Tolong Jangan Salahkan Aku
Siapa pun tak akan siap menjadi istri kedua, apalagi aku. Tapi keadaan atau bahkan takdir memaksaku harus menjadi duri pada rumah tangga orang yang bahkan sudah menolongku.
Tak tau diri, pasti orang akan mengatakan itu padaku. Tak tau balas budi malah menusuk orang dari belakang. Wanita murahan dan segala cacian pasti akan tersemat padaku.
Apa itu salahku? Apa aku ingin seperti ini? Jawabannya adalah TIDAK! Aku tak pernah berharap takdir yang menyakitkan seperti ini.
.
.
.
"Kamu tenang saja Mily, Abang yakin kamu kuat, kamu sanggup."
Bang Ridho mengusap punggung tanganku, berusaha menenangkanku. Itu adalah hal yang selalu dia lakukan selama sebulan terakhir.
Ada benihnya di dalam rahimku, siap tidak siap, dia sudah tumbuh di sana. Anak yang hadir tanpa keinginan orang tuanya.
Bagaimana aku akan menjalankan hidup Bang.
Bagaimana kalau lambat laun Mbak Fisha tau? Aku yakin dia akan terluka.
Apa dia mau menerimaku menjadi adik madunya?
Semarah apa dia nantinya.
Ingin aku teriakan hal itu pada Bang Ridho.
"Mily, kenapa menangis? Maafkan Abang," Bang Ridho bangkit dari duduknya dan pindah ke sebelahku.
Isakkanku semakin keras seiring dengan pikiran yang berkecamuk.
Aku yakin para pengunjung restoran sedang menatapku. Entahlah, saat ini dadaku terasa sakit, penderitaanku semakin bertambah.
Bang Ridho memelukku, mengusap bahuku, nyaman tentu saja, bagaimanapun dia suamiku, meski perhatiannya tak lebih karena rasa bersalahnya.
Rasa bersalah karena telah merampas kehormatanku, rasa bersalah yang telah membuatku depresi hingga harus berakhir di psikiater.
Aku harus menjalani terapi kejiwaan sampai saat ini, dan berita kehamilan ini semakin membuatku tertekan.
Tiba-tiba
"Apa begini kelakuan kalian berdua? Tega kamu Mas dan kamu Mily ... kamu keterlaluan!" pekik suara dari wanita yang sudah menolongku.
Terkejut tentu saja, sekilas kulihat wajah Mbak Fisha di penuhi dengan amarah, secepat kilat Bang Ridho sudah berdiri di hadapannya, aku sendiri sudah bersiap menerima makiannya.
Namun, tak ada kata yang terucap dari mulut Mbak Fisha, hanya isakan pilu yang kudengar setelah itu dia pergi meninggalkan restoran.
Hatinya pasti sangat hancur saat melihat adeganku dengan mas Ridho tadi. Wanita mana yang tak hancur saat melihat suami yang di cintainya memeluk wanita lain.
Sepandai apa pun kami menutupinya, nyatanya pasti akan ketahuan juga, aku sudah tau hal ini lambat laun pasti akan terjadi.
Bisik-bisik para pengunjung restoran semakin terdengar. Bang Ridho melepaskan pelukannya padaku untuk menyusul istrinya.
Tentu saja dia akan meninggalkanku, apalah artinya aku baginya.
Mbak Fisha adalah istri yang sangat di cintainya, sedangkan aku? Aku hannyalah wanita perusak kebahagiaan orang lain, aku membuat Mbak Fisha terluka. Aku memang manusia terkutuk.
"Usap air matamu, jangan cengeng, kamu harus menghadapinya, perlihatkan tanggung jawabmu!" ucapan itu datar dan sedingin es.
Aku menengadah melihat seseorang yang menjulurkan sapu tangannya. Ternyata dia Ferdi, rekan satu divisiku.
Aku memang bekerja di kantor yang sama dengan Bang Ridho, itu juga berkat bantuan Mbak Fisha.
Mbak Fisha adalah sepupu jauhku, dia dulu memintaku untuk ikut serta dengannya ke kota, dia mungkin iba dengan kehidupan ekonomi keluargaku.
Sepeninggal ayah, kehidupan keluarga kami memang semakin susah, beruntung aku bisa tamat sekolah menengah atas.
Aku memang gadis yang cukup pintar di sekolah, mungkin karena itu Mbak Fisha menawariku untuk membantunya di kota.
Pertama aku bekerja di butiknya, selama setahun bekerja di sana, aku bisa membantu perekonomian keluarga. Aku bisa membantu Ibu menyekolahkan adikku.
Aku juga mampu melanjutkan kuliahku, semua berkat Mbak Fisha. Meski aku juga mendapatkan keringanan dari bea siswa, bagiku mbak Fisha adalah dewi penolong.
Ibu beribu kali mengingatkan agar aku tak melupakan jasanya. Hutang budi itu di bayar sampai mati begitu katanya.
Jika bukan karena kebaikan Mbak Fisha, mungkin aku akan berakhir hanya menjadi penjaga toko di kampungku, dan mungkin juga adikku akan putus sekolah.
Namun apa yang terjadi, takdir dengan kejam menyakiti kami semua.
Aku menyakiti Mbak Fisha, melukai hatinya, mengecewakannya, bahkan mungkin menghancurkan pernikahannya.
"Apa kamu masih mau di sini? Menjadi tontonan orang?"
Lelaki itu masih berdiri di sana, menungguku sambil berkata dengan tajam. Dia tidak tau seberapa lukanya hatiku.
Mungkin aku terlihat menjijikkan hingga tak ada rasa kasihannya padaku.
"Maaf Mas—" cicitku tak berani menatap manik matanya.
"Bukan aku yang harus kamu mintai maaf, tapi Fisha! Kamu sudah menyakiti perempuan baik itu, aku benar-benar ngga habis pikir!" geramnya.
Sakit, tentu saja orang akan berpikiran seperti Mas Ferdy, menyalahkan aku karena akulah orang ketiga.
Tuhan, mengapa Engkau memberikan takdir yang begitu kejam padaku?
Mengapa tidak kau biarkan saja aku mati saat itu?
Aku tersiksa hidup seperti ini, pembelaan apa yang bisa aku lakukan?
Ibu, maafkan anakmu yang hina ini.
Aku bergegas pergi meninggalkan Mas Ferdy, tak ingin menjelaskan apa pun, aku ingin pergi dari sana, andai bisa, pergi sejauh mungkin.
.
.
.
Tbc.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments