BAB 04

...Genangan air jernih berubah menjadi lumpur, ketika bayangan buruk itu kian hadir merotasi pikiranku. Orang bilang hujan adalah anugerah yang patut disyukuri. Namun, bagiku hujan adalah lambang permulaan dari segala rasa sakitku, saat aku kehilangan sesuatu paling berharga dalam hidupku....

...*Satya Bayu Wardhana*...

Seperti biasanya lagi dan lagi, saat hujan mulai turun dengan derasnya membuat Bayu kalang kabut pergi ke kamar hanya untuk mengurung diri. Ia mengunci pintu dan menutup semua jendela kamar, kemudian  duduk meringkuk di atas kasur, tubuhnya sudah gemetaran. Bayu menjambak rambutnya frustrasi. Berteriak lirih ketika hujan dan petir saling bertautan merasuki pendengarannya, sertamerta mendatangi kilas balik kenangan lampau yang siap mencongkel otaknya lagi.

Bagaikan kaset lusuh yang berputar secara otomatis, menyajikan secarik bait demi bait dalam nyanyian nan riuh. Bayu menutup telinganya dengan kedua tangan, mencoba menolak semua kenangan itu masuk di benaknya lagi. Sebuah kenangan manis. Tapi akan berakhir dengan kepahitan.

"Hari ini Bayu mau merayakan ulang tahun di mana?" tanya seorang wanita paruh baya itu, yang sedang membuatkan segelas orange juice buat anak kesanyangannya.

Bayu yang sedari tadi sedang main game sejenak berhenti, lalu ia berpikir. "Hmm, apa, ya? seperti tahun kemaren aja deh, Ma. Makan malam bareng."

"Kita rayakan ulang tahun kamu di Bogor aja, mau enggak? Kakak-kakak kamu udah menyiapkan sesuatu buat kamu, loh." Kini seorang pria paruh baya menyahuti ketika baru saja keluar dari kamar utama.

"Enggak usah deh, Pa. Aku takut ada se---" Bayu terdiam.

"Takut apa?" tanya pria paruh baya itu sembari duduk di sofa sebelah Bayu.

Bayu menyengir kuda. "Enggak tahu."

Pria paruh baya itu mengacak rambut anak bungsunya dengan gemas. "Nanti kamu ajak Kinar juga."

Bayu tersenyum sumringah dengan matanya terlihat berbinar-binar lucu. "Seriusan ini, Pa? Kinar boleh ikut?"

Pria paruh baya itu mengangguk.

Trangg

Prangg

Prangg

Bayu menoleh ke asal suara seperti ada benda jatuh.

"Apa itu?" gumam Bayu pelan.

Bayu bangkit dari duduknya dan berjalan menuju ke sumber suara tersebut. Sepertinya suara itu berasal dari arah ruang tamu. Bayu cepat melangkah, mengabaikan panggilan pria paruh baya itu yang ia sebut 'papa'.

Perlahan Bayu melangkah, dan dilihatnya ada vas bunga berwarna putih polos dengan bingkai foto berisikan foto keluarga jatuh berserakan di lantai. Jantung Bayu berdegup kencang, seketika ada perasaan takut yang kian kentara menyeruak dengan sejati. Bayu  berjongkok, memunguti serpihan-serpihan kaca vas bunga dan bingkai foto tersebut, kemudian dikumpulkannya menjadi satu.

Hujan masih deras bersamaan bunyi gluduk seolah mencambuk bumi dengan garang. Bayu masih pada posisinya duduk meringkuk, sembari menyembunyikan wajah di antara kedua kaki yang ia tekukkan.

Kini beralih pada putaran kaset yang berbeda pula, menghadirkan dialog tak kasatmata masih terus merongrong pikiran Bayu.

"Hujan Kinar!" seru Bayu sembari melirik Kinar yang berdiri di sampingnya, gadis itu memakai gaun putih perpaduan pita merah dibagian pinggangnya. Dan Bayu memakai kemeja biru dibalutkan blezer hitam polos. Tampak terlihat sempurna. Mereka kini sedang berada di teras rumah sambil menikmati malam, hujan masih membasahi bumi.

"Iya ... aku suka hujan. Pas banget bertepatan dengan acara ulang tahun, kamu," ujar Kinar seraya tersenyum manis. "Bayu ... apa pun yang terjadi, kamu harus seperti hujan, karena hujan mendatangkan kebahagiaan dan teman kita, di saat kita merasa sedih.  Hujan bukan hanya bertugas menyirami bumi saja. Akan tetapi, hujan bisa sebagai nyanyian indah saat kita sendiri."

Bayu mengernyit bingung, untaian kata Kinar mengandung sebuah kiasan. Tapi ia tak tahu apa maknanya. "Kenapa kamu bisa berpikiran seperti itu? Dan gimana caranya?"

