Tenagaku terkuras habis, aku tak sanggup kembali ke kantor. Tak siap kehilangan teman-teman dekatku kelak.
Aku tak memiliki sahabat dekat, andai punya, aku pasti akan berbagi kisahku dengannya.
Namun, diri yang hina ini merasa tak layak bersahabat dengan siapa pun.
Aku menangis sesenggukan di rumah ini. Rumah dengan dua lantai pemberian Bang Ridho. Aku hanya di temani Bi Imah pekerja rumah tanggaku.
"Mbak," panggil Bi Imah sembari mengetuk pintu.
"Mbak ngga papa? Mau Bibi buatin teh hangat?" tawarnya.
Aku masih sesenggukan, ponselku bergetar, beberapa pesan dan panggilan semua aku abaikan.
Aku menangis, kadang tertawa, entah mengapa aku tidak bisa mengontrol emosiku.
Emosi ini membuatku bingung, hingga tanpa sadar, aku mengamuk, menghancurkan kamarku. Memecahkan cermin riasku, ada yang mengganjal di relung hati, tapi aku tak tau.
Suara Bi Imah yang berteriak panik bahkan tak sanggup menghentikanku. Diriku terlena saat melihat pecahan kaca yang saat ini kupegang.
Lebih baik kami pergi dari dunia ini, kami tak pernah di inginkan, kami akan selalu di salahkan, ucapku dengan senyuman tapi di sertai lelehan air mata.
Kuusap lembut perut rataku. Maafkan aku, aku bukan ibu yang baik untukmu, kehadiranmu hanya akan menyusahkanmu di kemudian hari.
Lebih baik kita pergi Nak, di mana tidak ada lagi rasa sakit, tidak ada lagi rasa kecewa, tidak ada lagi rasa tak berharga.
Sreet
Kugoreskan kaca itu ke urat nadi, aku berbaring menunggu kematian menjemputku.
Aku sudah pernah melakukan ini, jadi tau bagaimana rasa sakitnya. Rasa nyeri di pergelangan tangan menjalar hingga ke seluruh badan.
Badanku menggigil kedinginan karena pasokan oksigen dalam darah yang pasti berkurang.
Kunikmati setiap sakit ini sebagai hukuman diri, kupejamkan mata menunggu malaikat pencabut nyawa datang menjemput.
Telingaku berdenging, sayup-sayup masih terdengar suara Bi Imah terisak panik, bahkan ada suara lain bersamanya.
Aku tak peduli, aku hanya berharap mereka membiarkanku mati saja. Tubuhku terasa melayang, kebas, mungkin juga ajalku sudah dekat.
.
.
Kepalaku sangat sakit, mengapa aku masih merasakan sakit, bahkan pergelangan tanganku terasa panas.
Apa aku kembali di selamatkan? Aku ingin berteriak, memaki siapa pun yang menghalangiku. Siapa dia berani menyelamatkanku, merasa seperti seorang pahlawan? Makiku dalam hati.
Terpaksa kubuka mata ini, penglihatanku terasa samar. Lemas tentu saja, mungkin aku kehilangan banyak darah.
Dua tanganku diikat di sisi ranjang besi, mungkin mereka takut aku akan memberontak dan kembali membahayakan diri sendiri.
"Syukurlah Mbak Mily udah sadar," Bi Imah mengusap air matanya, rasa lega jelas sekali terlihat di mata tuanya.
Aku tak perlu bertanya di mana aku berada, karena aroma dan juga tiang infusan sudah memberitahuku jika aku berada di rumah sakit–kembali.
"Bayinya baik-baik aja Mbak, untungnya ada Pak Ferdi yang menyelamatkan Mbak Mily,” jelas Bi Imah, saat aku masih bungkam.
Mas Ferdi? Apa lelaki itu mengikutiku sampai ke rumah? Aku lupa jika rumahnya berada sama dengan perumahanku, meski kami berbeda blok.
Apa aku harus berterima kasih? Tidak, aku malah ingin memakinya. Bukannya tadi dia berkata dengan sinis padaku? Mengapa dia bahkan bersusah payah menyelamatkanku.
Pintu terbuka, menampilkan sosok berpakaian putih khas seorang Dokter. Dokter laki-laki dengan dua orang perawat wanita yang mengikutinya.
Satu perawat mengecek selang infus, sambil mencatat di buku kecilnya.
Satu perawat lagi memeriksa lenganku sambil melihat jam di tangan kananya.
"Gimana Bu Mily? Pusing? Maaf jika kami mengikat Bu Mily ya, kami takut Bu Mina akan melukai diri sendiri," ucap Dokter laki-laki.
"Saya akan merekomendasikan Dokter Psikiater untuk menemui Bu Mily ya? Tarik napas dan hembuskan secara perlahan ya Bu jika pikiran Ibu mendadak kalut, kasihan dedek bayinya ya."
Ada rasa prihatin pada suara Dokter muda itu, atau mungkin hanya sebuah profesionalitas kerja saja.
Aku tak mengatakan apa pun, setelah Dokter dan para perawat itu selesai memeriksa, mereka pamit undur diri. Hanya Bi Imah yang mengucapkan terima kasih.
"Mbak yang sabar, pasti ada rencana indah untuk Mbak dari Tuhan," Bi Imah terisak di sisi ranjangku. Dia duduk sambil mengusap-usap punggung tanganku.
Aku merindukan ibu dan adikku, ingin menumpahkan segala sesak di dada, tapi aku tak berani. Penyakit jantungnya akan kambuh jika dia tau mengenai keadaanku.
Bahkan pernikahan ini tidak di ketahuinya, yang beliau tau aku hanya bekerja di kota besar.
Maafkan aku Bu, aku tak bisa membanggakanmu, aku malu bertemu denganmu, aku takut.
Pintu kembali terbuka, terlihat sosok malaikat penolongku. Wajahnya sendu, aku tau dia sedang menahan amarah.
Pertanyaanku, bagaimana dia tau aku berada di sini? Apa Mas Ferdi yang memberi tahunya? Lalu mengapa Bang Ridho tidak menemuiku?
"Apa ini caramu untuk mencari perhatian suamiku Mily? Aku tak menyangka, selain murahan kamu juga tak tau diri rupanya."
Kata-katanya sangat pedas, hingga bisa menusuk hatiku, menggoreskan luka ini.
Aku hanya bisa diam, membiarkan dia mengeluarkan semua makiannya, apa aku punya hak membela diri?
.
.
.
Tbc
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 98 Episodes
Comments