“Ini di mana?” Seorang pemuda tampak mondar-mandir di depan sebuah rumah mewah. Entah mengapa dia tiba-tiba muncul di sana, setelah diusir oleh para tetua adat di desanya.
Claude menatap sekelilingnya dengan bingung. Terdapat banyak cahaya seperti kelap-kelip bintang di sekelilingnya. Tidak terlihat rembulan yang biasanya menerangi langit malam. Tidak ada pula sinar aurora yang biasanya menghiasi langit utara.
Udara cukup hangat, bagaikan musim panas di negaranya. Beragam aroma yang cukup asing menggelitik hidungnya. Sayangnya Claude tidak dapat melihat jelas tempat itu, karena kegelapan malam.
“Dasar para tetua itu! Mereka sebenarnya mengasingkan aku ke mana, sih? Sepertinya ini bukan Benua Eiland lagi,” kata Claude menggerutu kesal. Pria itu lalu mengunakan kekuatan sihirnya untuk mengenali tempat baru ini.
Cukup lama Claude duduk mengucapkan mantra-mantra sihir yang dia ketahui di bawah sebuah pohon rindang. Andai saja ada yang melihatnya, pasti sudah disangka seorang gelandangan.
“Astaga! Ini sudah zaman modern. Sihir apa yang digunakan para tetua adat itu untuk mengusirku? Bukan cuma pindah benua, tapi ini sudah pindah zaman,” ujar Claude geram.
Untung saja ilmu sihir yang dia miliki, mampu membuatnya beradaptasi di tempat baru ini. Dengan cepat, Claude pun bisa mengenali benda-benda yang ada di zaman modern. Sayangnya akibat terus menerus menggunakan kekuatan sihir, Claude kehilangan tenaganya. Dia pun jatuh pingsan dan berubah jadi seekor kucing hitam.
...***...
Brrrrmmmm. Deru kendaraan yang mendekat, serta sorot cahaya lampu yang sangat terang, membuat kucing jantan itu terkejut dan berlari ke arah pagar. Naas, mobil mewah yang kehilangan kendali itu justru menabraknya. Penyihir berwujud kucing itu pun melesat dengan cepat mencari tempat yang aman.
Kucing itu menggigil ketakutan di bawah mesin mobil. Dia pun mendengar dua orang wanita berbicara dengan nada suara panik. “Siapa mereka? Bukan orang jahat, kan?” pikir kucing kecil itu.
Tak lama kemudian, seorang wanita pun mengangkat kucing itu. Claude merasa sangat canggung, meskipun dia dalam wujud seekor kucing. Ini pertama kalinya dia disentuh oleh seorang wanita.
“Ayara, kucingnya masih hidup. Tapi kakinya memang terluka,” kata Luna, seraya menggendong sebuah kucing hitam.
“Hiii, jauhkan kucing itu dariku.” Ayara bergidik ngeri melihat kucing di dalam gendongan Luna tersebut.
“Nggak boleh seperti itu, Ayara. Kamu harus merawatnya, Ayara. Kamu yang tadi menabraknya. Jadi kamu harus merawatnya sampai sembuh. Kalau nggak dilakukan kamu bisa kena sial, Ayara.” Luna memaksa Ayara.
“Nggak mau! Kakak kan tahu kalau aku nggak suka kucing. Kenapa nggak kakak aja sih yang merawatnya? Sama aja, kan?” tolak Ayara. Tetapi sang manajer terus membujuk Ayara untuk membawa masuk kucing itu.
“Kamu tuh cuma nggak suka kucing, bukan karena alergi. Jadi nggak ada alasan untuk menolak merawat kucing ini. Kamu mau kena sial lagi hari ini?” desak Luna.
“Uh, iya deh,” kata Ayara dengan terpaksa.
Claude yang berada dalam gendongan Luna pun mengeong dan meronta. Dia tidak terima disebut sebagai pembawa sial. Kalau begitu, apa bedanya di sini dengan di kampung halamannya? Tapi Claude tidak bisa menolak, kakinya yang terluka membuatnya tidak bisa pergi jauh dari sini.
“Kita letakkan di taman kecil dekat dapur aja, ya. Malam ini aku ajarin deh cara ngobatinnya, tapi besok pagi harus kamu sendiri yang mengobati kucing ini,” kata Luna. Dia lalu meletakkan kucing jantan itu di taman mungil yang asri, di dalam rumah Ayara.
“Iya, aku mengerti,” kata Ayara dengan wajah jutek. Sejak kecil dia memang tidak menyukai kucing.
...***...
Tling! Tling! Tling! Telinga Ayara mendengar beberapa pesan masuk di HP-nya. Dia pun perlahan membuka matanya.
“Siapa sih pagi-pagi gini mengirim pesan?” kata Ayara sambil menguap. Rasa kantuk masih belum pergi dari matanya.
“Ya ampun, aku lupa soal masalah ini,” kata Ayara.
Ternyata pesan yang banyak tersebut adalah dari beberapa orang wartawan media TV terkenal. Mereka ingin mengkonfirmasi tentang skandal yang menyeret nama Ayara. Ada juga beberapa telepon dari direktur manajemen artis, tempat dia bernaung.