Kinar tertawa tipis, lalu ia beralih ke samping menatap mata teduh Bayu. "Caranya dengan dirasa. Di sini." Kinar menyentuh dada Bayu dengan telunjuk tangannya. Bayu bergeming mencoba mencerna kalimat Kinar yang tercetus begitu saja.

"Suatu saat kamu akan ngerti maksud aku, jangan dipikirin, ah ...."

Bayu terkekeh. "Ya, Kinar aku seneng deh, kamu ada di sini buat ikut ngerayain hari kelahiran aku."

"Aku juga seneng. Karena kamu adalah orang yang paling berharga buat aku dan sangat special  ... selamanya buat aku. Aku sayang dan cinta sama kamu amat tulus, selamanya," tutur Kinar.

"Aku juga, sayang dan cinta sama kamu, dengan tulus. Tanpa maksud lain, selamanya," balas Bayu.

"BAYU, AYO KITA MULAI ACARANYA!"

Sebuah suara dari Pandu menyadarkan mereka berdua yang masih berdiri di teras rumah bergaya klasik tersebut.

"Yuk? kasian tamu-tamu lain kelamaan nunggu," ajak Kinar yang duluan masuk ke dalam rumah di susul oleh Bayu tentunya.

"Selamat ulang tahun ya, Sayang?" ucap wanita paruh baya sembari menciumi pipi anaknya.

"Selamat ulang tahun ya, Nak." Kini giliran pria paruh baya bergantian memberi ucapan selamat lalu memeluk anak bungsu kesayangannya dengan lembut. Kemudian di susul Pandu dan Ella.

"Kamu mau kado apa dari Papa?"

"Apa aja deh, Pa. Aku suka."

"Yakin?"

Bayu mengangguk mantap.

"Kalo gitu Papa akan kasih sesuatu buat ka---"

Glegar

Prangg

Prangg

Dor

Dor

"Apa ini?"

"PERGI!"

"ARRH...!"

Bayu memekik keras, isak lirih terdengar memilukan. Ia terus menjambak rambut kuat, napasnya semakin sesak. Hati Bayu terasa nyeri, ia rapuh, jiwanya terombang-ambing dimakan oleh kenangan lampau, yang selalu menyiksa batin, memaksanya untuk terus mengingat. Sehingga merusak saraf pada otak Bayu menjadi tidak terkendalikan lagi.

Bayu bangkit dari tempat tidur dan melangkah ke meja belajar untuk mencari sesuatu yang ia butuhkan. Dengan kesetanan, Bayu mengobrak-abrik laci meja itu. Lantas mengeluarkan barang, kemudian melemparnya asal sampai menemukan sesuatu yang dicarinya. Merasa lelah karena tidak menemukan sesuatu itu, Bayu berteriak kembali sangat kencang seraya menghancurkan semua barang yang ada, lalu membantingnya. Bayu terlihat menyedihkan, jiwanya ternganggu dan hatinya beku. Ia ibaratkan mengapung dalam air tapi tidak bertumpuan. Seperti itulah hidup Bayu, jiwanya hilang. Namun raganya tetap utuh.

BRAKK

Pintu kamar Bayu terbuka hasil dobrakan Pandu ketika mendengar teriakan adiknya. Rasa takut begitu kuat, Pandu menyuruh Mbok Ijah mencari kunci cadangan untuk membuka pintu kamar Bayu. Namun, Mbok Ijah bilang kunci cadangan itu sudah dibuang oleh Bayu. Sebab Bayu tahu, di saat sedang kalap Pandu pasti akan datang untuk mengecek keadaannya dan membawanya ke tempat laknat itu lagi. Bayu membenci tempat itu. Tidak ada cara lain, alhasil Pandu mendobrak pintu kamar Bayu sekuat tenaga sampai pintu itu terbuka, di sinilah ia sekarang bersama Mbok Ijah di belakangnya. Tangan kurus Mbok Ijah memegang sebuah botol kecil berisikan cairan bening.

"Bayu?"

Pandu mendekati Bayu, kemudian memeluknya. Tangis iba tercetak di wajah wajahnya Dalam dekapan Pandu. Bayu memberontak dengan brutal mencoba untuk lepas dari ikatan Pandu. Tapi sayang kungkuhan Pandu lebih kuat darinya, sehingga sulit untuk Bayu lepas. Pandu merogoh saku kemeja yang dikenakannya, mengeluarkan sapu tangan kecil dan memberikan pada Mbok Ijah.

"Mbok, cepat lakukan sekarang!" titah Pandu tegas.

"LEPASIN GUE!" teriak Bayu bersamaan air mata mengucur dari kedua netranya.

