Di dalam kamar memiliki gorden coklat yang sama sekali belum terbuka, lampu hanya menyala tamaram satu sudut, sangat sunyi. Arini tidak ingin membuat lelaki itu terbangun, jika dia boleh egois bahkan ia akan meminta Rio untuk tetap tinggal di apartemen ini bersamanya.
Namun kesibukan keduanya membuat tidak memungkinkan untuk tetap bersama seharian suntuk. Arini harus menjalani aktivitas nya begitu pun dengan Rio yang harus pergi ke kantornya.
Begitulah, hari-hari yang mereka lalui, hingga berganti minggu, bergerak menjadi bulan. Keduanya menjalin kedekatan, Arini terlalu nyaman berdekatan dengan pria ini.
Hingga seiring berjalannya waktu memasuki bulan ke empat, Arini semakin terjerat dalam perasaannya sendiri. Ia begitu ketergantungan dengan sesosok Rio.
Penyakit bipolar yang biasanya selalu kambuh, kini pergi entah ke mana. Arini tidak pernah merasakan depresi yang berlebih lagi. Apakah dia sembuh? Ia rasa tidak, hanya saja penyakit itu menghilang sesaat setelah kehadiran Rio.
Apa pun yang ada pada lelaki itu sangat memikat ketertarikannya. Sikap positif pun menjalar ke dalam dirinya. Ia selalu ingin bersama Rio lebih lagi.
“Hem… apa? Hari ini juga?" Seketika perempuan itu menyibak rambutnya- saat seusai mendengar suara seorang dari seberang sana menelepon.
"Iya. Selagi ada libur ini dari si bos."
"Tapi maaf, aku tidak bisa temani kamu. Ada kerjaan yang tidak bisa ditinggal. Sekali lagi, maaf ya, Zi?" Arini mengigit bibir bawahnya sambil melirik ke belakang.
Temannya itu menutup telepon dengan rasa kecewa.
Setelah mematikan telepon, Arini menghembuskan napas sambil memutar bola mata malas kemudian memejamkan beberapa saat. Arini melirik malas ke arah pria di sampingnya yang masih terpejam tidur dengan pulas.
"Rio, kamu tidak bangun?" Sepertinya lelaki itu semakin memperdalam memasuki alam tidurnya.
"Rio, bangun! Hpmu sejak tadi terus saja bunyi!" Arini mendorong tubuh Rio hingga lelaki itu terperanjat kaget.
"Siapa yang telepon?" tanyanya. Menggaruk kepala sambil mengembalikan kesadaran yang sepenuhnya belum pulih.
"Mana aku tau." Lantas Arini beranjak dari tempat memunguti pakaian di lantai yang ia buang sendiri secara serampangan semalam.
Setelah membersihkan diri dan mengganti pakaiannya dia keluar menatap Rio yang sedang menelepon di sofa dekat jendela.
"Siapa?" tanyanya setelah Rio menutup teleponnya.
Kemudian ia berdiri di depan cermin untuk memberi olesan krim ke wajahnya.
"Ada yang menelepon, mengajakku pergi ke luar kota. Aku lupa kalau hari ini ada janji dengannya," jawab Rio. Sambil meraup wajahnya sendiri untuk mengembalikan kesadarannya.
"Oh ya?" Arini menghentikan aktivitas tangannya kemudian menyunggingkan bibir.
“Kamu akan pergi ke luar kota lagi, terus menghilang begitu saja, tanpa kasih kabar ke aku?”
"Kenapa kamu bilang seperti itu, Rin?" Dahi Rio berkerut seolah tidak menyukai apa yang baru saja dikatakan Arini.
"Apa aku salah kalau ngomong seperti itu, Rio? Nyatanya bener kan yang aku bilang kalau, kamu datang ke aku hanya karena ingin menjadikan pelampiasan, setelahnya akan pergi gitu aja." Cukup lama ia menahan rasa ini. Berharap Rio menyisakan rasa pengertian untuknya. Tapi nyatanya seujung kuku pun ia tidak bisa mendapatkan.
Arini merasa lelah menjalani hubungan tidak sehat ini selama berbulan-bulan yang mereka merasa baik-baik saja. Ia butuh status.
"Tapi sebelum kita menjalin hubungan ini, kita sudah sepakat bukan, Rin? Kita sepakat kalau tidak ada yang ikut campur urusan satu sama lain?" tanya Rio yang beranjak dari kursi kemudian berdiri dan memegang kedua pundak Arini.
Arini tahu benar kalau semua kesalahan ini adalah murni dari kebodohannya. Murni karena rasa cinta yang tidak ada ujungnya. Tapi semakin hari menjalani ini nalurinya sebagai sebagai seorang perempuan seolah menolak atas perbuatannya.
"Aku tau." Suara itu terdengar pelan dan berat. "Maka dari itu, aku butuh kejelasan hubungan kita, Rio. Kita ini sebenarnya apa sih? Pacar, teman, atau bagaimana?"
"Tapi aku belum mau, Rin, ada satu lain hal, yang mengharuskan kita tetap seperti ini," balas Rio.
Sebelah alis Arini terangkat dahinya berkerut dalam.
"Aku tapi satu harus kamu tahu, jangan anggap aku cuma sebagai wanita penghibur." Ia butuh hal lain, lebih ia selalu memimpikan pernikahan.
“Bukan seperti itu, Rin. Tapi aku--"
"Aku memang bodoh, selalu berharap ada secuil cinta untukku tapi nyatanya tidak, meski sudah ku relakan semua," Arini berdiri kaku itu kemudian duduk di tepi ranjang dengan wajah yang tertunduk.
"Kamu bilang kayak gitu seolah aku yang salah di sini, Rin! Ingat, kita sudah sepakat menjalani hubungan ini tanpa komitmen. Pacaran atau bahkan pertunangan! Kenapa kamu sekarang berpaling dengan janji yang udah kita sepakati. Bahkan biasanya kamu diam sejak awal, tapi kenapaa sekarang banyak menuntut?”
"Iya itu-"
Suara bel pinti apartemen tiba-tiba terdengar memecah ketegangan di antara keduanya. Arini mengayunkan kaki sebab ia tahu pagi-pagi seperti ini pasti orang laundry yang akan mengambil pakaian kotornya. Ia memunguti pakaian-pakaian yang akan dicuci kemudian menyeret keranjang ke samping pintu.
Rio masih berdiri terpaku untuk menunggu Arini akan melanjutkan perdebatan mereka.
Arini memutar anak kunci kemudian membuka pintu lebar-lebar.
Mencengangkan saat menatap ia mendapati sesosok wanita yang ada di ambang pintu. Ya ampun!
Arini memijat pelipsnya sambil mengamati temannya itu syok hingga kunci mobilnya terjatuh. Dia dengan tangan gemetar memungut di lantai. Tatapannya terus saja mengarah pada Rio.
Arini mengerutkan alisnya saat ternyata kini Rio berjalan menghampiri Zia. Rio yang hanya memakai celana bokser memakai kaos secara buru-buru mengejar kekasihnya. Arini menganga sendiri. Bingung, apakah mereka saling mengenal?
“Zia!” teriak Rio saat temannya itu pergi ke luar dengan keadaan menangis.
Mencengangkan, saat ternyata Arini tahu yang sebenarnya. Selama ini Rio telah membohonginya, ternyata dia sudah memiliki kekasih yang tak lain adalah teman Arini sendiri.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments
ninanu
siap thor
2022-12-01
0