“Aku harus menjawab mereka. Skandal itu nggak benar,” tekad Ayara. Dia lalu memberanikan diri menelepon direktur manajemennya.
“Ha-halo, Pak Direktur?” ucap Ayara dengan gugup.
“Apa-apaan kau ini, Ayara! Kita sudah susah payah mendapatkan peran utama dalam Film itu. Tapi kamu malah menghancurkannya,” bentak Pak Direktur dengan marah.
“Maaf, Pak. Tapi itu fitnah. Aku nggak pernah menjalin hubungan dengn siapa pun,” bantah Ayara.
“Kamu pikir semua orang bodoh? Di foto dan video itu kau terlihat menggandeng tangan seorang pria dengan mesra. Walau pun wajahnya sudah di blur, tetapi masih bisa terlihat kalau dia adalah manajer casting Film yang kau bintangi.”
“Eh? Maksud Bapak pria itu Mas Cakra? Astaga, itu nggak mungkin, Pak,” bantah Ayara berkali-kali.
“Ayara, ini bukan masalah sepele. Tetapi ini skandal antara aktris terkenal dengan menantu dari pengusaha terkenal. Apa kamu masih nggak paham, betapa menariknya berita ini bagi orang-orang? Kalau kalian ketahuan selingkuh, semua sponsor yang telah mereka berikan bisa ditarik lagi,” jelas Pak Direktur. Dalam kalimatnya tersirat emosi yang tak tertahankan lagi.
Ayara mondar-mandir di dalam kamarnya dengan gelisah. Sesekali dia menggigit jari kukunya untuk menenangkan diri. “Pak Direktur, mohon percaya padaku. Aku nggak melakukan hal seperti itu,” kata Ayara.
“Aku harap kamu bisa membereskan hal ini dengan baik. Semua jadwalmu nanti akan diatur ulang oleh Luna. Bersikaplah dengan baik, kalau nggak mau dipecat dari manajemen ini,” ucap Pak Direktur dengan ketus.
Setelah telepon terputus, Ayara duduk termenung di dalam kamarnya. Pikirannya berkecamuk, dadanya bergemuruh. Dia merasa sangat galau dan terpuruk karena skandal ini.
“Oh iya, keadaan kucing kemarin gimana, ya? Apa benar aku tambah sial karena habis nabrak kucing?” Ayara buru-buru keluar kamar dan mencari kucing hitam tersebut.
“Kok nggak ada? Dia sembunyi di mana, sih? Jangan bilang dia masuk ke lemari pakaian dan mengacak-acak isinya? Ini yang bikin aku nggak suka sama kucing,” ucap Ayara dalam hati. Dia pun mencari kucing itu di beberapa ruangan. Tapi tidak ketemu juga.
“Hmmm, bau apa ini? Kayaknya dari dapur? Biasanya Mbak Tatik jam tujuh baru datang dan bikin sarapan,” kata Ayara heran. Saat ini jam dinding masih menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit. Dia pun berjalan ke dapur untuk memeriksanya.
“Astaga! Siapa kamu? Penyusup, ya?” Ayara berteriak histeris, melihat seorang pria sedang memasak menu aneh yang nggak pernah dilihatnya.
“Maaf aku meminjam dapurmu. Aku belum makan sejak tadi malam,” kata pria itu dengan santai.
“Nggak, kamu nggak boleh memasak di sini! Keluar kamu, atau aku panggilkan polisi.” Ayara berteriak, mengusir pria aneh itu. Wanita itu pun segera mengambil pisau dan talenan dari meja, untuk menjaga diri.
“Maaf, Nona. Aku bukan orang jahat. Gimana bisa aku pergi dari sini kalau kakiku terluka?” kata pria asing berkulit putih pucat itu.
“Terus kalau kakimu terluka, kenapa bisa ada di sini? Pokoknya kamu harus keluar sekarang!” kata Ayara lagi. Dia berusaha meraih HP-nya yang terletak di dalam saku celana.
“Loh, kan Nona dan teman Nona yang membawaku masuk ke sini. Dasar manusia aneh,” ujar pria itu lagi.
“Kamu bilang aku orang aneh? Kamu tuh yang aneh. Memangnya kapan aku membawa masuk seorang cowok kayak kamu,” bantah Ayara. Jemarinya sibuk mencari nomor Luna untuk meminta bantuan.
“Aku ini kucing yang Nona tabrak tadi malam. Lalu teman Nona menggendongku dan membawaku ke sini,” jelas pria itu.
“Kucing? Kamu kucing itu?” jerit Ayara. “Nggak, aku nggak percaya! Pasti tadi malam kamu nguping pembicaraanku dengan Kak Luna, kan? Cepat bilang, di mana kucing itu kamu sembunyikan,” kata Ayara lagi.
“Aku kucing itu. Namaku Claude,” ujar Claude meyakinkan Ayara.
(Bersambung)
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 52 Episodes
Comments
Avril Qalesya Pratiwi
ahhh kan aq jadi takut 🤭
2022-12-01
4