Mbok Ijah mengangguk seakan mengerti apa yang  diperintahkan oleh Pandu. Dengan tangan sedikit gemetar, Mbok Ijah membuka tutup botol kecil berisi cairan bening itu,  kemudian mengoleskannya pada saputangan dari Pandu tadi.

Bayu masih berontak, berteriak histeris seperti orang gila. Hal itu mengundang rasa kasihan Mbok Ijah semakin mendalam.

"LEPAS!"

"Tenang Bayu!"

"GUE BILANG LEPAS!" serunya dengan pekikan menggema. "LEPASIN!"

Pandu tak menghiraukan teriakan Bayu, ia tetap terus mendekap tubuh sang adik bungsu semakin kuat. Bayu tidak menyerah begitu saja, ia menggigit lengan Pandu kuat lalu mendorongnya. Namun, dengan cepat kilat, Pandu berhasil memeluk Bayu lagi walaupun sedikit kewalahan.

"Lepasin, Kak," pinta Bayu memelas.

"Mbok udah? Sini saputangannya."

"LEPAS!" pekiknya kali ini lebih keras dengan liquid bening masih saja keluar dari sepasang mata tajam milik Bayu.

Mbok Ijah menyodorkan saputangan yang sudah diberikan obat cairan bening itu ke Pandu. Tanpa aba-aba Pandu membekap mulut Bayu dengan saputangan itu, hingga tidak ada lagi pergerakan dari Bayu.

Perlahan mata Bayu tertutup, tubuhnya terkulai lemas sempurna karena efek dari obat cairan itu membuat Bayu tidak sadarkan diri.

Pandu menangis, masih memeluk sang adik sambil merapikan rambut yang menutupi mata Bayu dengan lembut. Betapa sakit dan hancurnya hati Pandu melihat adik bungsu yang ia sayangi masih belum menunjukan perubahan. Tetap sama seperti dua tahun lalu, membuat Pandu enggan untuk meninggalkan Bayu begitu saja. Sebab, rasa ketakutan dan kekhawatirannya semakin akut. Pandu sudah berjanji pada orang tuanya, bahwa ia akan terus menjaga Bayu dan tak akan membiarkan Bayu tersakiti oleh siapa pun. Serta menjadi sandaran untuk Bayu, di kala Bayu dalam kerapuhan dari rasa sakit yang masih tertanam di tubuhnya.

"Maafkan Kakak. Kakak ingin kamu seperti dulu lagi," racau Pandu pilu. "Kakak enggak mau kehilangan kamu."

Luntur sudah pertahanan Pandu, derai air mata membanjiri setiap wajahnya bersamaan luka dalam menghiasi relung hati Pandu kian perih.

"Kakak enggak akan pernah membiarkan kamu hidup hancur seperti ini," ujarnya lirih. "Kakak sayang sama kamu, Dek."

Pandu menggendong Bayu dengan perlahan, membawanya ke tempat tidur. Kemudian membaringkan adiknya dengan pelan dan tak lupa menyelimutinya sampai batas bahu Bayu.

'Mama, Papa ... apa yang harus Pandu lakukan? Kejadian itu, membuat Bayu menjadi sosok yang berbeda,' ungkapnya dalam hati, dengan linangan air mata terus keluar tanpa jedah untuk berhenti.

...--- Selamanya ---...

Busan, Korea Selatan.

Seorang gadis berperawakan mungil dengan postur tubuh yang ramping tengah berjalan mengitari pasar Jalgachi. Gadis itu berjalan dengan senyum merekah kala menyapa setiap orang yang lewat.

Gadis itu masuk disalah satu toko ikan milik Tuan Kim, yang sudah menjadi langganannya setiap minggu.

"Annyeong Haseyo ... Mr. kim," sapa gadis itu ramah.

Tuan Kim yang sedari tadi memeriksa ikan-ikanya segera menoleh ke arah gadis itu.

"Nado ... annyeong Aprillia," balas Tuan Kim tersenyum. "Eodiseodeun?"

"Oh ... naneun bappaegue umjig igo isseossda," jawab gadis itu tersenyum.

"O, geuleohge."

"Ne."

Aprillia, gadis berusia 19 dengan tinggi badan 160 cm adalah seorang mahasiswi salah satu Universitas ternama di kota Busan. Ia berasal dari Indonesia, sudah lama menetap di Busan sekitar empat tahun. Aprilia tinggal dengan Bibi Ivanna bersama sang suami berkewarganegaraan Korea Selatan. Yaitu; Paman Kim Nam Joo.

"Mr. Kim, isaeng sol olmayeyo?" tanya Aprillia sembari menunjukkan ikan segar di dalam tong besar berwarna hitam.

