Nayla menumpah air mata di kamar, tak menyangka Ayahnya akan menolak lamaran Davka.
"Aku benci Ayah! Kenapa dia menolak lamaran Dave hanya karena dia karyawan rendahan. Tidak! Aku tidak percaya ini," menggelengkan-gelengkan kepala tak percaya
"Semua ini bohong! Selama ini mereka selalu mengajarkanku untuk tidak memandang orang lain dari status sosial, tapi ini apa?."
"Bunda juga, kenapa dia hanya diam dan tak berbuat apapun."
Nayla terus meracau sambil mengobrak-abrik seisi kamar, hingga kini kamar itu tak berbentuk lagi seperti baru terkena badai lokal. Penampilannya sendiri pun acak-acakan tak karuan.
Puas menghancurkan seisi kamar, Nayla terduduk di lantai. Kedua kaki ditekuk kedalam dengan tangan memeluk lutut. Kepala tertunduk penuh kekecewaan. "Aku tidak percaya ini...aku tidak percaya!.
Nayla terus tergugu dengan air mata berurai, menangisi nasib cintanya yang layu sebelum berkembang. Tapi detik berikutnya ia bangkit dan menyeka air mata. "Tidak, aku tidak boleh menyerah! Aku harus berjuang demi cintaku. Walau itu artinya harus menentang kedua orangtuaku."
"Ya, aku tidak boleh menyerah! Aku harus menghubungi Davka dan mengajaknya bertemu untuk bicara."
Nayla merapikan pakaiannya kembali dan bergegas mengambil ponselnya yang tergeletak diatas nakas, lalu memencet nomor Davka yang dihafalnya diluar kepala.
...****************...
Sementara itu ditempat lain....
"Kurangajar! Sombong sekali si Abhimana itu. Mentang-mentang orang kaya bisa mengusirku dari rumahnya dengan seenaknya. Lihat saja, aku akan membuatnya bersujud dan meminta maaf padaku."
Setelah diusir dari kediaman Haidar, Davka memacu mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ia merasa terhina dengan pengusiran tadi. Ia terus mengumpat dan mengutuk Abhimana. Sesekali ia lampiaskan kemarahannya dengan memukul stir mobil.
"Ini tidak boleh dibiarkan. Aku harus meracuni pikiran Nayla agar mau menentang keputusan orangtuanya dan menikah denganku, atau semua rencanaku akan gagal."
Davka segera menepikan mobilnya dan mengambil ponsel dari saku celana. Namun saat ia hendak memencet nomor Nayla, ternyata dia telah menelpon duluan.
"Pucuk dicinta ulam pun tiba. Baru saja aku mau menelponnya, tapi ternyata dia malah menelponku duluan. Aku harus pura-pura menerima keputusan Ayahnya tadi dan menarik simpatinya. Ya, aku harus melakukan itu!."
Davka segera memencet tombol hijau dan menerima panggilan dari Nayla. "Halo, sayang, ada apa?."
"Dave, kamu ada dimana? Apa kamu sudah sampai di rumah?" terdengar suara sahutan dari seberang.
"Aku masih ada di jalan, sayang. Ada apa?."
"Bisakah kita bertemu sebentar? Ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu."
Dave menyatukan kedua alis dan memicingkan sebelah mata. "Hal penting apa?" tanyanya.
"Nanti saja aku beritahukan setelah kita bertemu."
Dave menghela nafas. "Baiklah, kita bertemu di kafe biasa setengah jam lagi." Dan sambungan telepon pun terputus. Ia pun memutar balik mobil dan melaju menuju kafe tempat mereka biasa bertemu.
Tak butuh waktu Dave pun sampai di kafe yang dimaksud. Ia segera masuk dan duduk di kursi di dekat jendela.
Seorang pelayan datang menyodorkan buku menu. "Anda ingin memesan apa?."
Tanpa melihat buku menu yang ia tahu betul apa saja menu di kafe ini, Dave langsung memesan segelas minuman kesukaannya. "Royal hot chocolate satu!."
Pelayan mencatat pesanan Dave. "Apa ada yang lain."
"Tidak, itu saja!."
"Baik! Silahkan tunggu sebentar." Pelayan mengambil buku menu kembali dan pergi meninggalkan Dave.
Tak berselang lama Nayla terlihat memasuku kafe. Dave melambaikan tangan untuk memberitahukan posisinya dengan gerak bibir sekan mengucap bahwa dia ada disitu.
Nayla menghampiri Dave dan menghempaskan tubuh diatas kursi berhadapan dengannya. "Apa kau menungguku terlalu lama?" tanyanya.
"Tidak juga. Aku juga baru saja datang. Mau aku pesankan minuman dulu. Barusan aku sudah memesan."
"Boleh. Seperti biasa ya."
