"Huh, luar biasa sekali….”
Kata-kata itulah yang menjadi penutup Rio di malam panas baru saja mereka lewati. Keduanya seperti baru saja terjun dari langit ke tujuh. Arini memejamkan mata seiring menstabilkan pernapasan yang membuat dadanya naik turun.
Apa ini Arini menyesal? Arini rasa tidak, mungkin hanya reaksi alam saat ia baru saja kehilangan sesuatu sang paling berharga dalam hidupnya ada perasaan mengganjal dalam hatinya. Tak ingin berlarut-larut gadis kini tanpa menggunakan sehelai benang itu segera mengabaikan rasa itu.
“Apa yang baru saja kita lakukan, benar-benar sadar, tanpa penyesalan, kan?” tanya Rio yang kini berada di sampingnya. Tubuh atletis berkulit bersih alis tebal, mengambil sejumput rambut yang berada di pipi Arini kemudian menyelipkan ke belakang telinga membuat perempuan itu tertunduk malu.
Tindakan sesimpel ini, sudah membuat hatinya menghangat, mungkin bagi sebagian orang perlakuan Rio terlihat biasa saja. Tetapi tidak dengan Arini, jujur ini pertama kalinya membuat dadanya berdebar-debar.
“Walau kita baru pertama kali dekat seperti ini, tapi menurutku tidak ada kecanggungan sama sekali, kita seperti selayaknya dua orang yang sudah lama berteman. Apa mungkin karena itu kita dipertemukan?” tanya Rio lagi dengan senyum mengembang di bibirnya membuat Arini semakin bersemu merah karena salah tingkah.
“Iya, aku rasa begitu.” Arini mengangguk ragu. Bahkan ingin menyebut nama Rio pun di bibir masih canggung, jika ketika mereka tadi begitu akrab karena Arini mengikuti permainan Rio. Yang membimbingnya begitu ahli dalam pergulatan panas. Kini pada saat selesai semua terasa berbeda.
“Terima kasih,” ucap Rio.
Membuyarkan lamunan Arini seketika menoleh ke arahnya. “Terima kasih untuk apa?” tanyanya.
“Karena kau sudah bersedia menemaniku malam ini. Kau sangat menghangatkan dan ini adalah kali pertama aku tidur dengan seorang wanita.”
“Benarkah?”
Rio mengangguk membenarkan senyuman tersemat di bibirnya sungguh membuat hati Arini semakin menghangat.
Jika Rio mendapatkan miliknya yang pertama kali, berarti Arini pun mendapatkan hal yang sama dari laki-laki ini. Benarkah? Rasanya Arini tidak percaya semua yang dikatakan oleh Rio itu fakta, sebab lelaki setampan dan ahli Rio ini baru tidur dengan wanita untuk pertama kalinya.
“Oh iya, sebelumnya aku tidak menanyakan kesepakatan harga padamu, maka sekarang karena sudah memastikan kalau kamu benar... maka akan aku bayar berapa pun yang kamu mau. Sebutkan saja, berapa?”
Arini menggeleng, sebab ia bukan sama sekali wanita apa yang disebutkan oleh Rio. Ia bukan gadis yang dengan terpaksa menjual keperawanannya demi sejumlah uang untuk membiayai kerasnya kehidupan di ibu kota ini. Real, Arini tidak perlu finansial sebab ia sudah memiliki segalanya.
“Ambil saja uangmu, Rio. Aku sama sekali tidak butuh,” ucapnya. Bersandar di headboard dengan rambut dalam keadaan acak-acakan.
Justru Arini lah yang harus membayar lelaki ini karena sudah membuat dirinya melepaskan beban menggumpal dalam benaknya. Masih ingat semalam Rio ingin membatalkan niatnya pada saat mereka sudah sampai di ambang pintu apartemen milik Arini itu. Entah apa penyebabnya sehingga membuatnya menghentikan langkah beberapa saat. Namun, setelah Arini menariknya dia pun tak menolak.
“Aku adalah pewaris satu-satunya Pak Abraham, maka hidupku tidak akan kekurangan uang.”
Seketika Rio mengerutkan dahi mendengar pernyataan Arini. Seperti ada yang tidak masuk akal di sini. Gadis di sampingnya menolak uang yang telah ia berikan. Apa mungkin menginginkan hal lain, berbentuk barang mungkin atau jangan-jangan ingin menjebak dirinya untuk meminta pertanggung jawaban setelah ini.
“Bukankah seharusnya kamu menerimanya, mungkin membutuhkan untuk membeli keperluan?” tanyanya.