"Eonjenaecheoleom," jawab Mr. Kim.

"Oh, naneun igeoseul gajyeo ganda."

"Ne, jamkkanmanayo."

Mr. Kim mengambil kantong plastik berukuran sedang, lalu memasukkan ikan segar yang ditunjukkan oleh Aprillia. Kemudian langsung menyodorkan kantong plastik berisi ikan segar kepada gadis itu.

Aprillia membuka dompetnya, lalu mengeluarkan beberapa lembar uang dan memberikan kepada Mr. Kim.

"Kamsahamnida, Mr. Kim!" ucap Aprillia dengan sopan.

"Ne, cheonmaneyo."

Aprillia bergegas pergi dari pasar ikan tersebut. Ia melihat arlojinya yang melingkar di pergelangan tangan kanannya, jam sudah menunjukan pukul 04.30 waktu Korea Selatan. Ia harus cepat sampai rumah dan memasak untuk makan malam bersama Bibi Ivanna.

Mengenai kota Busan. Busan adalah kota metropolitan kedua setelah kota Seoul, yang merupakan kota pelabuhan bersebelahan dengan pantai Nakdong. Jumlah populasi penduduk kota Busan 4.000.000 jiwa. Udara kota Busan cukup bagus, juga memiliki sejumlah tempat wisata sangat menarik. Seperti Sea Life Busan Aquarium, Pasar Gukje, Pantai Haeundae, Busan Tower, Dalmaji Park dan sebagainya. Tak ayal banyak para turis dari luar negeri bertandang kota Busan untuk menikmati wisata saat liburan. Tak lupa dengan kuliner khas Busan terbilang sangat enak-enak yaitu; ada Namjak Mandu, Bibim Dangmyeon perpaduan nasi sama halnya dengan nasi bibimbap, dan paling terkenal di kota Busan Yooboo Joomeoni.

Aprillia membuka pintu rumah bergaya tradisional lalu meletakan sepatunya ke rak kayu di samping pintu masuk itu.

"Baru pulang, Pril?"

Seorang wanita paruh baya muncul dari dapur dengan secangkir kopi untuk sang suami yang tengah membaca koran di ruang keluarga.

"Iya, Bi, tadi mampir ke pasar dulu," jawab Aprillia sembari meletakan kantong plastik berisi ikan yang tadi ia beli ke meja makan.

"Beli ikan lagi?"

Aprillia mengangguk. Ia melangkah ke ruang keluarga dan duduk di sofa bersama bibi serta pamannya. Bibi Ivanna dan Paman Kim Nam Joo nama kedua paruh baya itu.

"Apa urusan kepindahannya sudah selesai?" tanya paman Kim Nam Joo.

"Sudah Paman, April tinggal berangkat saja."

"Kapan?" Kini Bibi Ivanna yang bertanya. Sembari meletakan kopi di atas meja dan duduk di samping Paman Kim Nam Joo.

"Seminggu lagi April berangkat."

Bibi Ivanna terlihat murung setelah mendengar penuturan Aprillia yang akan berangkat seminggu lagi meninggalkan kota Busan ini.

"Bibi pasti kesepian lagi enggak ada kamu."

"Jangan sedih, Bi, 'kan ada Paman Nam Joo," sahut Aprillia tersenyum. "Bibi juga bisa berkunjung ke sana."

"Iya, tapi saat Bibi enggak ada kesibukan, ya?"

Paman Kim Nam Joo melipat korannya dan menyeruputi secangkir kopi buatan sang istri. Lalu menatap sang keponakannya.

"Kamu berangkat bersama Arya 'kan?" tanya Paman Nam Joo.

"Iya Paman, dia menunggu di bandara."

"Bibi kirim salam buat mama kamu aja."

"Pasti April sampaikan."

'Aku enggak sabar cepat sampai ke tanah kelahiranku, dan berkuliah di sana!' ucap Aprillia dalam hati seraya tersenyum tipis.

...--- Selamanya ---...

Note :

Annyeong Haseyo : hallo, apa kabar?

Eodiseodeoun : kemana saja.

Naneun bappagaegue umjig igo isseossda : saya sibuk mengurus kepindahan.

O, geuleohge : oh, begitu.

Ne : ya

Isaeng sol olmayeyo, Mr. Kim? : ikan ini berapa, Tuan Kim?

Eonjenaeheoleom : seperti biasa.

Naneun igeoseul gajyeo ganda : saya ambil yang ini.

Ne, Jamkkanmanyo : ya, tunggu sebentar.

Kamsahamnida : terima kasih.

Cheonmaneyo : sama-sama.

Terpopuler

Comments

mutiara pink

mutiara pink

semangat terus untuk berkarya

2022-12-28

2

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!