Dave mengangguk, mengerti apa minuman kesukaan wanita di hadapannya. Ia memanggil seorang pelayan dan memesankan minuman untuknya.
"Jadi, hal penting apa yang ingin kamu bicarakan denganku?" tanya Dave setelah ninuman mereka disajikan.
Sejenak Nayla diam, menyakinkan hati bahwa yang akan dilakukannya ini sudah tepat. Perlahan ia menggenggam tangan Dave. "Dave, apa kau benar-benar mencintaiku dan ingin menikah denganku?" tanyanya serius.
Sesaat Dave membisu mendengar pertanyaan Nayla. Namun detik berikutnya ia kembali menguasai diri. "Apa kau melihat ketidakseriusan di mataku?" tanyanya kembali. Sorot mata menatap tajam kearah Nayla.
Nayla menggeleng, percaya sepenuhnya jika Dave memang benar-benar mencintainya. "Tidak, Dave. Aku minta maaf. Aku percaya sepenuhnya padamu."
Entah Nayla yang sudah terlanjur cinta mati dengan Dave atau memang ia terlalu baik hati, sehingga begitu tergila-gila padanya dan tak bisa menilai watak asli seseorang.
Dave menghela napas. "It's ok, tidak apa."
"Jadi kau mengajakku bertemu hanya kerena ingin menanyakan hal ini?."
"Tidak, Dave, tapi...."
"Tapi apa?."
Nayla memejamkan mata, memantapkan hati kembali bahwa keputusannya ini memang benar. "Maukah kau menikahiku besok?" tanyanya tiba-tiba.
Ditanya seperti itu oleh Nayla awalnya Dave cukup terkejut. Ia pikir Nayla akan menurut dengan perintah orangtuanya. "Mmmh...tampaknya aku tak perlu bersusah payah untuk meyakinkannya agar mau menikah denganku. Sepertinya dia sudah jatuh cinta sepenuhnya denganku sehingga tak ingin berpisah denganku. Tapi aku harus berpura-pura menolaknya dan memintanya untuk menuruti perintah orangtuanya agar dia semakin terkesan dan jatuh cinta padaku," gumamnya dalam hati.
Tak juga mendengar jawaban dari Dave, Nayla mengguncang lengannya. "Kenapa kamu hanya diam saja, Dave? Jawab pertanyaanku!."
Dave tergeragap, tersentak dari pikirannya sendiri. "Maaf...maaf, aku hanya sedikut terkejut dengan pertanyaanmu tadi."
"Jadi, apa jawabanmu? Maukah kau menikahiku besok?." Nayla mengulang kembali pertanyaannya. Matanya menatap Dave penuh permohonan.
Dave menghela nafas, memasang wajah sendu dan berpura-pura menolak. "Kau tahu betul kalau aku sangat mencintaimu dan ingin menikah denganmu. Tapi...."
Dave sengaja menggantung kalimatnya untuk memancing reaksi Nayla. "Tapi apa, Dave?" tanya Nayla tak sabar.
"Tapi orangtuamu sudah menolakku mentah-mentah. Dan aku cukup tahu diri akan hal itu." Davka menundukkan kepala dan berpura-pura sedih.
"Jadi maksudmu kau ingin menyerah begitu saja dan tak ada keinginan untuk memperjuangkan cinta kita?" tanya Nayka sarkastis.
Mendengar ucapan Nayla sontak Dave mengangkat kepalanya kembali dan menepis dugaan Nayla. "Itu tidak benar. Aku sangat mencintaimu, Nayla."
"Jujur, aku juga tidak ingin berpisah denganmu. Hidupku rasanya tak berguna lagi tanpa kau disisiku."
"Kalau begitu nikahilah aku besok" ucap Nayla cepat.
"Tapi bagaimana dengan orangtuamu?." Dave masih saja berpura-pura menolak permintaan Nayla. Padahal dalam hati ia mentertawakan kebodohannya.
" Jangan pikirkan soal itu, yang penting kita menikah dulu. Nanti kita akan membicarakannya dengan kedua orangtuaku setelah kita menikah. Aku yakin mereka akan memberikan restunya setelah itu."
"Apa kau bersungguh-sungguh dengan keputusanmu?."
Nayla mengangguk yakin. "Ya, aku bersungguh-sungguh!."
"Baiklah, besok kita akan menikah. Aku akan mempersiapkan segalanya" jawab Dave mantap. Dalam hati bersorak kegirangan. "Akhirnya kau masuk dalam perangkapku" gumamnya dalam hati.
Nayla berjingkrak kegirangan mendengar jawaban Dave. Wajahnya yang tadi diliputi oleh mendung kesedihan kini kembali cerah. "Terimakasih banyak, Dave. Aku mencintaimu."
"Aku juga mencintaimu" jawab Dave dengan senyum penuh kepalsuan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 68 Episodes
Comments