Maaf Yang Terlambat

Maaf Yang Terlambat

Bab 1

"Detik ini juga aku menceraikanmu. Kau bukan lagi istriku sekarang."

"Ta....tapi apa kesalahanku?."

"Kau masih bertanya apa kesalahanmu? Baik, akan kuberitahu!," Senyum sinis tersungging di wajah. "Kau adalah seorang wanita murahan. Kau tak bisa menjaga kesucianmu sendiri. Jadi, untuk apa aku mempertahankan wanita sepertimu."

"Tuduhanmu itu tidak benar sama sekali, mas. aku wanita yang suci."

"Suci katamu? Kau bilang kau masih suci? Apa buktinya kalau kau masih suci?," berteriak penuh kemarahan. "Di malam pertama kita, kau bahkan tak mengeluarkan setetes pun darah keperawanan. Apa itu yang kau sebut sebagai masih suci?."

"Tak mengeluarkan darah keperawanan bukan berarti aku tidak suci, mas. Banyak wanita di dunia ini yang tak bisa mengeluarkan darah keperawanan karena beberapa sebab, dan salah satunya adalah aku."

"Tidak usah sok mengajari aku. Aku tahu mana yang salah dan.mana yang benar."

"Demi Allah aku bersumpah, tidak ada laki-laki lain yang menyentuhku selain dirimu. Kau lah yang pertama bagiku."

"Jangan pernah bersumpah hanya untuk menutupi kesalahan, itu tak kan pernah merubah kenyataan. karena sekali murahan, tetap murahan.

...****************...

BEBERAPA BULAN SEBELUMNYA....

Seorang wanita dengan pakaian kerja lengkap berwarna hijau tosca tengah berjalan keluar dari gedung perkantoran. Busana yang dikenakannya membalut dengan sempurna tubuh ramping miliknya sehingga semakin menambah keanggunannya. Tangannya menjinjing sebuah tas dengan merk terkenal. Kepalanya tertutup hijab dengan warna senada. Kakinya yang jenjang mengenakan sepatu hak tinggi dengan merk terkenal pula.

Dialah Nayla Samma Fatimah, atau yang akrab disapa dengan panggilan Nayla. Seorang wanita berusia dua puluh tujuh tahun. Kekayaan selangit karena memiliki sepasang orangtua yang masuk dalam daftar lima orang terkaya di negeri ini. Hobinya adalah memasak, kerap kali ia melampiaskan semua emosi dengan berkreasi menciptakan resep kue baru.

Lulus dari menempuh pendidikan dengan predikat cumlaude di Harvard university jurusan bussines management dalam usia dua puluh empat tahun. Ia kembali ke tanah air dan memgambil ali kepemimpinan perusahaan dari tangan sang ibu yang mulai menua, yang mana perusahaan itu memang telah diwariskan padanya semenjak masih bayi.

Paras oriental, tubuh tinggi semampai bak model profesional, alis tebal dan tulang pipi yang tinggi. Bibirnya kemerahan alami selalu terlihat menawan dengan wajah putih bersih miliknya.

Putri dari sepasang pengusaha sukses bernama Abhimana Haidar dan Kania Larasati. Dalam sekejap ia kembali, namanya melambung di kehidupan berbagai kalangan, terlebih nama besar yang dimiliki kedua orangtua membuat namanya semakin diperhitungkan. Pria berlomba-lomba untuk menjadi kekasih atau bahkan suaminya, namun semua ia tolak dengan alasan masih ingin sendiri.

Dengan kekayaan triliun rupiah, tak menjadikan dirinya angkuh dan sombong. Pribadinya yang bersahaja dan sopan membuat banyak orang terpikat dan ingin dekat dengannya.

"Mau kemana, bu Nayla?" sapa salah satu penjual bakso yang mangkal tak jauh dari kantornya.

Nayla menghentikan langkah saat ada yang menegurnya. "Eh, mang Maman, saya mau ke minimarket yang ada disitu, mang. Ada sesuatu yang ingin saya beli," jawabnya tersenyum ramah. Jarinya menunjuk kearah minimarket yang ada diseberang jalan.

"Kenapa nggak nyuruh orang saja buat beli, bu?."

"Nggak pa pa, mang. Lagian minimarketnya juga nggak jauh kan?."

Mang Maman berdecak kagum sambil geleng-geleng kepala. " Bu Nayla ini memang nggak ada duanya. Udah cantik, sukses, kaya, tapi nggak sombong dan mau melakukan apapun sendiri."

"Ah, mang Maman ini bisa aja mujinya. Ntar kepala saya jadi gede lho kalau terus-terusan dipuji," menanggapi pujian mang Maman dengan tersipu malu. "Mang Mamang sendiri, bagaimana dengan jualannya hari ini?" mengalihkan topik pembicaraan pada hal lain.

"Alhamdulillah, bu, lumayan."

"Alhamdulillah, tetap semangat ya mang."

Ditengah obrolan mereka, seorang pengemis berpakaian compang-camping datang mendekat. "Minta sedekahnya, Non. Saya belum makan apapun sejak kemarin," ucapnya lirih dengan tangan menegadah kearah Nayla. Begitu lirihnya ia berucap hingga hampir tak terdengar suaranya.

"Astaga, kasihan sekali. Kalau begitu kamu duduk sini dulu."

