Mbak Fisha berjalan mendekat, dan berhenti di sisi ranjangku dekat dengan Bi Imah yang hanya bisa menunduk.
Bahkan Bi Imah menawarkan Mbak Fisha agar bisa duduk di kursinya, tetapi tak di hiraukan olehnya.
Dia pasti sangat terluka, suami yang sangat di cintainya diam-diam menikah lagi dengan orang yang sudah di tolongnya.
Aku yakin sakitnya berkali lipat, di khianati suami dan seseorang yang sudah di anggapnya adik.
"Beginikah kamu membalas kebaikanku Mily? Merebut suamiku? Kamu berhasil, kamu bahkan berhasil memisahkan anakku dari ayahnya!"
Ucapan itu sangat tajam dan syarat akan luka di sana. Luka yang sudah aku dan Bang Ridho ciptakan untuknya.
"Maaf Bu, bisa biarkan Mbak Mily istirahat? Kondisinya belum stabil," sela Bi Imah dengan berani.
Aku sendiri bahkan tidak bisa membantahnya, luka hatiku, luka hatinya tak ada yang tau seberapa dalam. Kami terjebak dalam takdir yang mengerikan.
Mbak Fisha menoleh dan tersenyum sinis pada pekerja rumah tanggaku, dia melipat tangannya di dada, "apa kamu tau majikanmu ini seorang pelakor? Dia sudah aku angkat derajatnya tapi malah merusak rumah tanggaku!" sentaknya.
Bi Imah menunduk semakin dalam, ada rasa tidak tega melihat wanita paruh baya yang menemaniku itu menjadi sasaran kemarahan Mbak Fisha.
Sayangnya aku terlalu lemah bahkan untuk sekedar bersuara.
"Fisha!" bentak Bang Ridho saat ia baru tiba di kamarku.
Mbak Fisha menoleh, raut wajahnya terkejut, tapi setelah itu berubah tajam. Terlihat wanita itu diliputi amarah yang menggebu.
Ingin sekali aku memprotes tindakan Bang Ridho. Dengan kelakuannya yang seperti itu, malah akan menambah kebencian mbak Fisha pada kami.
Wanita baik itu sudah cukup terluka, bentakan sang suami aku yakin semakin menorehkan luka di hatinya. Aku yakin Mbak Fisha berpikir jika Bang Ridho membelaku.
"Apa? Kamu ngga terima aku datangi perempuan penggoda ini?"
Aku memang wanita murahan baginya, mungkin juga bagi orang lain. Namun saat kata-kata kasar dan tajam itu keluar dari mulut Mbak Fisha rasanya tidak pantas sama sekali.
Bukan aku membela diri dengan tidak ingin di maki olehnya, dia yang kutahu adalah wanita yang penyabar dan lemah lembut sangat tidak cocok jika kata kasar itu keluar dari mulutnya. Mungkin karena sakit hati dan kecewa membuat temperamennya berubah.
"Tolong kamu dengerin penjelasanku dulu, dari kemarin kamu selalu menghindariku, bagaimana aku bisa menjelaskannya padamu. Tolong jangan salahkan Mily, Bun," pinta Bang Ridho lembut.
Aku melihat raut wajah frustrasi pada Bang Ridho, mungkin sejak kemarin dia berusaha menjelaskan tentang hubungan kami, tapi Mbak Fisha mungkin enggan mendengarkan.
Jelas saja Mbak Fisha tidak ingin mendengarkan penjelasan apa pun saat hatinya tengah panas. Di tambah kejadian hari ini membuat amarahnya semakin membuncah. Suaminya membela istri muda di hadapannya, hatinya tentu semakin terluka.
Padahal mungkin bukan maksud Bang Ridho membelaku, dia hanya ingin menjelaskan hubungan kami.
"Kamu tega Mas, tega! Kamu tahu Alma sedang sakit, bahkan di rawat di rumah sakit ini, tapi kamu malah lebih memperhatikan wanita tak tau diri itu!" tunjuknya padaku
Air mata itu meleleh, aku yakin hatinya terkoyak, aku menebak masalah keduanya karena anak mereka sakit dan Bang Ridho malah mengkhawatirkanku.
Kumaki diri ini, ternyata keputusan bodohku membuat keadaan semakin menjadi runyam. Bukan maksud mencari perhatian Bang Ridho di tengah masalah rumah tangganya, aku benar-benar lelah hidup di dunia ini.
Aku menangis sesenggukan hingga lepas kontrol dan berteriak, aku tak bisa mengontrol emosiku. Dadaku sesak, aku memberontak, meronta, menendang-nendang selimutku.
Berusaha melepas ikatan di tanganku, aku tak peduli rasa sakitnya. Bi Imah berusaha menenangkanku, Bang Ridho segera memeluk tubuhku, tak ada rasa tenang, aku lelah, aku ingin pergi.
Dokter datang dengan berlari, seorang perawat memberikan jarum suntik. Setelah suntikan itu masuk tubuhku kembali melemas.
Di saat terakhir mataku hampir terpejam, orang yang terakhir kulihat adalah Mbak Fisha, wajahnya sendu, air mata mengalir di pipinya.
"Ma-af-kan-a-ku-mbak," setelah itu gelap menyelimutiku.
Lebih baik seperti ini, aku berharap tidak akan pernah bangun lagi.
Rasa dingin menjalar di sepanjang tanganku, mengganggu tidurku. Dengan berat hati aku membuka mata. Sedikit menyipitkannya karena cahaya lampu membuatku tak nyaman.
"Ibu sudah bangun?" sapa ramah seorang perempuan. Aku mengenal baik Dokter wanita ini.
Dokter psikiaterku. Rosi namanya, tutur katanya lembut, dia selalu memotivasi diriku, bahwa hidupku sangat berharga. Aku selalu nyaman dan merasa tenang saat berbincang dengannya.
"Ibu tenang aja, saya akan di sini menemani Ibu. Ungkapkan perasaan Ibu, tarik napas ya," pintanya sambil mengusap tanganku.
"Aku bawakan ibu jeruk, ibu mau?” tawarnya. Dia kembali tersenyum saat aku menjawabnya dengan gelengan.
Aku tak ingin makan apa pun, rasanya aku tak pantas untuk merasa lapar.
Entah berapa banyak uang yang di keluarkan oleh Bang Ridho untuk membayar jasanya. Lelaki itu benar-benar bertanggung jawab padaku.
Meski semua sebatas hanya kebutuhan materi. Selama tiga bulan menikah, kami bahkan tidak pernah melakukan hubungan suami istri.
Lalu bagaimana aku bisa hamil?
.
.
.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments