lagi kehilangan orang yang sangat berarti dalam hidupnya dengan tragedi yang sama.
“Aku harus kerumah sakit sekarang..”
Hana memutuskan sambungan telepon setelah menanyakan alamat rumah sakit tempat Alan berada sekarang. Setelah mendapatkan alamatnya, Hana pun bergegas mencari angkutan umum untuk mengantarnya kerumah sakit tersebut.
Waktu 30 menit rasanya seperti setahun bagi Hana. Hana terus menangis dalam diam selama dalam perjalanan menuju rumah sakit. Hana bahkan sampai beberapa kali menyuruh supir taksi yang ditumpanginya untuk menambah kecepatan.
Ketika taksi yang ditumpanginya sampai tepat didepan rumah sakit, Hana langsung mengeluarkan beberapa lembar uang seratus ribuan dari tasnya dan memberikan-nya pada si supir taksi tanpa memperdulikan berapa ongkos yang harus dibayar. Hana juga mengabaikan teriakan si supir taksi yang mengatakan bahwa uang yang Hana berikan terlalu banyak.
Hana terus berlari dikoridor rumah sakit menuju tempat Alan berada sekarang. Jantungnya terus berdetak dengan cepat bahkan seperti hendak keluar dari tempatnya. Air mata terus menetes membasahi kedua pipi Hana.
“Ibu...” Lirih Hana begitu sampai didepan ruangan tempat Alan berada. Disana Hana mendapati ibu Alan dan kedua adiknya. Amira dan Aisha duduk sambil berpelukan meratapi keadaan Alan.
Hana langsung mendekat dan menubruk tubuh ringkih ibu Alan. Keduanya kemudian sama sama menangis terisak.
Amira dan Aisha juga kembali meneteskan air matanya. Mereka tidak menyangka jika Alan akan mengalami kecelakaan yang membuatnya tergeletak tidak berdaya diatas brankar dengan berbagai alat medis yang menempel di sekujur tubuhnya.
“Alan Hana.. Alan.. Ibu takut...” Isak ibu Alan dalam pelukan Hana.
Hana yang juga menangis hanya bisa diam dan mengusap usap punggung ibu sahabatnya itu. Hana tau Alan sangat berarti bagi ibu juga kedua adiknya begitu juga untuknya. Alan adalah segalanya bagi mereka ber empat.
Setelah semuanya tenang, Hana pun masuk kedalam ruang rawat Alan. Hana kembali menangis melihat Alan yang memejamkan mata tidak berdaya diatas brankar.
Dengan langkah pelan Hana mendekat kemudian duduk dikursi disamping brankar tempat Alan berbaring.
“Ini kali pertama kamu tidak menepati ucapan kamu Alan. Kamu membuat aku tidak bisa tersenyum pagi ini.” Lirih Hana dengan bibir bergetar.
Hana menarik napas mencoba melegakan dadanya yang terasa sesak. Melihat Alan seperti itu rasanya sangat menyakitkan.
“Aku tau kamu kuat Alan.. Kamu bisa melalui semua ini.. Kamu sudah berjanji sama aku kamu akan selalu ada buat aku..”
Hana mengusap air matanya. Hana harus bisa tenang dan kuat. Hana tau Alan tidak suka jika dirinya menangis. Alan pasti akan menyalahkan dirinya sendiri jika sampai Hana meneteskan air mata.
“Kamu harus sembuh Alan supaya kita terus sama sama.” Senyum Hana dalam tangisnya.
Hana meraih tangan besar Alan kemudian menggenggamnya erat. Alan mungkin tidak akan merasakan genggaman itu karena sedang koma. Tapi Hana tetap yakin Alan pasti bisa merasakan kehadiran-nya sekarang.
------------
“Karena benturan keras dikepalanya itu pasien mengalami pendarahan di otaknya. Dan untuk menyelamatkan-nya kita harus segera melakukan operasi.” Ujar Dokter yang menangani Alan.
Hana, ibu Alan, juga kedua adik Alan terkejut mendengarnya. Mereka saling menatap merasa bingung harus bagaimana mencari uang untuk membayar biaya operasi yang pasti tidak sedikit itu.
Hana yang melihat ke khawatiran bercampur bingung dari gerak gerik ibu dan kedua adik Alan pun menghela napas dan memberanikan diri bertanya tentang biaya yang harus dikeluarkan jika Alan di operasi.
“Berapa biaya untuk operasinya dok?”
Pria berjas putih berkaca mata itu kemudian memusatkan pandangan-nya pada Hana.
“Untuk operasinya biaya yang diperlukan sekitar 500 juta. Tapi setelah operasi dilakukan kondisi Alan tidak bisa langsung pulih. Alan mungkin akan tetap koma dan membutuhkan proses yang panjang untuk kembali bisa seperti sedia kala.”
Hana menelan ludah mendengarnya. Keadaan Alan sudah sangat gawat. Dan tabungan Hana tidak mencapai angka itu.
“Ya Tuhan...” Batin Hana pilu.
Mendengar apa yang dokter katakan, ibu dan kedua adik Alan langsung menangis. Mereka tidak punya tabungan begitu juga dengan Alan. Karena gaji Alan setiap bulan hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan sehari hari termasuk biaya sekolah kedua adiknya juga biaya berobat untuk ibunya yang sering sakit sakitan.
“Ya Tuhan anakku...”
Ibu Alan menangis histeris. Tubuhnya melemas membuat Amira dan Aisha langsung dengan sigap menahan-nya agar tidak jatuh dari kursi yang didudukinya.
Hana pun akhirnya ikut menangis kembali dan memeluk tubuh ibu Alan yang perlahan lahan mulai kehilangan kesadaran-nya.
“Kalian tidak perlu khawatir. Aku akan berusaha mencari uang itu. Aku akan mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhan Alan...” Ujar Hana memeluk ibu Alan dan menatap bergantian pada Amira dan Aisha dengan penuh keyakinan.
Dokter Harun yang menangani Alan hanya bisa menghela napas melihat kepiluan didepan-nya. Kondisi Alan memang sangat memprihatinkan sekarang.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 300 Episodes
Comments
evita vita
yg nabrak g tanggung jawab ya biaya rs
2023-01-05
2
Mawar89
reflek ikutan praktek menelan ludah 😅
2022-12-30
1