Pengemis itu menuruti perintah Nayla. Sementara Nayla beralih memghampiri Mang Maman. "Mang, tolong buatkan orang ini semagkuk bakso. Nanti biar saya yang bayar."

Mang Mamam mengangguk, meracik semangkuk bakso dan menghidangkannya di hadapan pengemis itu.

Pengemis itu segera memakan bakso dengan lahapnya. Begitu cepatnya ia makan hingga dalam waktu singkat bakso itu telah habis tak bersisa.

Sementara Nayla sendiri turut duduk disamping pengemis itu dan menemaninya makan tanpa rasa jijik apalagi malu.

"Terimakasih banyak, Non.Semoga Tuhan membalas semua kebaikan non. Kalau begitu saya permisi dulu!" ucapnya setelah perutnya terasa kenyang.

"Tunggu dulu!" Nayla menghentikan pengemis itu melangkah. Mengambil sejumlah uang dari dalam tas dan menyodorkan padanya. "Ini ada sedikit rezeki buat kamu. Tolong di terima. Semoga bisa bermanfaat buat kamu."

Pengemis itu menerima uang pemberian Nayla dengan berlinang air mata. Seumur hidup belum pernah ia memegang uang sebanyak itu. "Terimakasih banyak, Non. Semoga Tuhan menambah rezeki buat non."

"Amin...." sahut Nayla. Dan pengemis itu pun berlalu.

Mang Maman yang sedari tadi menyaksikan kejadian itu pun semakin dibuat kagum dengan kepribadian Nayla. "Bu Nayla ini memang wanita yang baik dan dermawan. Siapapun yang menjadi suami ibu nanti pasti akan menjadi laki-laki yang paling beruntung di dunia."

Nayla tersenyum kecil. "Jangan terlalu memuji saya, Mang. Saya hanya membagikan sedikit rezeki yang saya miliki. Lagipula bukankah sudah menjadi kewajiban kita untuk membantu orang yang membutuhkan" ucapnya merendah. "Kalau begitu saya permisi dulu mang!."

Nayla pun meneruskan langkah menuju minimarket di seberang jalan. Namun baru beberapa langkah ia berjalan, tiba-tiba....

sretttt...

Brakkkk....

"Tolong....jambret." Seorang jambret merebut tasnya dari arah selatan. Ia pun mengejarnya sambil berteriak meminta tolong.

Mendengar adanya teriakan minta tolong, seorang pemuda datang mendekat. "Ada apa, mbak?" tanyanya.

"Tolongin saya, mas, tas saya diambil oleh jambret."

"Mana jambretnya?."

"Itu, mas! Dia lari kearah situ" jari tangan menunjuk kearah jambret.

"Mbak tunggu disini, biar saya yang mengejar jambretnya!." Secepat kilat ia berlari mengejar jambret itu. Dan hanya dalam waktu sekejap, ia berdiri menghadangnya. "Serahkan kembali tas yang kau ambil itu sebelum kau menyesal!" ucapnya memberi peringatan.

Mendengar peringatan itu, si jambret malah tertawa sinis. "Jangan harap aku akan mengembalikan tas ini!." Dan tanpa aba-aba, ia langsung melayangkan bogem mentah kearah wajah pemuda tersebut. "Hiya...."

Menyadari adanya serangan dari lawan, dengan sigap pemuda itu mengelak kesamping, hingga bogem mentah milik si jambret hanya mampu mengenai udara. "Jadi kau tidak mau menyerahkannya kembali? baiklah, jangan salahkan aku kalau bertindak kasar!"

Ia pun mengambil ancang-ancang untuk balik menyerang. Dilayangkannya sebuah tinju hingga mengenai tepat di ulu hati si jambret hingga membuatnya jatuh tersungkur.

Si jambret tak mau menyerah, ia segera bangkit dan balik menyerang dengan melayangkan sebuah tinju yang tepat mengenai wajah pemuda tersebut.

"Argk..." Si pemuda mengerang kesakitan, tak menyangka akan adanya serangan balik.

Sementara Nayla yang ikut mengejar jambret tersebut berteriak ketakutan saat melihat pemuda yang menolongnya tadi teurkena bogem mentah. Sontak suara teriakannya mengundang kerumunan massa.

Melihat banyaknya massa yang berkerumun, si jambret pun ketakutan. Ia melempar tas milik Nayla tadi dan lari tunggang langgang untuk menyelamatkan diri.

Pemuda itu pun memungut tas itu dan mengembalikannya pada Nayla. "Ini, mbak tasnya. Lain kali hati-hati!."

Nayla mengambil kembali tas miliknya dan mengucapkan terimakasih. Sementara massa membubarkan diri dengan sendirinya saat situasi kembali membaik.

Mendadak Nayla khawatir saat matanya melihat ada darah disudut bibir pemuda yang menolongnya tadi. "Mas, bibirnya berdarah."

Si pemuda yang tak menyadari kalau sudut bibirnya mengeluarkan darah pun menyekanya dengan punggung tangan. "Tidak apa, mbak! Ini hanya luka kecil."

"Jangan menyepelekan luka! nanti bisa infeksi kalau dibiarkan. Sini, biar saya obati dulu lukanya."

Nayla mengajak pemuda itu duduk di sebuah bangku yang berada tak jauh darinya. Di keluarkannya kotak p3k mini yang selalu dibawanya dari dalam tas dan mulai mengobati luka pemuda itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!