“Masih tidak percaya kalau aku punya uang?” Arini menyeringai kemudian meraih tas yang tergeletak di atas lantai tak jauh dari ranjang. Mengeluarkan dompet panjang berwarna hitam memiliki logo yang Rio ketahui itu adalah dompet branded. Harganya mencapai tiga puluh jutaan.
“Coba lihat ini, kamu bisa lihat, kan?” Mengeluarkan lembaran uang kertas berwarna merah dan biru yang memenuhi dompetnya. Melemparkan ke atas Kasur hingga berserakan. Membuat Rio semakin bingung sebenarnya apa yang dilakukan oleh gadis ini, kenapa dia mudah sekali tersinggung saat Rio memintanya untuk mengambil uang darinya.
“Oh, aku bukan cuma punya uang kertas aja, aku juga punya kartu ATM, kredit dan kartu-kartu lainya, yang masing-masing isinya bahkan berjumlah milyaran di setiap bank ya, bukan cuma satu.” Arini mengeluarkan kartu-kartu dari dompetnya.
Rio tidak tahu kalau ucapannya akan membuat gadis ini seperti sekarang. Dia menjadi banyak bicara dengan sesekali tangan ikut serta memegang kepala.
“Masih belum percaya? Aku akan tunjukkan bukti lain.” Arini kembali akan membuka tasnya lagi, untuk mengeluarkan sesuatu dari dalam sana. Namun, dengan cepat Rio mencegah dengan cara menahan tangan Arini untuk bergerak.
“Kenapa? Kamu nggak percaya, kan, sama apa yang aku bilang maka biarkan aku menunjukkan siapa aku yang sebenarnya.”
“Tidak perlu. Okay, aku tahu, kalau kamu itu punya banyak uang.” Rio berbicara dengan amat santai dan tenang, supaya tidak menimbulkan kesalahan paham lagi pada gadis yang baru semalam dia kenal ini.
Arini tiba-tiba terlihat gelisah, beranjak dari tempat tidur berdiri di sampingnya sambil mondar-mandir tangan perempuan cantik itu pun tak bergeming. Menggigiti kuku, mengusap tengkuk terakhir meremas rambutnya sendiri.
“A-apa lagi yang harus ku tunjukkan padamu, harusnya ada sesuatu lagi, ya, mungkin harus memperlihatkan foto-foto rumahku, hotel, ya, mu-mungkin itu akan membantu.” Tangan Arini terlihat gemetar, ingin mengambil tas tapi justru belok memegang hal lain.
Rio menggeleng terkekeh, ini pertama kalinya ia melihat gadis seagresif, bahkan seolah-olah sulit mengendalikan dirinya sendiri. Ia menangkap kedua tangannya, sehingga membuat Arini kesulitan saat akan bergerak.
“Apa kamu baik-baik saja?”
“Apa aku baik-baik saja? Yah, tentu saja aku baik-baik saja.” Dalam sekejap mimik wajahnya berubah menjadi sendu, bibir bergerak-gerak seperti ingin mengungkapkan sesuatu.
“Semua baik-baik saja, tapi tidak dengan orang tuaku.” Tiba-tiba saja dia tertunduk sambil mengusap air matanya, ia menangis membuat Rio memahami kalau Arini sedang memikirkan masalah besar.
Tanpa bertanya ia membuka tas perempuan itu, mencari-cari sesuatu yang bisa digunakan sebagai petunjuk. Ternyata ia menemukan botol tabung transparant berisikan obat.
“Apa obat ini yang harusnya kamu minum?” tanyanya memperlihatkan pada Arini.
Arini seketika menaikkan pandangannya meraih dengan cepat benda itu dari tangan Rio. Dia duduk mengambil dua tablet obat lalu menyambar air minum di atas meja. Barulah setelah itu, Rio melihat aura ketenangan dari dalam diri perempuan yang kini bersandar di headbord sambi memejamkan mata aini.
Rio rasa semua sudah membaik, Arini pun tak seagresif sebelumnya, bernapas teratur membuat dadanya naik turun. Membuat sesuatu di bawah sana sebagai lelaki normal ingin kembali menerkamnya. Tetapi rasanya tidak mungkin sebab kondisi Arini seperti tidak sedang baik-baik saja. Tidak mungkin jika dirinya memaksakan kehendaknya.
Ia memutuskan untuk memilih pergi dari sana, mungkin membiarkan Arini sendiri akan membuatnya tenang. Segera memakai pakaian yang berserakan di atas lantai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 57 Episodes
Comments