Saat ini aku berada di rumah sakit, kuedarkan pandangan, tak ada siapa pun menemaniku.
Pintu kamar terbuka, muncullah sosok lelaki yang semalam telah menodaiku. Kubuang wajah, enggan melihatnya, aku marah, aku benci sekali padanya.
"Mily, maafkan Abang, semalam Abang benar-benar ngga tau apa yang terjadi. Abang benar-benar minta maaf."
Kutatap sorot matanya. Rasa bersalah itu sangat besar, aku tau dia merasa bersalah, tapi apa dengan kata maaf semua itu bisa kembali?
Apa dengan penyesalannya, kehormatanku bisa kembali?
Aku kembali terisak, Bang Ridho terlihat panik, dia bangkit dan memeluk tubuhku.
"Pergi! Pergi! Jangan sentuh aku! Kamu bajingan!" makiku.
Aku berteriak, memberontak di pelukannya, bahkan selang infusku sampai terlepas dan darah mengalir di sana.
Bang Ridho menekan tombol darurat di samping ranjangku. Tak berselang lama seorang Dokter dan perawat mendatangi kami.
"Dia mengamuk Dok, tolong, infusannya terlepas," jelas Bang Ridho.
Si perawat kembali keluar, dan datang kembali dengan sebuah nampan berisikan suntikan dan botol-botol bening kecil.
Bang Ridho masih memelukku erat, pelukannya membuatku teringat akan malam kelam itu.
Bagaimana ia memaksaku, bagaimana ia merenggut sesuatu yang sangat berharga milikku, rasa sakit itu sungguh masih terbayang di otakku.
Di masuki dengan paksa itu sangat menyakitkan, bahkan aku berharap mati saja saat Bang Ridho memasukiku dengan kasar.
Tak ada pemanasan sama sekali, sebab Bang Ridho memang di selimuti oleh hasrat karena mabuk.
Bukan berharap akan ada pemanasan, tapi jika kamu melakukannya dengan hati, pasti akan membuat rangsangan agar pasanganmu tak merasa kesakitan.
Sedangkan aku? Aku di rudapaksa, nahasnya di nodai oleh seseorang yang sudah kuanggap Abangku sendiri.
Rasa dingin menjalar dari tanganku dan seketika membuatku lemas, pelukan Bang Ridho mengendur, lelaki itu merebahkan tubuhku secara perlahan.
Dia mengusap lembut rambutku, dia menangis, entah apa yang sebenarnya terjadi dengannya semalam, pikirku.
.
.
Sejak hari itu aku depresi, aku hanya mengurung diri di kamar selama berhari-hari. tak ada orang lain yang tahu keadaanku selain Bang Ridho.
Bahkan dia membuatkan aku surat cuti ke kantor, aku tak peduli, masa depanku sudah hancur, tak ada lagi yang bisa kuperjuangkan.
Kudengar Dokter menyarankan agar aku di tangani oleh Psikiater, karena dia tahu batinku terguncang hebat.
"Saya tidak tau apa yang sebenarnya terjadi Pak, jika memang Nona Mily mengalami kekerasan seksual, itu akan masuk ke ranah hukum, apa Bapak tidak mau melaporkannya?" ujar Dokter.
Ini adalah kali kedua aku di rawat di rumah sakit, setelah kejadian itu. Aku sendiri tak tau siapa yang menyelamatkanku. Kali ini aku memilih mengakhiri hidup karena rasa putus asa.
"Mily, Ayo kita menikah!" ajaknya membuatku seketika menoleh.
"Aku harus bertanggung jawab. Dan hanya itu satu-satunya cara agar aku bisa bertanggung jawab padamu," pintanya hati-hati.
Menikah? Tentu saja itu adalah impian banyak wanita, terutama aku, tapi menjadi seorang istri dari lelaki yang telah memiliki istri sungguh tak pernah ter bayangkan olehku.
"Bagaimana dengan Mbak Fisha Bang?" lirihku dan kembali menatap kosong ke jendela.
Dia menghela napas kasar, "Bisa kamu bantu Abang merahasiakan pernikahan kita sementara? Kamu masih muda, masa depan kamu masih panjang, Abang hanya ingin kamu bangkit, ini adalah tanggung jawab Abang dari rasa bersalah ini," nada itu sangat sendu, aku yakin dia pun merasa dilema.
"Abang tak perlu memikirkan masa depanku Bang, masa depanku sudah hancur, Mily sudah mati Bang."
Air mata kembali mengalir di pelupuk mataku. Aku yang menjadi kebanggaan orang tua nyatanya harus jatuh ke jurang kenistaan.
Bang Ridho kembali memelukku, mengusap punggungku, aku tak ada tenaga untuk menolaknya, aku perlu sandaran, beban ini terlalu berat bagiku.
"Abang mohon Mily mau menyetujui keinginan Abang. Abang janji akan membuat Mily kembali seperti sedia kala."
Janji yang sungguh manis, kembali seperti sedia kala? Apa dia bisa mengembalikan kesucianku? Mungkin maksud Abang adalah mengembalikan Mily yang ceria dan tegar.
Mily yang pekerja keras dan pantang menyerah. Sayangnya aku telah kehilangan itu semua. Sekarang aku berdiri di sisi gelap tanpa cahaya, seorang diri.
Ironi sekali, janji Bang Ridho bahkan tak membuatku terbuai.
"Bagaimana kalau kita kembali ke Desa, Abang yakin kamu akan cepat pulih kalau ketemu Ibumu," saran Bang Ridho.
Kulepas paksa pelukannya, Bang Ridho bahkan terhuyung ke belakang. Mendengar kata 'Ibu' membuatku memiliki tenaga lagi.
"Jangan sekali-kali Abang memberitahukan ibu tentang nasibku. Aku tak ingin melukainya, aku tak ingin memperburuk keadaannya!" pekikku.
"Ma-af Mily, Abang ngga bermaksud seperti itu. Lalu bagaimana Abang bisa menikahimu?"
"Abang pulanglah dulu, biar aku pikirkan permintaan Abang."
Aku memilih merebahkan diri, lelah mental membuat fisikku semakin lemah. Bahkan aku menyadari tubuhku sangat sayu, wajahku pucat seperti mayat hidup.
Tak memiliki teman dekat untuk bertukar pikir, membuatku sangat kesepian. Namun apakah teman-temaku tak menjauhiku jika mereka tau bagaimana keadaanku?
Terlebih lagi, apa bisa aku menceritakan kisah nahasku yang merupakan aib diri sendiri.
Aku meringkuk semakin dalam, kesedihan dan kesepian ini harus kulalui seorang diri.
.
.
.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments